Setelah sarapan, Liliana duduk di kursi teras sambil memandang taman vertikal yang menghiasi dinding balkon. Daun-daun hijau lembut bergoyang pelan tertiup angin. Di sampingnya, Darian dan Alya berbincang ringan soal sistem keamanan digital baru yang sedang dirancang oleh tim Raditya. Namun Liliana hanya terdiam.Raditya menyadari itu. Ia berjalan pelan, lalu duduk di kursi rotan tepat di samping ibunya.“Bunda masih syok, ya?” tanyanya pelan.Liliana mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Ibu mana pun akan syok kalau tahu anaknya nyaris jadi mesin hidup yang dikendalikan suara-suara hantu digital.”Raditya tertawa kecil, tapi sorot matanya tetap lembut. “Aku di sini sekarang, Bun. Bersama Alya, bersama semuanya. Kita selamat.”Liliana menghela napas dalam-dalam. “Kamu tahu… dulu Bunda sangat takut waktu kamu memutuskan masuk ke dunia teknologi dan sistem bawah tanah itu. Bunda pikir kamu akan tenggelam,
Langit mulai menggelap, menyisakan semburat oranye keemasan di ufuk barat. Cahaya senja menembus jendela besar penthouse, memantulkan siluet Alya yang berdiri di dapur terbuka. Tangannya cekatan menyiapkan teh chamomile dan semangkuk sup ayam ginseng, sementara matanya terus melirik ke arah ruang tengah- tempat Raditya duduk bersandar di sofa, selimut tipis menutupi kakinya.Luka fisiknya mungkin tidak separah trauma psikis yang ia bawa pulang dari Jepang. Tapi Alya tahu, proses pemulihan Raditya tak bisa hanya mengandalkan waktu. Ia butuh kehangatan, pengertian, dan cinta yang konsisten. Dan itulah yang Alya berikan, sepenuh hati.âAku bawa makan malam ringan dulu, ya,â ujarnya lembut sambil meletakkan nampan di meja kecil di sebelah suaminya.Raditya menoleh pelan, senyum tipis terbentuk di wajahnya. âKamu bikin semua ini sendiri?âAlya mengangguk sambil menyuapi Raditya dengan sendok pertama. âAku tahu kamu belum kuat makan berat. Tapi kamu butuh tenaga juga, Sayang.âRaditya mengu
Pagi itu langit Nusant diselimuti kabut tipis. Aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara di penthouse Raditya. Alya berdiri di dapur, mengenakan sweater abu-abu kebesaran milik suaminya, sementara Raditya duduk di meja makan, membaca buku tua warisan Helix Wijaya- tentang filosofi digital dan etika kecerdasan buatan.“Kamu serius baca itu pagi-pagi?” tanya Alya sambil meletakkan cangkir kopi di hadapannya.Raditya tersenyum. “Aku rasa... semakin ke sini, semakin aku sadar betapa Helix tak hanya gila teknologi. Dia juga pemikir yang dalam.”Alya duduk di depannya, menyesap kopinya pelan. “Kakekmu memang rumit, tapi satu hal yang dia tinggalkan padamu itu jelas- kekuatan untuk memilih jalan sendiri.”Raditya mengangguk, matanya menatap jauh. “Dan aku memilih jalan yang membawaku ke kamu.”Alya tersipu, tapi sebelum sempat membalas, layar besar di dinding tiba-tiba menyala sendiri. Sistem otomatis menya
Langit Nusant belum sepenuhnya terang saat Raditya kembali ke ruang kerja. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard holografik, mencoba melacak asal sinyal Arkana. Namun seperti hantu digital, jejak itu menghilang begitu disentuh.“Dia tahu cara menyembunyikan jejaknya,” gumam Raditya. “Ini bukan hacker biasa.”Alya berdiri di belakangnya, kedua tangan menyilang. “Dia pasti dilatih untuk ini sejak kecil. Kalau benar dia anak Arya, dan jika Arya Wiguna benar-benar bagian dari sistem yang bahkan Helix tak pahami…”“Berarti ada bagian dari Project Helix yang tidak pernah dikuak. Sebuah lapisan tersembunyi.” Raditya menghentikan tangannya. “Dan hanya bisa diakses oleh aku... dan dia.”Mereka saling bertukar pandang. Diam yang mengandung ribuan kekhawatiran.Tiba-tiba, layar samping menyala- tanpa perintah. Kali ini bukan pesan atau video, tapi peta- tampilan real-time dari peta digi
