Tersebutlah sebuah kerajaan Islam di masa dinasti Khalifah Haikal Harun, sebuah wilayah yang bernama Al Hajjaz yang dipimpin oleh seorang Sulthan yang bernama Abdullah Zain Fathany. Kerajaan itu hendak melebarkan kekuasaannya ke banyak negara agar tegak hukum Allah di seluruh dunia. Itulah perintah dari Sang Khalifah kepada setiap kerajaan yang telah berbai'at, yaitu agar menaklukkan setiap negeri kafir yang berada dekat dengan masing-masing kerajaan.
Rasyad Najmudin adalah salah satu panglima perang di kerajaan Al Hajjaz. Walaupun ia seorang muhajirin dari Andusia dan usianya sangat muda—21 tahun—ia seorang yang tegas dan menguasai ilmu strategi perang yang jitu. Oleh karena itu, sejak dua tahun yang lalu ia didaulat oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima.
***
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kepada Raja Riwaz Arb yang menguasai negeri Konstin.
Saya Abdullah Zain Fathany hendak menawarkan suatu agama yang sempurna. Mengajak Anda untuk menyembah Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam, serta mengajak Anda mengakui Nabi Muhammad Shalallaahu 'alaihi Wasalam.
Jika Anda tertarik, maka kami akan mengirim seorang utusan yang akan mengajarkan Anda akan diin sempurna ini.
Namun, jika Anda tidak bersedia, maka kami tawarkan Anda untuk tunduk kepada negara kami, negara Islam Al Hajjaz, tunduklah dengan hukum Allah dengan membayar jizyah setiap tahun untuk kami menjamin darah dan harta Anda beserta rakyat Anda.
Dan jika Anda masih menolak. Maka hanya kepada Allah kami bersabar untuk memerangi Anda. Kepala Anda dan pasukan Anda akan lepas dari badan, wanita dan anak-anak kalian akan kami jadikan budak.
Itulah hukum dari Rabb semesta alam.
Tertanda,
Sulthan Abdullah Zain Fathany
"Kurang ajar! Berani-beraninya Si Abdullah Zain mengancam negeriku. Dia pikir dia siapa mau nyuruh aku dan rakyatku meninggalkan agama nenek moyang yang sudah turun-temurun selama berabad lamanya. Dia tidak tahu siapa aku?" Dengan sorot mata yang menyala-nyala, Raja negara Konstin terlihat murka menerima pesan dari seorang kurir kesultanan Al Hajjaz.
Para pejabat menteri yang duduk berjejer di samping kiri kanan singgasana sama-sama menyorotkan pandangan kemarahan setelah mendengar isi surat itu.
"Hai, Kurir! Sampaikan kepada sultanmu, aku tidak akan pernah mengikuti agama kalian yang aneh itu! Dua bulan ke depan aku tunggu kalian di bukit Magindu, siapkan pasukan terbaik kalian! Kepala kalianlah yang akan lepas dari badan! Ingat itu!" Raja Riwaz begitu marah, ia pun menantang Sulthan Abdullah Zain.
Sang kurir akhirnya kembali ke kesultanan Al Hajjaz setelah menerima surat balasan dari Raja yang terkenal keras dan semena-mena tersebut.
***
"Putri ... Putri ... Putri Zara!" Seorang budak wanita memanggil Zara Shaka Arb--adik dari Raja Riwaz-- sambil berlari.
Sang Putri yang sedang menikmati indahnya kembang anggur dan delima yang sedang mekar pun menoleh heran. Ada apa gerangan, sampai sang budak ini terburu-buru seperti itu. "Hemm .... " Zara bergumam seraya menaikkan dagu dan menunjukkan tatapan tanya kepada gadis muda yang kini berada di hadapan. Ya, usia budak itu sekitar lima belas tahun.
"Putri, tadi pagi ... a-ada utusan dari negeri Hajjaz. Dia mengirim surat untuk Tuan Raja." Dengan sedikit gugup sang budak muda itu menjawab tatapan Zara.
