Bab 14
1022
Tak pernah ingin melepas. Tak pernah merasa ikhlas. Dia sendiri yang membuat hubungan ini tidak jelas. Selepas ijin pamit, lalu pergi meninggalkan. Aku pernah mengutuk langit. Bagaimana tidak? Meskipun langit yang dipandangi tetap sama. Kini kita tak lagi memandang langit bersama. Kau bersamanya, dan aku sendiri selamanya.
Apakah ini takdir? Apakah ini titik nadir? Jika ini kisah berujung getir. Tak perlu khawatir. Sudah cukup bagiku, dia pernah hadir. Dalam setiap desir, dari setiap tetes bulir yang mengalir membanjir, dia adalah orang yang pernah aku pikir menjadi orang terakhir. Menjadi tempat di mana cinta ini lahir.
Cinta tiada terganti. Kebahagiaan bersama terus menghantui dalam resah. Seakan mengajak berkelana jauh dari luka dan air mata. Terpaut dalam ikatan cinta yang nyata. Tatkala ada sebuah ungkapan dalam rasa.
Resah sesekali menghampiri tanpa dinanti. Jiwa bergejolak b
Bab 15Sebuah gambar mampu membuat terperangah. Mata ini membulat sempurna bak bulan purnama. Satu poto wanita yang hampir dikenal, tapi siapa beliau?Pak Maman membuka pintu untuk menunjukkan setiap sudut ruangan. Memang benar-benar tempat tinggal yang layak. Luar dan dalam tak mengecewakan.Sekitar dua puluh menit, setelah puas dengan melihat seluruh ruangan, aku berpamitan pulang pada penjaga kebun. Lalu menuju Vespa kesayangan.Sepintas lalu, melihat sosok wanita tua yang pernah ditemui. Ya, dia adalah seorang nenek selalu hadir dalam mimpi dan pernah kutolong. Sayangnya, sedang di jalanan, ada rambu-rambu lalulintas larangan untuk berhenti. Vespa mendadak di rem. Hampir saja menabrak sepeda motor karena masih fokus pada sosok barusan.Matahari beranjak pergi meninggalkan siang. Langit mulai gelap, burung-burung berterbangan mencari tempat persembunyian, jangkrik juga tak mau
Bab 16 Hari hampir sore, kafe juga semakin ramai dikunjungi. Sudah saatnya beranjak untuk pulang. Mungkin Ayah akan gelisah bila anak gadisnya belum juga pulang yang perginya dengan seorang pria. Meski beliau juga mengenalnya. Sebab aku adalah marwahnya. Jika tubuhku masih terjaga, maka kehormatan tetap dimiliki keluarga. Begitulah sulitnya menjaga kesucian seorang gadis. Alhamdulillah, aku masih ada di posisi itu. Sebuah pesan singkat W******p masuk ketika masih dalam perjalanan menuju pulang. [Hai, Zeyn.] [Apa kabar?] [Kamu di mana.] Pesan itu datang dari Nunu. Segan dengan Arul karena tak mau di-cap jelek olehnya. Tak kubalas chat itu. Nanti saja setelah sampai di rumah. Lagian Arul melirik ke arahku dari kaca kecil di depannya. "Dari siapa, Zeyn?" "Owh, temen, kok," balasku, pura-pura santai. "Gak dibales
Bab 17"Zeyn, ayolah, pulang bersamaku. Tak kan kubiarkan pulang sendiri. Apa nanti penilaian Oom padaku?" Nunu mengangkat bicara.Aku mengangguk tanda setuju. Bagaimana pun, tak ingin bila Ayah berpikiran negatif nantinya. Arul kembali meraih lenganku. Tak sampai di situ, dia melanjutkan ketidaksukaannya pada Nunu, dengan ucapan halus, tetapi pedas.Gadis cantik yang berprofesi sebagai dokter tiba-tiba hadir di hadapan kami bertiga. Saling bertatapan, terutama aku dan Nunu. Kecuali Arul karena tidak kenal. Pikiran semakin kacau."Nunu? Zeyn? Kalian, kok? Ada apa ini?" ucap gadis itu dengan keheranan.*Naya telah depan mata. Aku terkejut, terlebih pada Nunu. Pria itu berkunjung ke Rantau Prapat hanya untuk menemuiku, bukan demi calon tunangannya."Kapan kamu datang, Nu? Kok, gak bilang?" tanya Naya, sembari mengerutkan keningnya karena h
Bab 18Pesan itu kuabaikan, tak ingin menjawabnya. Sebab masih bertugas. Untuk apa dia kemari? Bukankah seharusnya dia bilang, bila ada perlu? Aneh sekali. Mau apa dia menemuiku?Selama bekerja, pikiran sedikit tidak tenang. Masih bertanya-tanya tentang kedatangan pria itu. Sebesar itukah cintanya pada seorang Zeyndra? Bagaimana dengan sahabatku? Sejak kejadian itu, Naya tidak pernah lagi menghubungi. Biasanya setiap hari mengirimkan pesan, meski hanya menanyakan kabar. Apakah ini salahku?Berlahan matahari mulai beranjak dari siang. Hari sudah petang, senja pun datang bersama hadirnya burung-burung yang terbang dan melayang. Nyaman menikmati senja dari gedung lantai dua. Semilir angin menjadikan suasana dingin."Zeyn, kamu sedang apa?" tanya seseorang, mengejutkan dan membuyarkan lamunanku."Ihhhh ... ganggu aja, deh."Ternyata Arul datang dengan kaos oblong
