Bab 17 : Hirabah
Angin malam berembus kencang membuat arraya bertuliskan kalimat tauhid yang terpancang di sudut-sudut benteng gerbang Kota Barkah berkibaran. Cahaya purnama cukup terang menyelimuti suasana di malam ini. Tampak seseorang menunggangi kudanya dengan sangat terburu-buru ke arah pintu gerbang. Debu-debu dari tanah berpasir pun beterbangan terkena entakan keras tapak hewan mamalia itu.
"Ada seorang penunggang kuda ke arah sini!" teriak penjaga yang bertugas mengawasi dari atas menara.
Beberapa penjaga gerbang pun segera bersiap sedia, siaga menyambut siapa yang datang. Penunggang kuda itu pun menuruni kudanya setelah sampai di hadapan para penjaga. Ia tampak terengah-engah berbicara kepada para petugas Klkesultanan.
Setelah orang itu menjelaskan sesuatu, para penjaga pun membagi kelompoknya. Sebagian masih berjaga di tempat, yang lainnya pergi entah ke mana. Mereka tampak sangat tergesa-gesa. Sepertinya kabar ya
Bab 18 : Hirabah (Bagian 2)"Terjadi hirabah di sekitar Bukit Radu, keluarga Anda korbannya. Katanya beberapa terluka karena senjata tajam," jawab salah seorang petugas.Marie, Jasmine, Henry dan Benazir ternyata sedang dalam perjalanan pulang. Namun, tak menyangka rombongan mereka dicegat oleh para irhabi setelah beberapa orang pengawal berhasil terkecoh."Ap-apa?!" Mata Rasyad terbelalak, ia sangat terkejut dengan berita ini. "Bagaimana dengan keadaan mereka? Ibuku?" cecar sang panglima cemas."Kami sudah mengerahkan puluhan pasukan kesultanan menuju ke sana barusan. Masih belum tahu keadaan masing-masing korban hirabah ini. Semoga saja tidak parah dan bisa segera diselamatkan. Kereta kuda mereka juga sudah menuju ke arah Barkah," jelas sang petugas.Rasyad kemudian melesat menuju ke dalam kamar. Zara masih tampak terdiam di atas ranjang. Netra mereka bersirobok. Rasyad lalu mengambil sehelai kain sorban dari dalam
Bab 19 : Hirabah (Bagian 3)"Bagaimana kelanjutan penyelidikan kasus hirabah kemarin?" tanya Rasyad kepada salah seorang petugas kesultanan."Alhamdulillaah mereka semua sudah ditahan. Jumlah mereka ada dua belas orang. Tiga di antara mereka tewas. Sebenarnya empat, yang satu tewas berhadapan dengan pengawal bayaran Anda hari itu," jawab sang petugas menjelaskan."Alhamdulillaah. Berapa lama mereka direhab?" lanjut sang panglima dengan rahang mengeras. Ia sangat geram dengan para pelaku karena begitu sadis dan kejam kepada wanita. Ia teringat bagaimana luka parah yang diperoleh sang ibu juga bibinya."Sekitar dua pekan kita rehab mereka, setelah itu baru eksekusi, Tuan.""Hemm. Jangan lupa hubungi saya jika ada perkembangan, Akhi," ucap Rasyad sembari menekan pangkal hidungnya. Tiga hari ini ia tak dapat istirahat dengan benar karena ikut memburu para irhabi yang menyebabkan kematian ibu dan bibinya.***
Bab 20 : Pertemuan dengan Razi"Ini barangnya, Henry," ujar Tuan Rasyad sembari menurunkan karung dan kantung berisi kain sutra juga perhiasan bersama Hamri.Tuan Henry dan kulinya pun kemudian memasukkan barang-barang itu ke dalam tokonya satu per satu."Terima kasih, Sepupu," ucap Tuan Henry kepada Tuan Rasyad sembari melirikku. Hhhgg, genitnya muncul lagi. Menyebalkan!"Ya, sama-sama," jawab Tuanku. "Aku pergi dulu, ya," lanjut Tuan Rasyad seraya meraih pergelangan tanganku. Desiran itu kembali datang dengan sentuhannya."Hamri, kau pulang duluan," perintah Tuan Rasyad sambil telapak tangan kanannya menepuk pundak Hamri."Baik, Tuan," jawab Hamri, kemudian ia berlalu membawa kereta kami."Aku mau cari buah dulu. Kau mau sesuatu?" Tuan menatapku. Astaga, manik birunya itu sungguh indah."Emm, akuu tak mau apa-apa, Tuan," jawabku lirih."Kau ini, aku mau memb