"Memangnya ada berita apa dari negeri Hajjaz? Tumben mereka mengirim utusan ke mari?"
Kesultanan Al Hajjaz memang tidak pernah mengutus seorang pun ke negeri Konstin sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya.
"Mereka mengajak untuk menyembah Tuhan mereka, Allah."
"Allah?" Suara Putri cantik itu terdengar lirih, nyaris seperti bisikan, tapi dapat terdengar oleh sang budak.
"Iya, kalau Tuan Raja bersedia menerima, maka sultannya akan mengirim utusan untuk menerangkan agama mereka itu. Kalau tidak, mereka menyuruh kerajaan untuk membayar upeti setiap tahun sebagai jaminan agar kita tidak dibunuh dan dirampas harta oleh mereka." Sang budak menjelaskan panjang lebar.
"Terus?" Sang putri semakin penasaran.
"Kalau Tuan Raja masih menolak maka kesultanan Al Hajjaz akan memerangi kita."
Sontak Sang Putri yang cantik itu mengernyitkan dahinya. "Lalu yang mulia menjawab apa?"
"Raja marah besar, dua bulan ke depan kerajaan akan berperang dengan mereka."
Zara Shaka pun melesat meninggalkan sang budak dengan wajah gusar. Dia memang pernah mendengar akan kesultanan Al Hajjaz yang besar. Wilayah mereka semakin hari semakin bertambah. Katanya penghuni negeri itu mayoritas beragama Islam. Zara tidak paham dengan agama itu.
Sejak lahir ia menganut agama Ayziyan yang turun-temurun dianut mayoritas penduduk di negerinya. Selama ini Kerajaan Konstin melebarkan kekuasaannya tidak untuk menyebarkan agama tertentu. Rakyat mengikuti agama apa saja, yang penting mereka mematuhi titah Sang Raja.
Memang tidak dipungkiri bahwa kerajaan Konstin juga tak kalah besar dan memiliki wilayah yang luas. Namun, selama ini tidak pernah kerajaan seolah ditantang seperti ini. Yang ada Kerajaan Konstinlah yang menantang negeri lain. Zara yakin kakaknya pasti marah besar
***
Aku bergegas berjalan menuju ruang istirahat Kakakku. Dia seorang raja di negeri Konstin yang kaya ini. Aku penasaran dengan berita yang baru saja disampaikan oleh Numa, salah seorang budakku. Dia pasti mendengar informasi itu dari ayahnya yang bertugas memberi minum raja. Sampai di depan ruangan kakak, aku mendengar suara ribut-ribut.
"Budak sialan! Membereskan kamar saja kau tidak becus!"
Terdengar bunyi pukulan bertubi dari dalam. Aku memandang dengan tatapan penuh tanya kepada dua penjaga di depan ruangan kakak. Mereka hanya menunduk ketakutan. Aku pun menerobos masuk ke dalam. Kedua penjaga tadi berusaha mencegahku. Aku tak peduli.
Aku terkejut melihat kakak menendang tubuh seorang budak paruh baya yang meringkuk di lantai. Segera kutarik lengan kakakku. "Yang Mulia!"
Dengan sorot mata penuh amarah Kakak menatapku. Dadanya masih naik turun karena emosi yang belum reda.
"Pengawal! Seret dia!" titah Kakak kepada kedua penjaga yang tadi menyusul di belakangku.
Kedua pengawal itu pun mengangkat budak malang itu keluar.
"Kau bisa membunuhnya, Tuan Raja .... " Aku mengelus lengan kekar Kakak, mencoba menenangkannya.
Ini memang bukan pertama kali Kakakku bersikap kasar kepada para budak atau penjaga. Jika sedang marah, ia mampu membunuh mereka dengan pukulannya. Kakakku tak peduli apakah yang dihadapinya itu lelaki atau perempuan, tua ataupun muda.
