Motor itu meluncur di jalan hitam. Memasuki perumahan mewah Taman Setia Budi Indah. Setelah berbelok ke kanan, motor itu melaju pelan di aspal hitam. Suara mesinnya menderu pelan.
Maryati sedang sibuk di kebun bunganya. Ia menyemprot bunga-bunga yang mulai mekar dan mengumpati serangga-serangga kecil yang berpesta pora diantara batang dan daun Mawar. Ia mengganti polybag yang rusak dengan yang baru. Memberi pupuk ke tanaman anggreknya yang beraneka ragam.
Deru suara mesin motor mencuri perhatiannya. Motor bebek warna merah berhenti di depan toko dengan posisi sejajar dengan tulisan MARYATI FLORIST. Maryati menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan penyemprot di atas meja dan memerhatikan seseorang turun dari motor. Seorang gadis dengan setelan yang modis berjalan sambil menyandang tas bermerk Lois Vuiton. Tas peninggalan kesuksesannya dulu. Maryati melirik jam tangan di lengan kirinya.
“Dia sudah datang? Cepat sekali,” gumamnya. “Seharusnya dia datang satu jam ke depan,”
Maryati beranjak dari tempatnya. Ia melepas sarung tangan dan meletakkannya di atas kayu penyangga. Sejenak ia melihat penampilannya di cermin oval yang terletak di sisi pintu masuk, terbuat dari kayu jati berukir. Maryati merapikan rambutnya yang sedikit bergelombang, lalu ia membuka pintu dan menyambut kehadiran Brenda dengan senyum mengembang.
“Halo,” sapanya ramah.
“Halo juga, Tante…” sambut Brenda dengan seulas senyum yang menawan. Sederetan gigi yang putih tersusun rapi, menghiasi bibirnya yang manis.
“Kamu cepat sekali. Maaf, tadi saya masih asyik di kebun, jadi belum merapikan diri,” ujarnya.
“Tidak apa-apa, Tante. Kebetulan jam pelajaran saya hari ini tidak ada. Daripada saya bengong di rumah, mending saya melihat bunga-bunga yang ada di toko tante ini,” ucap Brenda.
“Ohh… dengan senang hati. Mari silahkan…”
“Terima kasih, Tante.” Brenda mengangguk dengan senyuman.
Mereka berjalan memasuki kebun bunga milik Maryati. Batu-batu sungai tersusun rapi di injakan tanah dan mengarah ke sebuah gazebo. Patung seorang anak dengan bentuk yang sangat indah terletak di tengah taman. Mengeluarkan air mancur di vas yang dipegangnya dan sebuah kolam kecil dengan ikan hias berwarna kemerahan.
Wilayah perumahan Taman Setia Budi Indah ini adalah salah satu perumahan mewah di kota Medan. Sebagian besar penduduk di situ memiliki mobil mewah dan pekerjaan yang cukup lumayan.
Brenda berdecak kagum memperhatikan bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman. Bermacam jenis Anggrek, Lily, Mawar, Anthurium dan banyak lagi. Maryati merawatnya sangat sempurna. Rangkaian-rangkaian bunganya bisa diacungi jempol.
Di sebuah gazebo, Maryati mempersilahkan Brenda duduk sambil menikmati hembusan angin dan panorama taman. Rangkaian Anggrek dan Lily terlihat apik di sudut lemari hias. Maryati yang merangkai bunga-bunga itu dengan gaya seni menarik. Brenda memperhatikan beberapa rangkaian Maryati yang sangat elegan. Ingin juga ia memiliki toko bunga seperti Maryati. Apalagi ia sangat menyukai bunga-bunga tropis dan impor.
“Jadi begini, Nak Brenda,” ujar Maryati mengejutkan lamunan Brenda. Brenda tersentak sambil tersenyum tipis. Ia memperhatikan Maryati dengan lekat. Perempuan baya itu masih terlihat cantik. Kulitnya bersih dengan mata bulat seperti perempuan keturunan Belanda.
“Putra saya sangat membutuhkan pendidikan ekstra. Saya ingin nak Brenda memberi pelajaran khusus kepadanya,”
“Ya, saya sudah tahu, Tante. Itu memang tugas saya,” ucapnya lembut.
“Tapi sebelumnya saya minta maaf. Putra saya tidak sesempurna seperti yang anda bayangkan,”
“Maksud, Tante?” Brenda mengerutkan keningnya.
Maryati menghela nafas sejenak, lalu dihembuskan dengan perlahan.
“Ia mengalami gangguan interaksi,” ujarnya sendu. Sejenak situasi menjadi hening. Brenda tidak mengerti apa maksud perkataan Maryati.
“Hmm… Saya akan mencobanya, Tante,” ucap Brenda kemudian.
Maryati tersenyum. “Kalau begitu saya panggilkan dulu putra saya, agar kalian saling kenal,”
Brenda tersenyum tipis. “Ah, Tante. Nggak apa-apa, biasa aja. Lagipula saya sudah biasa menyesuaikan diri dengan anak-anak.”
Maryati terdiam sejenak lalu tersenyum tipis.
