Part 2 : Kematian Permaisuri Konstin
Kurebahkan tubuh ke peraduan menatap langit-langit kamar. Semilir angin dari jendela yang terbuka membelai wajah ini. Ah, sejuknya. Pikiranku seketika melayang.
"Allah ... seperti apa Tuhan-nya umat Islam itu?" Bibirku tanpa sadar bergumam.
"Putri!”
Aku terlonjak kaget mendengar suara seorang anak kecil. Heh, rupanya si Razi—putra tunggal kakakku—. Aku pun duduk di pinggir ranjang menyambut pelukannya. Usianya baru enam tahun. Ibunya, sang permaisuri telah meninggal dunia ketika melahirkannya.
"Tuan Putri, aku tadi ke tempat Raja. Tapi, tidak dibolehkan masuk .... " Bibir kecilnya mengerucut, lucu sekali.
Hehe, tentu saja kau dilarang masuk, Nak. Ayahmu sedang bersenang-senang dengan budak wanitanya.
"Razi mau apa ke tempat ayah?" tanyaku sembari mengelus rambutnya yang halus.
"Aku mau minta beliau lukiskan kuda."
"Ooh, gitu. Sini, bibi yang lukiskan." Aku menggiring bocah lelaki itu ke sebuah lemari buku di kamarku.
Kuambil sebuah kertas dan pena lalu menggandengnya ke sebuah meja rendah. Kami pun duduk di atas permadani di lantai.
Razi terlihat senang, matanya berbinar melihat hasil karyaku. Ya, aku dan Kakak memang pandai melukis. Namun, Kakak sudah sangat jarang melakukan kegemaran lamanya itu, sebab ia mulai sibuk urusan kenegaraan sejak diangkat sebagai raja setelah Ayah kami wafat lima belas tahun yang lalu, waktu itu aku masih berumur tujuh tahun. Sedangkan hasil karyaku, hanya aku koleksi untuk sendiri.
"Waah, bagus sekali, Putri!” Razi memekik girang melihat gambar kuda itu.
Aku pun menarik bibir dengan semringah. Kuacak rambutnya yang panjang sebahu itu.
"Aku mau belajar naik kuda," ujar bocah kecil itu.
"Tentu saja, nanti kalau Razi sudah umur sepuluh atau sebelas tahun."
Dia mengangguk semangat. "Aku mau kayak Raja, gagah maen pedang dan panah sambil naik kuda." Ia berdiri, kemudian kakinya berlompatan berusaha meniru sang ayah yang sedang naik kuda.
"Hahahaa ... kamu gagah sekali, Sayaang ...," ucapku sembari menarik kedua lengan kecilnya sehingga ia terjatuh di pelukanku, kuhirup harum kepalanya dengan rasa sayang. Aku ingin ia merasakan kasih sayang seorang ibu walau aku bukanlah ibu kandungnya, tapi tetap saja dia darah dagingku, bukan?
Teringat enam tahun silam ....
"Huh!" Di suatu malam tiba-tiba kakak ipar, Kak Simrana mendatangi kamarku dan duduk di tepi ranjang.
Dahiku mengernyit. "Engkau kenapa, Permaisuri?" tanyaku heran melihat sikapnya yang terlihat begitu emosi. Ia sedang hamil besar, tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Waktu itu umurku masih enam belas tahun.
"Kakakmu itu! Dia dapat mainan baru!" ujarnya ketus, membuat dahiku mengernyit.
"Budak wanita lagi?" tebakku.
Kakakku baru tiga hari pulang dari pertempuran dengan negeri Adora. Seperti biasa, negara kami menang perang. Kakak pasti dapat budak wanita baru. Itu membuat kakak iparku cemburu, apalagi sekarang ia sedang hamil. Bukankah orang hamil lebih mudah tersulut emosi?
"Apa lagi? Dia dapatkan putri mahkota Adora. Ayah dan ibunya sudah mati terbunuh." Mata Kakak ipar seketika berkaca-kaca, aku tahu dia bukannya kasihan dengan wanita itu, tapi ia memang selalu cemburu dengan suaminya. Aku mengerti perasaannya.
Kutundukkan pandangan, merasa miris. Akan tetapi, begitulah perang, pasti ada korban. Aku kasihan dengan putri dari Adora dan siapa saja mereka itu. Tradisi di mana saja memang begitu turun temurun. Jika menang, putri atau permaisuri lawan akan menjadi budak syahwatnya.
"Permaisuri jangan banyak pikiran, kasihan bayi di kandunganmu .... " Aku menggenggam jari-jari Kak Simra, berusaha meredam emosinya.
"Kakakmu itu tak memikirkan perasaanku!" Ia terisak, bulir air mata pun membasahi pipi tembamnya.
