PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi seorang wanita bernama Katrina. Setelah dia baru saja menyampaikan maksud dan niatnya untuk menjadi seorang muallaf kepada sang Ibunda tercinta.
"Bunda?" Katrina bergumam lirih. Dia memegangi pipinya yang memanas. Tamparan itu sangat kuat. Bahkan kini dia mengecap rasa asin darah di sudut bibirnya. Katrina mulai menangis.
"Jadi ini balasan kamu, Trina?" Arini mendesis tajam diiringi sorot mata penuh amarah sebelum dia kembali melanjutkan kata-katanya.
"Jadi ini balasan kamu setelah Bunda mati-matian selama ini mengurus kamu sejak kecil? Bunda kerja pontang panting, banting tulang, mencari uang ke sana kemari, semuanya demi kamu, Trina! Supaya kamu bisa makan, bisa sekolah, bisa mendapat fasilitas layak untuk menunjang kebutuhan hidup kamu! Dan perlu kamu tahu, Bunda melakukan semua itu sendirian, Trina! SEN-DI-RIAN! Tapi apa balasannya sekarang? Dengan seenak jidat kamu bilang ingin pindah agama? Kamu mau jadi anak durhaka?" Arini berhasil mengungkapkan seluruh kekesalannya pada anak semata wayangnya yang dia anggap tidak tahu diri itu. Arini sangat kecewa pada Katrina. Hingga akhirnya air mata yang sedari tadi menggenang di kelopak matanya pun tumpah tanpa mampu lagi dia tahan.
"Bukankah itu hak setiap manusia berakal yang sudah baligh untuk bisa memilih keyakinan apa yang sesuai dengan hati kecilnya? Trina sudah memilih Islam sebagai tujuan hidup Trina. Sebagai pedoman hidup Katrina. Tolong, Bunda hargai keputusan, Trina," Katrina membalas tatapan Arini dengan tatapan yang sulit diartikan.
Katrina hanya merasa lelah.
Lelah dengan kehidupannya sendiri.
Lelah dengan sikap egois sang Bunda.
Tapi semenjak dia mengenal Islam dan mulai mempelajarinya, Katrina merasa semangatnya untuk hidup seperti muncul kembali. Padahal sebelumnya, dia sudah sangat putus asa.
"Trina bosan hidup di sini, kesepian, sendirian, karena selama ini Bunda selalu sibuk bekerja. Sementara Bunda sendiri selalu bersikap over protektif terhadap Trina. Hidup Trina seperti di penjara selama ini. Mau pergi kemana-mana saja susah. Mau ke sini di larang, ke situ di larang! Lalu apa salah jika sekarang Trina ingin memilih kehidupan Trina sendiri? Memilih agama Trina sendiri?" lanjut Katrina lagi. Dia hanya ingin Arini tahu apa yang telah dia rasakan selama ini.
Katrina marah pada Arini yang egois. Dia kecewa pada Arini yang tak pernah mau berterus terang tentang masalah apapun yang menyangkut kehidupan mereka, bahkan sampai pada masalah siapa sebenarnya Ayah kandung Katrina sendiri pun, hingga saat ini Katrina tidak pernah tahu. Karena setiap kali dia bertanya tentang siapa Ayahnya, Arini hanya diam seribu bahasa. Lalu jika Katrina terus menerus menanyakan hal yang sama dari waktu ke waktu, Arini justru marah dan memaki-maki Katrina dengan kalimat-kalimat sumpah serapah yang seharusnya tidak diucapkan seorang Ibu kepada anaknya. Oleh sebab itu, Katrina tidak pernah lagi berniat untuk bertanya atau pun membahas tentang Ayahnya kepada Arini.
Katrina hanya malas berdebat.
Tapi kali ini, Katrina sudah habis kesabaran. Dia sudah lelah diperlakukan seperti seorang tawanan di rumahnya sendiri. Dia ingin mencari kebebasannya sendiri. Memilih kehidupannya sendiri. Dan memilih agamanya sendiri, sesuai dengan apa yang dia yakini sebelumnya.