Bab 21 : TerbongkarAh, cuaca lumayan panas hari ini. Pakaian jadi cepat kering. Aku sedang melipat pakaian yang baru saja diangkat."Putri, eh! Bibi ...?"Deg!Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil. Aku ... aku kenal suara itu!"Razi!" Aku terpekik, lalu langsung menghambur memeluk keponakan kesayanganku.Bulir bening menyeruak dan seketika bercucuran tanpa dapat tertahan."Sayaaang, bibi sangat merindukanmu, Naak .... " Kupeluk dan kuciumi Raziku.Bocah itu juga balas memelukku. "Bibi ke mana saja ...?" Razi ikut menangis.Hatiku membuncah penuh dengan kebahagiaan. Terima kasih, Tuan ... dalam hatiku sangat bersyukur atas kebaikan Tuan Rasyad. Kebaikannya bagaikan Dewa ... aku sangat berhutang budi dengannya."Maafkan bibi, Nak." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi bocah yang kini terlihat sangat kurus itu. "Razi, jangan pa
Bab 22 : Keresahan"Sudah, tak perlu dipotong," seru sang panglima sembari meraih apel yang dipegang gadisnya. Sengaja ia menyentuh jemari sang budak cantik beberapa jenak, menyebabkan sengatan yang merampat seperti kilat ke relung hati Zara, lalu sang pria pun memakan buah itu sambil terus menatap tajam ke arah Zara yang kini mulai terlihat pucat dan gemetar.***Gadis cantik yang kini tampak pias itu hanya tertunduk di atas ranjang besar sang tuan tampan. Sang pria kembali menanggalkan pakaian di hadapannya. Jantung sang gadis jelita seolah akan pecah di rongga dada ketika sang panglima tampan semakin mendekat dan mulai mencumbui bingkai wajahnya. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyerang bertubi-tubi mengiring sentuhan lembut tuannya. Gadis itu tak sanggup lagi menolak kali ini. Tak mungkin ia menjilat kembali apa yang sudah ia lontarkan dari lidahnya sendiri."Aku suka aroma tubuhmu, Shaki." Suara itu terdengar parau. Sang pan
Bab 23 : Satu KesempatanSudah tiga hari Razi belajar di rumah belajar asuhan Syaikh Muhammad Abdul Ghafur. Ia tampak senang, setiap pulang dari sana, bocah kecil itu selalu bercerita apa saja kegiatannya. Razi bilang pagi-pagi ia dan kawan-kawannya akan berolah raga, setelah itu mereka belajar menulis dan membaca. Selain itu, ia juga diajarkan bela diri.Aku bahagia melihat perkembangan jiwa Razi. Awal mula datang ia masih pendiam dan terkesan murung, tapi sekarang semua sudah lebih baik. Ia bagai terlahir kembali ke dunia. Inilah Raziku, anak yang cerdas dan ceria.Sungguh di dalam hati aku bersyukur kepada Tuanku, karena lewat perantaranyalah Razi kembali seperti semula. Terima kasih, Tuan ... terima kasih yang tak terhingga.***Sehabis sarapan, waktunya Razi berangkat ke rumah belajar. Tuanku tidak ikut sarapan karena ini hari Kamis, ia biasa saum. Kata Benazir, umat Islam banyak ajaran amalan yang
Bab 24 : Wafatnya Sang SulthanAku berbaring di atas dada bidang pria tampan yang entah sejak kapan kusimpan rasa kepadanya. Rasa yang semakin hari semakin merambat, mencengkeram, memenuhi daging merah di dalam rongga dada. Tuan ... aku mencintaimu ....Rasa itu kian bertambah karena kebaikannya, karena keluasan hatinya memaafkan kedustaanku selama ini, dan memberikanku kesempatan untuk mengembalikan kepercayaannya yang telah kurusak."Zara, bagaimana pendapatmu mengenai agama Islam?"Hemm, mengapa Tuan tiba-tiba bertanya tentang hal itu?"Emm, maksudnya mengenai apanya, Tuan?" tanyaku yang masih nyaman di dadanya yang sedikit berbulu."Kau telah melihat bagaimana negara ini menerapkan hukum-hukum Islam. Tentu berbeda dengan di kerajaanmu dulu. Bukan begitu?" tanyanya."Tentu ... tentu saja, jauh berbeda, Tuan." Kumainkan jemari di dadanya. Ah, betapa menenangkan berada di sini."Apa
Bab 24 : Pelecehan"Shaki, aku harus pergi. Adikku datang menjemput karena istri dari keponakanku sakit. Tolong kau sampaikan kepada tuan kalau beliau pulang nanti." Benazir yang barusan dari luar karena mendengar ketukan pintu berkata kepada Zara."Oh, begitu. Baiklah, Benazir ... nanti aku sampaikan kepada tuan," jawab wanita cantik itu."Nenek! Aku ikut, ya!" seru Razi tiba-tiba sembari meraih lengan keriput Benazir.Benazir menatap Razi dan tersenyum, lalu wanita tua itu mengalihkan pandangannya kepada Zara meminta pendapat."Apa tidak merepotkanmu, Benazir?" tanya Zara."Bukan masalah. Dengan adanya Razi, anak-anak dari keponakanku pasti akan riang karena ada teman." Benazir sedikit mencebik, lalu tersenyum semringah.Bocah kecil itu kemudian mendatangi dan meraih kain gamis sang bibi sembari menggoyangkannya. "Boleh ya, Bu ...," rengeknya dengan sorot mata memelas.