Share

Bab 3

Author: Zayba Almira
last update Last Updated: 2024-12-07 19:45:45

Minggu ketiga di sekolah baru, Lia dan Dean kembali dipaksa bekerja sama untuk proyek besar OSIS: merencanakan acara perpisahan tahunan. Semuanya berjalan dengan cepat, namun ketegangan di antara mereka tidak pernah surut. Setiap kali mereka bertemu, baik di kelas, di ruang OSIS, atau di luar, Dean selalu tampak begitu dingin dan perfeksionis, sedangkan Lia berjuang untuk tetap bertahan, menepis rasa frustasi yang kian menumpuk.

Di ruang OSIS, Dean menjelaskan dengan serius rincian acara dan pembagian tugas. Lia mencoba mengikuti, namun ia bisa merasakan ketegangan di udara. Dean sepertinya hanya melihatnya sebagai bagian dari tim yang harus dia kendalikan, bukan sebagai rekan sejajar.

“Kamu harus lebih fokus pada detail ini. Jangan membuat kesalahan seperti yang terakhir,” kata Dean, suaranya tegas, namun ada sedikit kelelahan yang tersirat.

Lia menahan napas, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu kata-kata itu bukan hanya tentang poster yang salah kemarin, tetapi tentang dirinya sebagai pribadi. Kenapa Dean terus memandangnya seperti orang yang tidak mampu?

“Baiklah,” jawab Lia, berusaha menyembunyikan perasaan kecewanya di dalam hati.

Namun, di dalam dirinya, ia merasa ada sesuatu yang meledak. “Kenapa dia harus selalu seperti ini?” pikirnya, matanya menatap kosong ke meja. “Kenapa aku yang harus selalu berada di bawah bayangannya?”

Puncak dari ketegangan itu akhirnya terjadi pada satu sore, saat semua orang sudah bekerja keras menyiapkan acara. Lia yang sedang duduk menyusun daftar tamu undangan tiba-tiba mendengar suara bentakan keras dari arah meja Dean.

“Ini tidak bisa dibiarkan!” teriak Dean, wajahnya merah padam. Semua mata langsung tertuju pada mereka.

Lia terkejut, berdiri cepat. “Apa yang terjadi, Dean?”

Dean menunjuk ke layar laptop yang menampilkan daftar anggaran acara. “Kamu ini kenapa? Tidak ada detail yang jelas. Semua anggaran acaramu kacau!” suaranya keras, penuh frustrasi.

Lia merasa tubuhnya seperti terbakar, semua kesabaran yang ia tahan selama ini runtuh begitu saja. “Aku sudah bekerja keras! Jangan terus menerus menyalahkanku!” teriaknya, suaranya bahkan bergetar karena campuran antara marah dan kecewa.

Dean terdiam sesaat, seolah terkejut dengan reaksi Lia yang tidak biasa. Namun, sebelum ia bisa merespons, Lia melanjutkan, “Aku bukan mesin yang bisa mengikuti segala yang kamu inginkan, Dean. Kamu pikir aku tidak cukup berusaha? Aku ingin melakukan yang terbaik, tapi kamu terus saja menganggapku bodoh!”

Lia merasa hatinya hancur, tetapi ia tidak bisa lagi menahan perasaan itu. Ia merasa sudah cukup dikendalikan oleh Dean. Semua rasa sakit itu keluar dalam bentuk kemarahan yang tidak bisa ia bendung.

Namun, saat itu juga, wajah Dean berubah. Ia terlihat ragu, seakan-akan ada sisi lain dari dirinya yang ingin ia ungkapkan, namun ia memilih untuk tetap diam. Ia mengalihkan pandangan, menarik napas panjang, dan berkata dengan suara yang lebih tenang, “Lia, aku… aku tidak bermaksud begitu.”

Lia melihat ekspresi Dean yang tidak biasa, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit kelegaan—namun, kebingungan juga muncul. Apa maksudnya ini? Mengapa tiba-tiba ia bersikap lebih lembut?