Cahaya merah lembut menyelimuti dinding-dinding ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di bawah reruntuhan markas lama Helix Foundation. Udara dingin menusuk tulang, berembus dari ventilasi tua yang nyaris tertutup debu waktu. Dinding logam dipenuhi kabel menjalar seperti akar pohon raksasa, berkedip dalam pola acak- seolah memiliki denyut nadinya sendiri. Di tengah ruangan bundar itu, berdiri seorang pria muda dengan rambut hitam pendek, mengenakan jaket panjang berlapis kevlar. Kacamata augmented reality menempel permanen di sisi kiri wajahnya, menyatu seperti organ tambahan.Dialah Arkana.Mata kirinya bersinar biru- bukan karena teknologi semata, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah chip simbiotik, disebut Kernet, tertanam di balik pupilnya. Teknologi ini bukan produk pasaran, melainkan warisan darah. Kernet adalah prototipe terakhir yang dikembangkan Arya Wiguna, dan hanya bisa aktif dalam tubuh manusia dengan genetik tertentu- anaknya sendiri.Suara mendesis pelan
Lorong menuju Ruang Simulasi berada di bawah Menara Helix yang lama, tersembunyi di balik dinding lift yang telah dimatikan sejak insiden ledakan tujuh tahun lalu. Tak ada akses publik. Hanya satu jalur manual yang masih bisa digunakan- melalui terowongan yang bahkan Raditya sendiri jarang datangi.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding baja yang dingin. Alya menggenggam senter kecil, cahayanya menari di sepanjang lorong sempit yang seolah tidak pernah disentuh cahaya matahari. Bau karat dan debu tua memenuhi udara.âAku pikir tempat ini sudah dimusnahkan,â gumam Alya pelan.âBegitu rencananya,â jawab Raditya. âTapi Kakekku selalu punya rencana cadangan. Ruang Simulasi dibangun tersembunyi, di bawah semua sistem utama. Bahkan saat markas utama hancur, tempat ini tetap utuh.âMereka tiba di sebuah pintu besar dari paduan titanium, tertutup rapat tanpa panel akses.âBagaimana kita masuk?â tanya Alya.Raditya menarik napas, lalu mengangkat tangan kirinya. Dari balik pergelangan
Pintu titanium menutup rapat di belakang mereka. Lorong di bawah Helix lama bergema oleh langkah kaki Alya dan Raditya. Di belakang mereka, sistem-sistem kuno mulai menyala sendiri- lampu berkedip, suara listrik menyentak-nyentak seperti ada yang sedang mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak bangkit lagi.âISAAC sudah masuk ke sistem bawah,â kata Raditya sambil mempercepat langkah. Ia membuka kompad kecil di pergelangan tangan dan menampilkan peta digital. âKita harus mencapai inti utama sebelum koneksinya stabil.ââTempat yang kamu sebut Pusaran itu... sebenarnya apa?â tanya Alya dengan napas terengah. Di matanya, tergambar ketakutan dan rasa ingin tahu yang bercampur.âTempat yang dibangun di luar logika dan etika,â jawab Raditya. âPrototipe akhir sistem jaringan Nusant. Tempat buangan untuk teknologi yang terlalu berbahaya untuk dimusnahkan. Termasuk satu hal yang belum pernah dipakai: protokol Null-Core- satu-satunya jalan untuk memutus koneksi ISAAC.âLorong menurun se
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.âAku memilih diriku sendiri,â ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.âValidasi pilihan: tidak terdaftar,â ucap ISAAC akhirnya. âPerintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.ââTidak!â seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. âKalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.âAlya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. âKalau aku gagal?ââKa
Keesokan paginya, suasana di penthouse Raditya terasa jauh lebih ringan. Setelah malam penuh ketegangan dan kelegaan, hari ini diwarnai oleh harapan baru. Elros duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian bersih dan nyaman, rambutnya sedikit basah sehabis mandi. Wajah kecilnya tampak tenang, meski sorot matanya masih menyimpan kecemasan.Alya menyiapkan sarapan sederhana. Wangi roti bakar dan susu hangat memenuhi udara, memberikan kehangatan yang dibutuhkan setelah malam panjang.âJangan gugup, Elros,â ujar Alya lembut sambil meletakkan secangkir cokelat panas di hadapannya. âHari ini hari yang baik.âElros mengangguk pelan. Ia memeluk boneka biru pemberian Alya, seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap tenang. âTapi... kalau dia tidak mau aku?â bisiknya lirih.Raditya mendekat, duduk di sebelah Elros. âDia adalah ibumu, Elros. Tak ada yang bisa mengubah cinta seorang ibu.âSebelum Elros sempat bertanya lebih jauh, bel pintu berbunyi.Detak jantung Elros terasa melonjak ke te