Aku tak bisa berbuat banyak, Kakak lelakiku itu memang kurang peka. Tiba-tiba Kak Simra terlihat meringis, lalu mencengkeram baju di bagian perut bawahnya.
"Ke-kenapa, Permaisuri?" tanyaku panik.
"Sakit lagi ... aakh!" Ia setengah berteriak.
"Apa kau sudah mau melahirkan?"
"Entahlah, dari tadi memang sudah sering sakitnya. Ini makin sakiit .... " Terasa telapak tangannya basah oleh keringat.
"Tunggu, aku suruh pengawal panggilkan tabib." Aku beranjak dari ranjang, menuju ke depan dan memerintahkan pengawal memanggil tabib.
Permaisuri Simra kubantu berbaring di ranjangku. Tak berapa lama pun tabib istana datang dengan perlengkapannya. Kemudian ia memeriksa Kakak iparku itu.
"Bagaimana?" tanyaku gusar.
"Sudah pembukaan, sepertinya akan segera melahirkan. Tapi, tekanan darahnya tinggi," jawab sang tabib, terlihat kekhawatiran di wajahnya.
"Aku panggilkan yang mulia dulu." Kalau sedang bersenang-senang, Kakakku sebenarnya tidak mau diganggu. Ia akan mengamuk jika pengawal mendatanginya. Makanya aku putuskan aku saja yang ke sana, karena Kakak tidak pernah memarahiku, ia sangat sayang pada adik satu-satunya ini.
***
"Raja! Tuan Raja!" teriakku dari balik tirai pertama di dalam kamar Kakak. Tentu saja aku tak mau melihat Kakak dalam keadaan tak pantas. Terdapat tiga lapis tirai dalam kamarnya, menyekat ruangan menjadi beberapa bagian.
Terdengar suara isakan tangis seorang wanita dari dalam sana. Pasti kakakku sudah memaksa sang putri dari Adora itu.
"Kenapa, Putri Zara?!" tanya kakak dengan suara keras dari balik tabir.
"Ke mari, sebentar!"
Terdengar dengusannya, kemudian suara langkahnya mendekati diiringi bunyi kibasan tirai.
"Ada apa?" tanya Kakak dengan tampilan bertelanjang dada, terlihat berantakan.
"Permaisuri sudah mau melahirkan anakmu," jawabku.
"Apa?!" Mata Kakak seketika membulat, dan bibirnya tertarik ke atas.
"Iya, sekarang sedang ditangani tabib istana di kamarku."
Kakakku segera bergegas ke luar kamar.
Masih terdengar isakan dari bagian terdalam kamar itu. Ini memang kamar khusus Kakakku, sedangkan kamar dengan istrinya berbeda. Aku penasaran, tanpa sadar kaki ini melangkah ke dalam.
"Astaga ...," gumamku.
Aku terperanjat melihat keadaan gadis yang ada di atas peraduan kakak. Ia duduk di ranjang kusut dengan wajah tampak lebam dan ujung bibirnya terkoyak.
Aku pun mendekati, seketika gadis itu sadar akan kedatanganku. Matanya yang memerah dan basah menyorot nanar melihatku. Didekapnya kain selimut di dadanya. Surainya kusut masai, tubuhnya gemetar ... Kakakku sungguh tega. Aku berbalik menuju tirai kedua.
"Pengawal!" teriakku.
Seorang penjaga datang menghampiri. "Iya, Tuan Putri."
"Panggil tabib istana ke mari," perintahku padanya.
"Baik, Putri." Pengawal itu pun berbalik.
Kembali aku mendatangi sang putri dari Adora. Sorot matanya tampak sedikit berubah tidak seperti awal aku melihatnya. Aku mendekatinya, menjulurkan tangan ingin mengusap air matanya. Tapi ia mengalihkan wajah, membuat tanganku bergantung di udara.
"Maafkan Kakakku," ujarku dengan perasaan yang ... entah.
Ia hanya bergeming, isaknya masih tertinggal sedikit. Ketika tabib istana datang, aku perintahkan untuk mengobati luka sang putri Adora. Awalnya gadis itu ragu, akhirnya menerima sang tabib untuk memeriksanya. Setelah melihat sang tabib menanganinya, aku pun kembali menuju kamarku, hendak melihat keadaan Kakak ipar.
Sesampai di depan kamar, kembali aku terperanjat mendengar raungan suara Kakak.
"Tidaaaaaaak! Simraaaa, jangan tinggalkan akuuu!" terdengar Kakakku menangis tergugu.
"Ada apa?!" tanyaku heran dengan debar jantung yang seketika memburu kepada tabib yang kini di hadapan.