Aku menuangkan air dari teko di atas meja ke dalam sebuah cawan dan menyerahkan kepada Kakakku. Ia pun duduk di tepi ranjang menerima air tersebut, kemudian meneguknya hingga tandas.
"Ada apa, Yang Mulia? Kenapa kau terlihat begitu emosi?" tanyaku setelah Kakak terlihat lebih tenang.
"Budak brengsek itu menumpahkan tinta ke meja itu." Kakak mengarahkan pandangannya ke meja yang ada di pinggir ruangan. Mataku pun mengikuti arah pandangannya. Meja itu berisi susunan kitab-kitab bacaannya. Terlihat cairan hitam pekat mengotori meja kayu tersebut.
"Apa kau marah karena terpengaruh dengan kedatangan kurir dari Al Hajjaz?"
Kakak menatapku lekat, kemudian mengangguk. Lalu ia berkata, "Baru kali ini kerajaan kita ditantang, mereka sungguh berani." Kakak menyeringai.
"Katanya mereka menawarkan tiga pilihan, hemm?"
"Ya, aku memilih perang!" tegas Kakakku.
"Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi?"
"Aku takkan bernegosiasi dengan mereka yang berani menantangku."
Aku menundukkan pandangan. Aku tahu Kakak orang yang keras. Jika ia sudah menentukan, akan sangat sulit untuk mengganti keputusannya.
"Ya sudah, kau tak perlu khawatir. Kita punya pasukan tempur yang kuat bukan?" Aku tersenyum seraya menggenggam jemarinya.
"Ya, tentu saja. Mereka akan kalah seperti biasa."
Aku mengangguk.
"Pengawal!" teriak Kakakku tiba-tiba.
Terlihat seorang pengawal setengah berlari mendatangi.
"Iya, Tuan Raja." Pengawal itu membungkukkan tubuhnya, ketika sampai di hadapan kami.
"Panggil Sati kemari!"
Sati ialah budak wanita favorit Kakak. Hemm, ia pasti mau bersenang-senang.
"Baik, Tuan." Si pengawal tadi kemudian berbalik.
"Ya, sudah. Aku kembali ke ruanganku." Aku pun beranjak dari tempat tidur Kakak, "Hemm, ingat, Tuan Raja. Kau jangan kasar dengan Sati."
Kakak tersenyum. "Iya, Adikku sayang .... " Ia berdiri lalu mengecup pucuk kepala dan membelai rambut panjangku.
Jika kakak sedang emosi, sering kali ia bersikap kasar. Mudah-mudahan Sati tidak dikasarinya. Aku menyunggingkan senyuman hangat kepada kakak, kemudian berlalu.
Part 2 : Kematian Permaisuri KonstinKurebahkan tubuh ke peraduan menatap langit-langit kamar. Semilir angin dari jendela yang terbuka membelai wajah ini. Ah, sejuknya. Pikiranku seketika melayang."Allah ... seperti apa Tuhan-nya umat Islam itu?" Bibirku tanpa sadar bergumam."Putri!”Aku terlonjak kaget mendengar suara seorang anak kecil. Heh, rupanya si Razi—putra tunggal kakakku—. Aku pun duduk di pinggir ranjang menyambut pelukannya. Usianya baru enam tahun. Ibunya, sang permaisuri telah meninggal dunia ketika melahirkannya."Tuan Putri, aku tadi ke tempat Raja. Tapi, tidak dibolehkan masuk .... " Bibir kecilnya mengerucut, lucu sekali.Hehe, tentu saja kau dilarang masuk, Nak. Ayahmu sedang bersenang-senang dengan budak wanitanya."Razi mau apa ke tempat ayah?" tanyaku sembari mengelus rambutnya yang halus."Aku mau minta beliau lukiskan kuda.