“Nak Brenda…” ucapnya sedikit tertahan. “Tapi putra saya bukan anak-anak lagi,”
Brenda kembali mengerutkan dahinya.
“Maksud, Tante?” Brenda ingin tahu.
“Sebentar ya.” Maryati bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam rumah.
Brenda terus bertanya-tanya dalam hati. Perkataan Maryati tadi membuatnya berpikir tujuh keliling. Apa maksudnya kalau putranya bukan anak-anak? Remaja? Atau Dewasa? Kalau sudah dewasa untuk apa ia memanggil Brenda? Brenda menghalau pikiran-pikiran buruk dari benaknya. Ia kembali memperhatikan anggrek bulan yang tumbuh subur di batang pohon.
###
Ryan, cowok beralis tebal dengan postur tubuh ideal tengah sibuk di galerinyas. Ia menderita autis sejak berumur dua tahun. Cenderung pendiam dan fokus pada satu titik. Tidak menyukai keramaian. Tidak suka dengan warna merah dan kuning. Tidak suka orang-orang mengejeknya idiot.
Ryan memperhatikan kanvas putih di pajangan kayu. Dahinya berkerut. Memperhatikan lukisan yang masih abstrak. Masih berupa sketsa dengan garis patah-patah. Ia akan melanjutkan esok hari. Saat imajinasinya menyatu dengan pikiran.
Mata Ryan melirik sebuah lukisan di sudut ruangan. Alisnya naik beberapa mili. Ia mendekati onggokan kanvas di papan penyangga. Memperhatikan sebuah lukisan yang masih setengah jadi. Hanya beberapa bagian saja yang perlu disempurnakan.
Ryan mengambil kuas lalu mencampur warna-warna pada tempat cat. Memadukan warna-warna natural. Coklat, Orange dan Putih. Tinggal sentuhan terakhir. Seorang perempuan cantik dengan bola mata berbinar. Lukisan perempuan bermain biola yang anggun. Rambutnya tergerai dengan balutan satin biru tua.
Maryati menuju ruang lukis anaknya dan memerhatikan lukisan di papan penyangga.
“Sempurna… Cantik…” suara Maryati membuyarkan lamunan Ryan yang sedari tadi asyik mengamati lukisannya. Lukisan seorang gadis berambut panjang tergerai dengan balutan satin biru sedang bermain biola. Ryan menoleh ke arah perempuan baya itu dengan pandangan sendu. Ia tidak berekspresi apapun sebagai interaksi lawan bicaranya. Wajahnya tetap sama. Datar seperti kemarin-kemarin.
“Siapa gadis itu?” tanya Maryati ingin tahu.
Ryan meletakkan kuasnya di atas meja, lalu menatap ibunya dengan pandangan lembut. Tidak ada yang tersirat di wajah itu.
“Bukan siapa-siapa, Ma…” jawabnya singkat.
Maryati tersenyum tipis sambil menghampiri Ryan yang kini tumbuh semakin dewasa. Putra satu-satunya yang dipertahankan sejak dua puluh tiga tahun yang lalu. Maryati menatap wajah Ryan dengan lekat. Ryan menundukkan kepalanya ketika Maryati menyelidik ada apa gerangan yang mengusik hati putranya.
“Ternyata anak mama sudah dewasa,” ucap Maryati sambil mengelus kepala Ryan dengan penuh kasih.
“Ma… Ryan mau cinta…” ucapnya datar.
Maryati menaikkan alisnya, memperhatikan wajah Ryan yang tetap sama. Maryati tersenyum lebar.
“Hahahah… Siapa yang Ryan cinta?” tanyanya kemudian. Maryati berusaha memahami bahasa Ryan yang sangat sederhana. Walaupun beberapa kali Maryati selalu berbicara dengan kata-kata yang biasa ia gunakan, namun kali ini ia mendengarkan setiap ucapan Ryan.
Ryan tertunduk, lalu perlahan tangan kanannya menunjuk ke arah lukisan di pajangan. Lukisan seorang gadis cantik yang ada dalam bayangannya. Maryati tertawa lebar.
“Hahaha… Ryan… Ryan… Gadis itu hanya lukisan,” ucap Maryati memberi tahu. “Ryan mencintai gadis dalam lukisan?” tanyanya kemudian.
Ryan hanya menunduk dan terdiam. Hal itu membuat Maryati menghentikan tawanya. Sadar kalau kata-katanya menyinggung perasaan Ryan, Maryati berusaha memberi pengertian kalau gadis dalam lukisannya itu hanyalah sebuah ilusi. Tidak nyata.
“Gadis itu tidak ada, Ryan… Dia cuma lukisan,” ujar Maryati memberitahu.
“Ryan cinta dia, Ma,” Ryan terus memaksa.
Maryati tersenyum tipis. “Yan… Mama tahu kamu membutuhkan seorang teman. Mama akan cari seorang guru untuk mengajar kamu agar kamu tidak kesepian. Ryan mau kan?”