Si tabib menundukkan kepala dengan air mata yang membasahi pipi. Ia lalu berkata, "Permaisuri Simrana telah wafat, Tuan Putri .... "
Bab 73 : Ekstra PartSetelah Hurin sembuh sepenuhnya, ia pun diboyong kembali ke Kesulthanan Konstin. Sampai di sana, wanita muda jelita itu disambut meriah oleh sang ibu, Zara Shaka Arb. Hurin sangat bahagia. Kini ia merasa sangat sempurna dengan keluarga yang lengkap.Selama hampir dua bulan Hurin mengalami nifas akibat kehilangan janin yang ternyata sudah berusia sebulan lebih. Selama itu juga ia mengonsumsi madu pilihan juga ramu-ramuan dari tabib istana untuk mengembalikan kesehatan dan kesuburannya. Sejak wanita jelita itu masuk Islam, inilah kali pertama dalam waktu yang lama ia tidak menjalankan ibadah shalat. Ia sangat rindu untuk melakukan itu.Inilah hari di mana ia telah selesai melewati masa nifas yang sampai empat puluh hari. Akhirnya kerinduannya untuk shalat terobati. Karena merasa bersih di waktu Isya, ia pun mengqada shalat magrib, dilakukan di waktu Isya. Setelah selesai shalat, wanita muda itu duduk d
Bab 72 : TerangFakhrurrazi bersama lima orang pengawalnya heran melihat perbatasan di lembah Sira. Tenda-tenda milik pejabat dan tentara Negara Konstin telah bersih. "Ke mana semua orang?" tanya pria itu. Matanya diedarkan ke sekeliling tempat itu."Mereka tidak mungkin pulang, Tuan! Kita tidak melihat mereka menuju jalan pulang." Salah seorang pengawal mendekati Fakhrrurazi. Mereka semua masih di atas tunggangannya masing-masing.Sang pejabat menteri mengangguk. "Kita menyebar dan berkumpul lagi di sini untuk melaporkan hasil penglihatan masing-masing sampai menjelang Dzuhur. Kau dan kau ke arah sana, kau juga kau ke sana. Aku dan dia ke sana!" perintah Fakhrurazi mengarahkan kelima prajuritnya."Baik, Tuan!" jawab para prajurit itu serentak.Sampai menjelang waktu Dzuhur, Fakhrurazi bersama seorang pengawal yang memeriksa arah barat, tidak mendapat tanda-tanda keberadaan orang
Bab 71 : Hurin?"Ini surat dari Putri Mahkota Andusia," ujar salah seorang utusan dari Kerajaan Haura.Sulthan Abdul Aziz memberi isyarat kepada Fakhrrurazi. Sang pejabat menteri pun mengambil surat itu kemudian membacanya. Betapa terkejutnya ia ketika membaca tulisan tangan sang istri.'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Aku memutuskan untuk tidak kembali kepada engkau, Suamiku ... Raja Negeri Haura mejanjikanku kesenangan. Lagi pula kau hanya pejabat menteri biasa. Aku pasti lebih bahagia menjadi permaisuri dari Raja Hamran.Maafkan aku mengecewakanmu. Katakan kepada Sulthan Abdul Aziz, tidak perlu repot lagi berperang. Aku sudah memutuskan untuk memilih Raja Hamran dibandingkan suamiku sendiri.Oh, iya, aku tunggu berita kau menalaqku, Tuan Fakhrurazi.TertandaRoseline'Seketika
Bab 70 : Keputusan RoselineSetelah setengah harian mengobrol bersama Lucy, Roseline dan Jena pun pamit untuk pulang seusai shalat Dzuhur. Namun, sang putri berniat mengunjungi Elisa sebelum kembali ke istana."Wah, aku rindu sekali dengan Elisa, Tuan Putri!" seru Jena senang.Roseline mengulas senyuman. "Kita ke pasar dulu beli camilan dan buah untuknya. Dia 'kan sedang hamil, tentu dia senang dibawakan buah seperti waktu itu," ujar wanita cantik tersebut.Jena mengangguk dengan bibir yang senantiasa tersenyum.Rumah Elisa dan Steve berada di pinggiran kota. Melewati sedikit wilayah yang penuh dengan pepohonan. Hutan yang tidak begitu lebat. Bersama Nu'man, kusir baru keluarga, Roseline dan Jena menuju ke sana setelah mendapatkan camilan dan buah-buahan dari pasar.Tengah hari itu langit begiu cerah. Perjalanan menuju rumah Elisa memang t