"Jangan bilang, kamu melakukan ini semua lagi-lagi karena Reyhan? Laki-laki rendah itu? Si pengamen jalanan itu?" Kalimat Arini kali ini terdengar begitu menyakitkan dan menusuk di telinga Katrina.
"Kak Reyhan tidak seburuk yang Bunda pikirkan! Dia laki-laki baik yang justru telah membuat hidup Katrina berubah. Semenjak mengenal dia, hidup Katrina jadi lebih berwarna, bahkan Katrina bisa merasakan hidup yang benar-benar hidup saat Katrina sedang bersama Kak Reyhan. Dia itu malaikat penyelamat dalam hidup Katrina yang penuh dengan kebohongan!"
PLAK!
Arini kembali melayangkan satu tamparan hebatnya di pipi Katrina. Dia benar-benar sudah naik pitam. Amarahnya sudah berada di puncak teratas.
"KALAU MEMANG BEGITU KENYATAANNYA, SEKARANG JUGA KAMU PERGI DARI RUMAH INI! SANA, CARI MALAIKATMU ITU! TAPI INGAT PESANKU, SETELAH KAMU MELANGKAHKAN KAKIMU KELUAR DARI RUMAH INI, MAKA SEJAK ITU JUGA PINTU RUMAH INI AKAN TERTUTUP SELAMANYA UNTUKMU!"
Katrina tercenung mendengar serentetan kalimat yang baru saja keluar dari mulut sang Ibunda.
Satu kalimat sarat makna yang cukup membuat Katrina mengerti hingga setelahnya, tanpa basa-basi lagi malam itu juga Katrina mengemasi sebagian barang-barangnya.
Dia benar-benar pergi.
Bahkan tanpa Arini mencegah kepergiannya.
Katrina sempat menoleh sekali lagi ke arah rumahnya sebelum dia benar-benar melangkah lebih jauh.
Rumah yang sudah dia tinggali selama kurang lebih lima tahun sejak sang Bunda memboyongnya pindah dari Jakarta ke Surabaya, hanya demi satu hal.
Yaitu, memisahkan dirinya dengan Reyhan.
Ya, Reyhan. Satu-satunya laki-laki yang begitu dia cintai selama ini. Reyhan kekasihnya semasa SMA.
Reyhan cinta pertamanya.
Maafkan aku Kak, aku harus pergi.
Aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi...Gumam batin Katrina.
Katrina melanjutkan langkahnya setelah dia berhasil menyeka air matanya yang tak kunjung mau berhenti.
Tekadnya untuk menjadi seorang muallaf sudah bulat. Bahkan Katrina sudah mulai tertarik pada Islam sejak Tuhan mempertemukannya dengan Reyhan. Hingga setelah perpisahan mereka sekitar lima tahun yang lalu, Katrina semakin tertarik pada Islam. Gadis itu berniat untuk mempelajarinya sendiri. Hanya saja, niatnya itu belum mampu terealisasikan sampai sekarang, karena ketakutannya pada sang Bunda.
Dan kini, Katrina mungkin masih perlu menahan keinginannya itu sampai dia berhasil mencari informasi tentang keluarga besar Arini di Bandung.
Dari sepengetahuannya, keluarga Arini di Bandung adalah sebuah keluarga Islam yang taat. Bahkan Kakek Katrina sendiri adalah seorang Ustadz yang cukup terpandang di sana.
Lantas, yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Katrina saat ini adalah, hal apa yang sampai membuat sang Ibunda murtad?