Bab 19"Zeyn, pulanglah sekarang. Ada sesuatu di rumah kamu," ucapnya, dengan pelan dan tenang."Ada apa, ya, Pak?" tanyaku, sedikit ragu."Ya, pulanglah, Nak. Silakan permisi," pintanya.Wajar saja tak percaya dengan kalimat itu. Kalau pun ini tentang Ayah, emang ada apa? Toh, ayah tadi sehat-sehat saja. Pergi ke kebun juga sarapan. Tak ada yang perlu dicurigai. Namun, aku menuruti ajakan itu."Zeyn, buruan. Ini penting!" tegasnya.Kata "penting" membuat aku luluh. Kuterima ajakan itu dan permisi pada resepsionis lain agar diberi izin. Hati mulai berdebar tak tenang.Vespa tua secepatnya kukeluarkan dari parkiran. Ingin rasanya punya sayap untuk terbang agar sampai dan memastikan apa yang terjadi. Terasa berat perjalanan pulang, tapi bagaimana pun harus sampai.Rumah sangat ramai. Terpampang bendera hijau tak jauh da
Bab 20Jelas sekali isi surat itu tertulis. Sekarang aku tahu, kenapa cuma Ayah yang tidak bergelimang harta. Dibandingkan dengan keluarganya yang lain. Begitu besar cinta Ayah pada, Mak. Aku bisa menilai itu dari tetap bertahannya menjadi orang tua tunggal untukku. Tak pernah sekali pun berniat menikah lagi. Hanya Mak cintanya, dunia akhirat. Tak perlu kaya, yang penting bahagia, nyaman, serta tercurahkan kasih sayang.Kisah itu masih saja disimpan rapi oleh Ayah. Luar biasa pandainya, cerita itu kuketahui kala usiaku dua puluh empat tahun. Mata kembali tertuju pada sebuah cincin dengan usia sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Bersejarah sekali.***Terdengar suara pintu diketuk serta mengucapkan salam. Sepertinya tidak asing lagi, pintu dibuka untuk memasukkan. Benar dugaanku. Siapa lagi kalau bukan Arul.Dia mengajakku sarapan, sekaligus mengantarkan ke wisma penginapan. S
Bab 21Tubuh Nunu terpental ke dinding karena tendangan keras dari Arul. Perkelahian itu sulit untuk dilerai. Mereka saling menunjukkan kehebatan dalam adu kekuatan fisik. Beberapa orang yang ada di tempat itu juga kewalahan menghadapi mereka. Kakiku lemas tak berdaya melihat darah di wajah kedua pria yang memperebutkan cintaku. Semua gelap gulita dan tak sadarkan diri."Aduh ... kepalaku. Awww ...," desisku, sembari memegang kepala dengan tangan kiri. Jarum infus ada di bagian tangan kanan. Kenapa bisa ada di sini? Siapa yang membawaku? Apa yang terjadi sebenarnya? Di mana ini?Seumur hidup belum pernah dirawat. Separah apa pun tubuh ini ketika sakit, masih bisa diberi obat. Kali ini benar-benar bingung dengan semua ini. Ingin bertanya, tetapi tak ada seorang pun yang menemani. Miris memang, hidupku seperti sebatang kara. Termasuk biaya perobatan. Rasanya hati ini ingin menjerit dan berteriak."Ehh,
Bab 22Jadilah pelindung bagi keluarga. Beri yang terbaik demi mencapai rida. Rasa yang ada terus dipercaya, agar hubungan penuh sukacita.Teruslah melangkah menuju masa depan. Berikan kasih sayang kepada pasangan. Selamat keluarga dari segala godaan. Semoga selalu dalam kebahagiaan dan lindungan Tuhan***Mengakhiri hubungan bukan berarti hilang kontak. Arul masih memilih aku. Dia anggap sebagai ujian pernikahannya. Aku setuju saja demi cinta. Sebab bagaimana pun, dia adalah pilihan hatiku.Di satu sisi, egois berhasil menguasai hati dan pikiran. Tak perlu memikirkan apa yang ada dalam masalah. Kurasa sudah seharusnya untuk pergi meninggalkan lalu memperjuangkan apa yang ada di depan.Bersamanya begitu indah terutama dengan sebuah ungkapan yang pernah diucapkan melalui rangkaian terindah. Tak bisa terlupakan. Keindahan itu terkadang membawa hanyut dan terbua