Bab 69 : Keyakinan DiriKarena pikiran berat yang senantiasa mengusik, Roseline jatuh sakit. Badannya panas dan beberapa kali muntah, hingga membuat orang di sekitarnya khawatir. Fakhrrurazi memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari agar bisa merawat sang istri."Bagaimana keadaannya?" tanya Zara cemas kepada putranya setelah tiga hari sang putri sakit. Tampak di tangannya membawa sepinggan kecil potongan buah."Alhamdulillah, panasnya sudah turun, Bu," jawab Fakhrurrazi di depan pintu kamarnya sambil memegang bejana air yang sudah kosong. Sepertinya ia ingin ke dapur untuk mengisinya.Zara kemudian melangkah masuk melewati dua lapis tabir yang menyekat ruang itu menjadi tiga bagian. Tampaklah Roseline yang tengah melamun menatap ke arah jendela sambil berbaring di ranjangnya. Haris terlihat tengah memijat kaki sang ibu dengan jemari kecilnya.Ketika menyadari kedatangan Zara
Bab 68 : Kecamuk di Dalam HatiMenjelang dini hari Fakhrurrazi kembali dari bertugas. Ia melihat sang putra dan istrinya telah terlelap. Oleh karena tubuh yang merasa begitu lelah, seusai membersihkan diri lelaki itu pun merebahkan diri di samping Roseline. Lengan kekarnya memeluk pinggang ramping sang istri. Tidak lama kemudian pria itu terlelap dengan sendirinya, ia tak menyadari jejak air mata yang ada di pipi wanitanya.Ketika waktu hampir subuh, Roseline terbangun. Kelopak mata indahnya mengerjap hendak mengembalikan kesadaran. Seketika ia menyadari ada lengan yang memeluk perutnya. Kembali pikiran wanita jelita tersebut terusik dengan kenyataan bahwa pria yang kini berada dekat tanpa jarak itu adalah kakaknya.Roseline menatap lekat wajah lelap sang pria. Sungguh rupawan, walau yang ia tahu pria itu dari ayah berbeda, tetapi bukankah mereka lahir dari rahim yang sama? Begitu pikirnya. Garis wajah di had
Bab 67 : Sebuah Aib yang BesarTiga hari terlewati semenjak Fakhrurrazi menyampaikan berita bahwa Raja Negara Haura hendak merampas sang istri. Roseline sering memikirkan hal itu. Namun, ia selalu mencoba menyembunyikan perasaan kacau juga pikirannya yang berkecamuk. Walaupun sang suami telah mengatakan jika peperangan akan tetap terjadi dengan atau tanpa kejadian ini. Hal itu tetap menjadi beban pikiran bagi wanita jelita tersebut."Jadi, Kesulthanan Konstin akan berperang dengan Kerajaan Haura dua bulan ke depan, Tuan Putri?" tanya Lucy memastikan setelah mendengar cerita dari Roseline.Sudah beberapa pekan sang putri tidak berkunjung ke kastil. Ia sudah merindukan Jena, Lucy, dan Benazir."Ya, begitulah, Nek," jawab sang putri. Mereka tengah duduk berdua di dalam ruangan Lucy."Tapi, kedua negara ini memang tidak pernah akur, bukan? Aku sering mendengar
Bab 66 : Menantang BalikRahang Fakhrurrazi tampak mengeras. Ia sangat geram mendengar isi surat tersebut. Bagaimana tidak, seseorang yang begitu dekat dan ia pedulikan saat ini hendak dirampas begitu saja oleh raja yang kafir seperti Hamran.Langsung saja sang pejabat menteri mencabut pedang dari sarungnya. Lalu melangkah dengan cepat ke arah utusan tersebut.Secara spontan Rasyad menghentikan langkah Fakhrurrazi yang terlihat begitu marah. "Sabar, Razi! Kendalikan dirimu, mereka mu'ahid!"Mu'ahid adalah kafir asli yang darah dan hartanya haram untuk ditumpahkan. Mereka hanya utusan untuk menyampaikan pesan.Sulthan Konstin pun turun dari kursi singgasananya mendekati Fakhrurrazi dan menepuk pundaknya, berusaha menenangkan. "Sabar, Akhi ... kita tidak akan menyerahkan istri Anda kepada kafir seperti mereka." Ia memahami kemarahan Fakhrurrazi.
Bab 65 : Pesan dari Raja Negeri HauraKeesokan harinya, Fakhrurrazi mengajak Rasyad untuk sarapan pagi bersama di ruang keluarga mereka."Hari ini kita akan menghadap sulthan, Tuan. Bagaimana menurut Anda?" tanya Fakhrurrazi kepada Rasyad di sela-sela makan pagi mereka."Baiklah," sahut Rasyad singkat sembari meraih cawan di hadapan, lalu meneguk airnya perlahan."Jadi Tuan Andrew ini kakekku?" tanya Haris setelah menyimak pembicaraan orang dewasa di sekitarnya. Ia juga terkejut dengan kenyataan ini."Iya, Sayang. Panggil kakek ya ...." ujar Zara lembut sembari membelai rambut halus sang cucu."Baik, Nek!" sahut Haris, "Aku senang punya kakek yang hebat bermain pedang seperti Tuan Andrew!" lanjutnya girang sambil mengangkat kepalan tangan ke atas.Rasyad dan Fakhrurrazi tertawa melihat tingkah bocah kec