Ryan mengambil bola kristal di atas meja, lalu memainkannya. Ia tertunduk dan diam. Pertanda ia menerima atau tidak keputusan Maryati, tidak ada yang tahu. Bahkan Maryati sendiri susah menebak apa keinginan Ryan. Ryan juga tidak pernah cerita mengenai perasaannya. Apakah dia sedang galau, senang, susah atau sedang jatuh cinta.
“Maafkan mama, Yan. Mama tidak bermaksud membuat kamu…,” kata-kata Maryati tertahan.
“Tidak apa-apa, Ma. Ryan tahu, Ryan tidak sempurna,” potong Ryan.
“Yan… Kamu anak mama satu-satunya. Mama tidak mau melihat kamu murung dan sedih. Sebenarnya mama juga tidak tahu tentang perasaan Ryan…”
“Tinggalkan Ryan sendiri,”
Brenda memperhatikan bunga-bunga segar yang baru saja tiba di toko Maryati. Jenisnya bermacam-macam. Bunga-bunga import pesanan seorang pengusaha. Ini sudah hari kelima. Brenda tidak punya cara menaklukkan kepasifan Ryan. Ia belum punya jurus agar Ryan menerimanya menjadi pengajar.Di meja kerja Maryati terletak sebuah buku karya Khalil Gibran. Brenda meraih buku itu dan membukanya. Membaca bait-demi bait kata-kata di dalamnya.“Tante penggemar Khalil Gibran?” tanya Brenda disela kesibukan Maryati.Maryati menghentikan kegiatannya.“Itu milik Ryan. Dia sangat mengagumi sosok Khalil Gibran. Tante disuruh membaca,” Maryati tersenyum sipu. Brenda manggut-manggut.“Ryan suka membaca buku sastra?” berkerut dahi Brenda.“Ryan belajar membaca sejak masih kecil, Nda. Walaupun tidak begitu lancar, tapi Ryan gemar membaca buku,”Brenda manggut-manggut.“Sebentar, Nak Brenda. Say
Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.“Kamu bisa dansa?”“Hmmm…”
Brenda duduk di beranda sambil menikmati kicauan burung. Maryati masih di kamarnya. Diam-diam ia melirik jendela kamar Ryan di lantai dua. Ia melihat sosok bayangan di sana. Ryan mengintainya. Brenda tersenyum tipis ketika Ryan memalingkan wajahnya.“Kamu sudah datang, Nda?” tegur Maryati dari dalam rumah, lalu berlajan melewati koridor.“Selamat pagi, Tante…” sapa Brenda lembut.“Pagi, Nda… Maaf, tadi saya masih merapikan diri. Nggak enak kalau terkesan nggak rapi,” ujar Maryati.“Ah tante… biasa aja kok,”Maryati tersenyum tipis.“Apa rencanamu hari ini?”“Hmm…” Brenda berpikir sejenak.“Bagaimana kalau kita keluar?” usul Maryati.“Maksud, Tante?”“Kita jalan-jalan. Yah, sebagai relaksasi untuk Ryan. Kita bisa keliling kota Medan atau ke taman hiburan? Atau kita ke Brastagi…?&r
Brenda membuka sepatunya dan meletakkannya begitu saja. Reuni yang sangat membosankan. Terlebih saat Ela membohonginya dengan berpura-pura hadir ke acara itu. Nyatanya mereka senang-senang sendiri.“Huh, dasar Ela! Aku akan balas kelakuanmu...” Brenda mengumpat kesal.Ia membaringkan tubuhnya. Mengingat wajah Yuda yang bermain-main sekejab saja. Kenapa Yuda belum punya pasangan? Padahal dia cowok tampan dan dulu dikejar-kejar banyak cewek di sekolahnya.Brenda bangkit dari rebahannya. Mengambil ponsel di atas meja.“Kamu dimana, La?” tanyanya ke Ela.“Aku lagi di Solaria ma Renold. Biasalah, kencan with love,”“Huh, Ela. Kamu membohongiku. Kamu bilang di rumah sakit?”“Iya… tadi dari rumah sakit langsung ke Solaria,”“Kamu bilang mama Renold di ruang ICU? Kok kalian seneng-seneng makan di Solaria?”“Itu taktik aja, Nda. Udah ah&
Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?“Ya halo…” sapanya lembut.“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.“Ya, saya sendiri,” sahutnya.“Kami dari bank X, Bu. Tagiha
Pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Brenda dan Ela berjalan lenggak-lenggok seperti selebritis yang dikerubuti para fans. Sesekali mata Ela melirik ke etalase. Gaun yang dipajang membuat mata Ela mendelik. Tas sandang yang bentuknya elegan dan Highthills keluaran terbaru. Ia terhenti. Tangannya menarik lengan Brenda.“Apaan sih?” Brenda melenguh sambil terhenti.“Tuh…” bibir Ela dimonyongin. Mata Brenda mengikuti bibir Ela yang seperti bibir kuda. Sepatu hak tinggi bermerk.“Bagus ya, Nda...” puji Ela. Mata Brenda beralih ke bandrol yang melekat di sol. Tiga juta rupiah? Behh..“Gila...! Nggak ah…” ujarnya. “Aku lagi kere,”“Duitkan nggak bisa ngomong, Nda...”“A