Part 3 : Tewasnya Panglima PujaanSudah sebulan lebih sepekan sejak kedatangan kurir dari negeri Hajjaz. Para panglima lebih intens berlatih bersama pasukannya. Persiapan perang di bukit Magindu dilakukan tiga pekan lagi.Mereka akan berangkat, tidak semua ... sejumlah 20.000 pasukan yang diutus dengan beberapa panglima perang. Biasanya hanya belasan ribu orang saja yang dikerahkan, berhubung Al Hajjaz negeri yang terkenal besar, makanya disiapkan lebih. Masih ada lagi sekitar 15.000 pasukan yang tinggal untuk berjaga di sekitar istana. Kakakku berangkat belakangan bersama beberapa pasukan nanti.Perjalanan ke perbatasan negeri Konstin dengan Al Hajjaz di bukit Magindu memakan waktu sepuluh hari berjalan kaki. Sisa waktu sekitar dua hari tentu untuk mereka beristirahat dan membangun tenda di sana.Hari ini kami mengadakan upacara meminta keberkahan dari ruh-ruh nenek moyang. Kami menyembelih dua puluh ekor unt
Bab 4 : Akhir dari Kerajaan KonstinSambil berlari aku melihat di hadapan, Numa dan kedua orang tuanya telah menunggu. Mereka sudah siap dengan kereta kuda. Ada beberapa kereta yang juga siap pergi, isinya mayoritas anak-anak dan wanita terutama keluarga pejabat kerajaan. Aku mempercepat langkah ini. Kereta-kereta yang sudah siap, langsung pergi menjauh dari istana."Tuan Putri, cepaat!" seru Banu, ayah Numa setengah berteriak.Akhirnya aku dan Razi sampai juga masuk ke kereta tersebut. Numa dan ibunya pun menyusul masuk dengan beberapa pekerja wanita. Banu duduk di depan dengan kusir."Putri Zara dan Pangeran Razi, lekas ganti pakaian kalian," ujar Mina, ibunya Numa.Aku segera menanggalkan perhiasan juga pakaianku, menggantinya dengan pakaian sederhana yang sudah disiapkan. Hal ini agar musuh tidak mengenal siapa kami. Razi dibantu oleh Numa mengganti pakaiannya. Kereta k
Bab 5 : Selamat Datang di Kesultanan Al HajjazHari ini aku dan Razi untuk yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar wilayah kekuasaan Konstin. Biasanya jika kerajaan kami berhasil menaklukkan suatu negeri, kami akan jalan-jalan ke sana dengan perasaan senang. Namun, kali ini kami meninggalkan istana dengan hati yang remuk redam. Akankah kami bisa kembali lagi ke tanah kelahiran kami atau tidak seperti biasanya? Entahlah ....Kami bukan lagi seorang bangsawan, kami hanyalah tawanan perang. Oh, alangkah takdir bagaikan roda yang berputar. Kali ini kami berada di bawah ... apakah dapat kembali ke atas? Sekali lagi, entah.Beberapa kali kami semua berhenti untuk mengistirahatkan orang-orang yang berjalan kaki. Entah berapa hari bisa sampai ke tujuan. Ke perbatasan di bukit Magindu saja butuh sepuluh hari. Sudah tengah hari, matahari begitu terik. Kami disuruh turun dari kereta, dan berteduh di bawah pepohonan di dekat sebuah sumur.&nb