Hari pertama berlalu tanpa kabar dari Elros.Alya dan Raditya menghabiskan waktu di penthouse, ya walau mereka telah memiliki rumah asri dipinggiran kota, mereka juga suka di penthousenya. Mereka berdua mempelajari semua data tentang Origin Core yang berhasil mereka salin sebelum meninggalkan observatorium. Rei dan Haruto juga membantu secara virtual, menggunakan koneksi mereka untuk melacak pergerakan Samuel.Namun, semua itu seperti mengejar bayangan. Samuel menghilang, dan Elros... tetap diam.Di hari ketiga, Alya menatap layar hologram yang kosong, frustasi. “Ini seperti menunggu bom meledak tanpa tahu di mana bomnya,” gerutunya.Raditya meletakkan tangannya di pundaknya, lembut. “Dia masih berpikir. Kita harus percaya.”“Sayang, kamu tidak boleh terlalu kelelahan, ibu hamil harus banyak istirahat, tidak ikut memikirkan masalah ini, ya…” ujar Raditya kembali.“Baik, suamiku,” jawab A
Alya menggenggam erat tangan Raditya ketika suara Samuel menghilang, hanya meninggalkan gema janji ancaman di udara. Observatorium yang runtuh itu terasa semakin sempit, seolah dinding-dinding tuanya ikut mendengar semua kebenaran kelam yang terungkap.Elros berdiri di antara mereka, diam dan tak bergerak. Namun matanya, yang sejak awal tampak keras dan penuh kemarahan, kini berkabut oleh sesuatu yang lainâkebingungan. Luka batin yang tak pernah sempat disembuhkan.âKamu tidak sendirian,â ucap Alya perlahan, nadanya selembut mungkin. Dia tahu, kata-kata itu bisa jadi tak cukup untuk menembus pertahanan Elros. Tapi dia harus mencoba.Elros menoleh ke arahnya, wajahnya penuh curiga. âApa kamu pikir hanya karena kamu mengatakannya, aku bisa mempercayaimu?â katanya pahit. âKalian semua sama. Berkata manis... lalu meninggalkan.âRaditya maju satu langkah. âKami tidak akan meninggalkanmu. Tapi pilihan tetap di tanganmu, Elros. Kau sendiri yang menentukan apakah ingin berjalan bersama kami..
Suasana di dalam observatorium runtuh itu mendadak tegang. Waktu seakan berhenti saat kalimat itu terucap.âKamu ibuku, bukan? Sudah waktunya kamu pulang.âDewi tak bergerak. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Sorot matanya, yang tadi tenang dan misterius, kini dipenuhi gejolak: penyangkalan, ketakutan, danâĶ rasa bersalah yang tak bisa ditutupi.Alya menatap Raditya, yang sudah mengambil posisi protektif di depannya. Radit hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan untuk tetap tenang. Tapi tangan kanannya sudah menyentuh pinggang- siap mengakses perangkat pertahanannya jika diperlukan.Remaja laki-laki itu melangkah masuk, sorot matanya tak lepas dari Dewi. Pria bertubuh tegap di sampingnya tetap berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang menjaga gerbang ke masa lalu.âNamaku Elros,â ujar anak laki-laki itu. âAku dilahirkan bukan untuk dicintai. Aku diciptakan untuk menyelesaikan yang belum selesai.âDewi menarik napas tajam. âTidakâĶ bukan itu maksudku waktu itu. Kamu-
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.âRadit,â suara Alya pelan, âkalau ini jebakan...ââAku tahu risikonya,â potong Raditya, tak menoleh. âTapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.âMobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. âTempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.âRadit,â suara Alya nyaris tak terdengar, âkita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.âRaditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembapâukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. âMasih baru,â gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.âSiap?â tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.âRadit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?â tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.âAda kabar penting, Bunda, Yah,â jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. âAlya... dia hamil.âBeberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.âAPA?! HAMIL?!âAyah Darian tergagap. âTunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?âRaditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. âKami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa âinsiden sistem globalâ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.âPagi,â katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. âKamu tidur jam berapa?ââJam dua. Haruto kirim update terakhir soal