Namun, ketegangan itu belum berakhir. Pada hari berikutnya, acara yang mereka rencanakan hampir saja gagal karena masalah teknis. Sebuah kesalahan fatal terjadi pada sistem suara yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, dan itu membuat suasana di ruang OSIS menjadi sangat kacau. Semua orang panik, dan sekali lagi, Dean terlihat mengambil alih.

“Kenapa kalian tidak memeriksa semuanya lebih teliti?” Dean membentak, suaranya keras dan penuh kemarahan. “Aku sudah bilang, jangan buat kesalahan seperti ini!”

Lia melihat sekeliling, merasa jantungnya semakin berat. “Apa lagi yang bisa aku lakukan?” pikirnya. Semua orang di sekitar Dean mulai terlihat gelisah, namun Lia merasa semakin terasing. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia sudah bekerja keras jika semua orang hanya melihat kesalahan yang terlihat di permukaan?

Ketika keadaan semakin kacau, Lia merasa kehilangan arah. “Aku harus pergi,” katanya dalam hati, merasa segala sesuatu terlalu banyak untuk ditanggung.

Namun, saat ia berbalik hendak keluar, Dean memanggilnya.

“Lia, tunggu.”

Lia menoleh, matanya berkilat. “Apa? Apa lagi yang kamu ingin katakan, Dean?” Suaranya lebih keras dari yang ia inginkan, dipenuhi rasa frustasi yang kian memuncak.

Dean hanya terdiam sejenak, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia berkata, “Maaf, aku… aku tidak seharusnya bersikap seperti ini padamu.”

Lia terkejut. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Di dalam dirinya, perasaan campur aduk memenuhi ruang hatinya—rasa marah, bingung, dan entah kenapa sedikit terluka.

Lia memutuskan untuk pulang lebih awal, melepaskan diri dari kekacauan itu. Dalam perjalanan pulang, ia merasakan hatinya hampa. Semua emosi yang terkumpul terasa seperti gelombang besar yang siap menerjang.

“Apa yang sebenarnya aku rasakan tentang Dean?” Lia bertanya pada dirinya sendiri, memandangi jalanan yang terus berlalu di luar jendela mobil. “Kenapa aku merasa kesal dan bingung sekaligus?”

Ia menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku harus bisa melupakan semua ini. Aku tidak bisa terus berpikir tentangnya. Tidak ada gunanya.”

Namun, suara dalam dirinya berbisik, “Apakah benar kamu ingin melupakan semua ini?”

Malam itu, Lia duduk di kamarnya, merenung dalam keheningan. Ada banyak hal yang belum ia pahami tentang Dean. Kenapa dia bisa begitu keras dan dingin, namun sesekali tampak melunak? Apa yang ia rasakan sebenarnya?

Sedangkan Dean sendiri, meski terlihat dingin di luar, di dalam dirinya ia merasa perasaan yang membingungkan. Ia tidak pernah merasa begitu terhubung dengan seseorang seperti Lia. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan yang sulit ia jelaskan—rasa frustrasi, namun juga rasa ingin melindungi.

“Tapi kenapa aku merasa seperti ini?” pikir Dean, menatap cermin di kamarnya. “Kenapa harus dia yang membuatku merasa seperti orang yang tidak pernah mengerti perasaannya sendiri?”

Konflik di antara Lia dan Dean semakin memuncak. Ketegangan dan frustrasi yang mereka rasakan mendorong mereka untuk berhadapan dengan perasaan yang belum mereka sadari, menciptakan hubungan yang penuh emosi dan ketidakpastian. Kedua karakter ini berada di titik balik, di mana perasaan mereka mulai membentuk dinamika baru yang lebih kompleks.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 100

    Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 99

    Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 98

    Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 97

    Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 96

    Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah

  • CINTA DI BALIK BENCI   Bab 95

    Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status