Bab 6 : Apakah Aku Akan di ....Mereka lalu membawaku juga tiga wanita lainnya ke sebuah ruangan. Ada seorang lelaki paruh baya dengan janggut yang sudah memutih di sana."Ini, Tuan." Salah seorang prajurit yang membawa kami berbicara.Pak tua itu memperhatikan kami dengan saksama. Sebentar saja, tapi seolah cukup baginya untuk menilai."Ini untuk Tuan Ashim." Ia menunjuk seorang wanita di antara kami."Ini untuk Umar.""Ini untuk Tuan Rasyad." Ia menunjukku."Dan ini ... untuk Syafiq.""Baik, Tuan," sahut sang prajurit, lalu ia pun pamit.Kemudian kami digiring ke luar ruangan oleh tiga orang prajurit. Aku mendekati seorang prajurit paling depan."Tuan ...," panggilku.Dia melirik sebentar lalu berkata, "Ada apa lagi?""Tuan, aku mau bertemu anakku. Dia bersama kakeknya di sel pria," jawabku sambil berusaha menyamakan langkah
Bab 7 : Apakah Aku Akan di .... (Bagian 2)"Hei, bangun ... Shaki ... bangunlah." Seorang wanita paruh baya dengan tudung kepala membangunkan Zara.Zara mengerjapkan mata, hendak mengembalikan kesadarannya. Sejenak ia memandang wanita asing di depannya. Sontak ia membangunkan tubuhnya dan duduk di pinggir dipan."A-Anda siapa?" tanyanya."Aku Benazir. Aku budaknya Nyonya Marie ...," jawab wanita itu sembari tersenyum hangat."Marie ...?" Dahi Zara berkerut."Maksudku Ummu Rasyad," lanjut Benazir."Oh ...," lirih Zara."Nyonya menyuruhku membangunkanmu, ia menyuruhmu makan siang."Mendengar makan, Zara refleks memegang perutnya yang memang belum terisi. Ia makan tadi pagi sebelum dibawa ke rumah ini oleh prajurit Hajjaz. Benazir berdiri, kemudian membantu merapikan kudung yang dipakai oleh Zara. Ya, sejak ditawan oleh Hajjaz memang ia diwajibkan memakai penutup kepal
Bab 8 : Indah"Hemm, Shaki ...?" Pemuda berwajah tampan itu mengernyitkan dahi ketika melihat Zara yang terduduk memeluk kakinya sendiri dengan tubuh berguncang, karena menangis.Rasyad Najmudin, seorang pria muda dengan prestasi yang gemilang dalam jihad sehingga dipercaya oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima besar. Selain cerdas dan shalih ia juga dianugerahi oleh Allah dengan wajah yang rupawan. Ia berasal dari negeri Andusia, mewarisi mata indah ibunya yang berwarna biru gelap dan mempunyai sorot tajam dengan alis yang tebal, rambutnya gondrong kecokelatan, sedikit bergelombang.Sejak kecil ia sering mengikuti adik dari ibunya yang bolak balik membawa dagangan ke negeri Hajjaz. Sang paman sudah lama memeluk Islam, ketika usia Rasyad dua belas tahun ia pun masuk Islam mengikuti agama pamannya. Ibunya yang tadinya Nasrani sama sekali tidak melarangnya berpindah agama, karena putra satu-satunya itu merupaka
Bab 9 : Mulai Mengetahui"Oh, ya?" tanya Zara seakan tak percaya.Rasyad pun mengangguk-angguk sembari tetap tersenyum. "Aku kelihatan tua, ya?" tanya Rasyad."Bu-bukan begitu, akuu hanya tidak menyangka usia Anda masih sangat muda." Zara menunduk.Rasyad menyugar rambut gondrongnya dengan jemari. "Aku akan menjelaskan beberapa tugas yang harus kau lakukan," lanjut pemuda tampan itu.Zara menyimak."Tugasmu hanya melayani kebutuhanku, menyuci pakaian, membereskan kamar ini. Soal masak, Ibuku dan Benazir biasa melakukan berdua, kau boleh membantu mereka." Rasyad menjelaskan panjang lebar. "Sebenarnya kau harusnya melayaniku juga di atas ranjang, tapi aku akan menunggu sampai kau siap." Rasyad menatap Zara lekat.Semburat merah menghiasi pipi gadis cantik itu. Ia kembali menunduk. Budak cantik itu tak menyangka kalau ia tidak dipaksa untuk melayani tuannya dalam hal syahwat. Sebab mengin