Cuaca di kota Bandung hari ini cerah.Seorang laki-laki berperawakan jangkung dengan setelan kantor yang casual terlihat menggenggam minuman kaleng di kedua tangannya. Dia berjalan dari arah kasir menuju salah satu bangku kedai mini di lantai teratas sebuah gedung perkantoran di Bandung. Dia berjalan menghampiri rekan satu kantornya yang bernama Hardin, selaku CEO Company Grup.Indo Multi Food Company, atau biasa dikenal dengan nama beken Company Grup. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan minuman.Dan di sanalah kini Reyhan bekerja."Cewek baru lagi?" Reyhan melirik ponsel android laki-laki yang duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan satu gelas minuman kaleng di tangan kanannya kepada laki-laki disebelahnya."Cantik nggak?" Hardin menge-Zoom foto seorang wanita berpakaian seksi di ponselnya dan memperlihatkannya pada Reyhan. Reyhan tersenyum tipis l
"Asyhadu an La Ilaha Illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah," Seumur hidup inilah pertama kalinya Katrina menitikkan air mata dengan bangga. Bangga pada dirinya sendiri, ketika dia berhasil mengucapkan kalimat syahadat. Kalimat yang telah lama tersimpan dalam hati dan menunggu untuk terealisasi. Tak ada lagi keraguan. Katrina sadar, bahwa ini adalah sebuah fitrah, janji seorang hamba terhadap Rabb-Nya, Allah Swt yang Esa. Proses itu berlangsung dengan sangat lancar yang di tuntun oleh Bapak Kiyai Haji Abdullah, selaku pemuka Agama di daerah tempat Aki dan Nini tinggal. Nini dengan deraian air mata dan ucapan Hamdalah yang tidak putus menghambur memeluk Katrina. "Allah Swt ak
"Pokoknya Gia mau langsung ke Surabaya nemuin Kak Reyhan begitu pulang dari Jerman. Supaya nanti Kak Reyhan yang antar Gia ke Bandung, ke tempat Omah," suara cempreng Anggia terdengar menyakitkan di telinga Hardin. Membuatnya sesekali menjauhkan ponselnya dari telinga. "Ngomong sama lo tuh percuma, kayak ngomong sama tembok! Keras kepala! Lo bilang sendiri sana sama Omah kalau berani! Gue nggak mau ikut campur! Lagian mulai minggu depan gue stay di Jakarta, mungkin agak lama, jadi gue nggak bakal bisa jemput lo di bandara," balas Hardin setengah berteriak. Suara di seberang sana terdengar begitu berisik. Hardin berjalan menuruni tangga menuju ruang keluarga di lantai satu. Dimana Umi Tantri dan Abi Syamsul biasa menghabiskan waktu malam mereka di depan Televisi. "Idih, lagian siapa juga yang mau dijemput sama Aa? Gia sih ogah! Mending naik taksi daripada harus
Reyhan masih berkutat dengan dzikir-dzikirnya di atas sajadah saat dia baru saja selesai menunaikan shalat isya. Dia hendak mengambil sebuah Al-Quran di rak lemari bajunya saat ponselnya tiba-tiba berdering. Hardin Calling... "Halo, assalamualaikum, ada apaan?" tanya Reyhan saat dia sudah mengangkat panggilan itu. Dia menutup pintu lemarinya kembali. "...." "Apa? Lo ngomong apaan sih? Gue nggak denger, berisik banget di situ," teriak Reyhan seraya memicingkan sebelah matanya. "..." "Hah? Jemput? Emang lo nggak bawa mobil?" Reyhan bangkit dari atas sajadah dan menggulung sajadahnya dengan sebelah tangan. "...." "Ah, dasar! Bisanya ngerepotin gue mulu! Ya udah gue ke sana sekarang," Reyhan melepas kain sarung yang melekat dipinggangnya dan menggantinya dengan celana panjang. Dia mengambil salah satu kemeja
Dengan membaca basmalah Katrina memulai hari pertamanya di Jakarta. Kota kelahirannya. Kota yang sangat dia rindukan. Ternyata waktu sepuluh tahun telah membuat banyak perubahan di setiap sudut kota yang konon katanya tak pernah mati ini. Katrina bisa mendapati lebih banyak gedung-gedung bertingkat dan apartemen-apartemen mewah di sini. Bahkan Mall pun lebih sering ditemui di sepanjang jalan yang telah dia lewati. Rencananya, hari ini setelah melamar pekerjaan, Katrina akan langsung mendatangi sebuah kost-kostan di Pondok Indah. Sebuah kost-kostan yang dulu menjadi tempat tinggal Reyhan. Semoga Allah SWT memudahkan segala urusanku. Amin. Doanya dalam hati. Setelah melalui perjalanan selama kurang lebih 40 menit di dalam Busway, Katrina pun sampai disebuah per
Katrina sudah cukup menyiapkan mental untuk melalui hari ini.Setidaknya, istri Om Rudi, Tante Zahara sudah memberitahukan pada Katrina tentang bagaimana pandangan orang-orang Jakarta terhadap wanita bercadar. Meski tidak sepenuhnya mencela, tapi setidaknya Katrina harus tetap belajar terbiasa dengan pandangan tidak bersahabat dan bisikan-bisikan yang membuat telinga panas.Tapi lain halnya dengan Katrina, baginya berhusnudzon itu lebih baik. Caranya dengan mengubah pola pikir sendiri. Karena sesungguhnya manusia itu selalu ingin dihargai tanpa tahu cara menghargai. Manusia hanya mampu menghakimi tanpa tahu rasanya dihakimi. Parahnya lagi, manusia seringkali berkata hingga memaki tanpa tahu apa yang terjadi. Oleh sebab itulah, Katrina tidak perlu memikirkan apa-apa yang orang lain katakan di belakangnya. Tetaplah menjadi dirimu sendiri selagi keberadaanmu tidak merugika
Ini adalah hari kedua Katrina bekerja efektif di kantor sekaligus hari ke dua Katrina mencari cinta pertamanya, Reyhan. Sepulang bekerja nanti, Katrina berniat mendatangi rumah lamanya di perumahan Medina, Jakarta Selatan. Sekaligus bersilaturahmi ke rumah Anggia. Sahabatnya sejak kecil yang notabene menjadi tetangganya selama enam belas tahun Katrina tinggal di Jakarta. Katrina sangat merindukan Anggia. Anggia adalah sosok sahabat terhebat sepanjang sejarah kehidupan Katrina. Anggia itu sosok gadis yang sangat periang. Dia bawel, jahil, centil, kadang kalau moodnya sedang tidak baik, dia suka sewot-sewot sendiri, tidak jelas. Tapi satu hal yang paling membuat Katrina merasa nyaman bersahabat dengan Anggia, dia itu tulus. Anggia itu sosoknya agak kekanak-kanakkan dan manja, karena dulu, Anggia hanya tinggal bersama ke dua orang tuanya di Jakarta. Jadi, semua kebutuhan Anggia selalu dituruti oleh ke dua orang tuanya tanpa terkecuali. Tant
Duhai Putri Bulanku, sudikah kau menjadi penyelamat hatiku? Bait puisi terakhir dari Reyhan yang masih lekat dalam ingatan Katrina. Sebuah puisi yang dipersembahkan Reyhan saat laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Katrina. Bahkan Katrina pun masih menyimpan gelang perak pemberian Reyhan yang warnanya sudah mulai memudar. Gelang dengan gantungan bulan-bulan sabit berwarna-warni. Hari ini pencarian Katrina lagi-lagi tak membuahkan hasil. Dia tak mendapati siapapun di rumah Anggia sore tadi. Kata tetangga, rumah itu sudah lama kosong semenjak Orang Tua Anggia mengalami kecelakaan mobil hingga menyebabkan mereka tewas di tempat. Katrina benar-benar merasa sangat tidak berguna. Sebagai seorang sahabat, dia justru tidak ada di sisi Anggia ketika Anggia harus melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kehilangan ke dua orang tua yang begitu menyayanginya selama ini. Dan ada kemungkinan Anggia sekarang tinggal di