Share

4. LIMA TAHUN KEMUDIAN

Cuaca di kota Bandung hari ini cerah.

Seorang laki-laki berperawakan jangkung dengan setelan kantor yang casual terlihat menggenggam minuman kaleng di kedua tangannya. Dia berjalan dari arah kasir menuju salah satu bangku kedai mini di lantai teratas sebuah gedung perkantoran di Bandung. Dia berjalan menghampiri rekan satu kantornya yang bernama Hardin, selaku CEO Company Grup.

Indo Multi Food Company, atau biasa dikenal dengan nama beken Company Grup. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan minuman.

Dan di sanalah kini Reyhan bekerja.

"Cewek baru lagi?" Reyhan melirik ponsel android laki-laki yang duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan satu gelas minuman kaleng di tangan kanannya kepada laki-laki disebelahnya.

"Cantik nggak?" Hardin menge-Zoom foto seorang wanita berpakaian seksi di ponselnya dan memperlihatkannya pada Reyhan. Reyhan tersenyum tipis lalu meneguk minuman kalengnya.

"Semua cewek itu cantik, tapi cantik itu relatif. Lagian tipe cewek lo ya paling begitu-begitu aja, nggak jauh-jauh dari selangkangan," ujar Reyhan cuek. Hardin meninju pelan bahu Reyhan sambil tertawa.

"Bisa aja lo, Bro. Cewek kalau belum buat gue puas, belum cantik!" Jelas Hardin dengan senyum nakal andalannya. Dia menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu mulai membuka minuman bersodanya.

Reyhan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Heran dengan laki-laki yang kini duduk bersamanya di Kedai Mini.

Hardin Putra Surawijaya. Seorang laki-laki mapan berusia 29 tahun yang memiliki segala-galanya dalam hidup. Wajah tampan, harta melimpah, karir bagus serta wanita-wanita cantik yang mengelilinginya. Sempurna.

Dan dia juga, laki-laki yang hampir saja membunuh Reyhan sekaligus menyelamatkan nyawanya secara bersamaan.

Berawal sejak lima tahun lalu ketika Reyhan pertama kalinya menginjakkan kaki di Kota Surabaya hanya demi mencari seseorang. Sejak saat itulah hubungan antara Reyhan dan Hardin terjalin, hingga saat ini.

Sebuah hubungan yang bermula hanya sebatas bawahan dengan atasan. Kini semua itu berubah seiring waktu berjalan. Hubungan Hardin dan Reyhan sudah layaknya seorang saudara kembar yang seringkali menghabiskan waktu bersama baik itu di kantor atau tempat-tempat hang out lain. Jalinan persahabatan mereka sangat erat. Bahkan Hardin percaya, di tangan Reyhan, perusahaannya pasti bisa maju pesat. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya.

"Minggu depan, gue udah harus cabut ke Jakarta. Peresmian Kantor cabang di sana dipercepat dua hari. Nggak lucukan kalo gue selaku CEO perusahaan nggak hadir? Jadi gue mau lo urus semua kerjaan disini sampai Pak Charles selesai cuti," perintah Hardin membuyarkan lamunan Reyhan.

Kening Reyhan berkerut. "Apa-apaan lo? Perjanjiannyakan gue cuma back up Pak Kamal doang di Bandung? Jadi minggu depan gue udah bisa balik ke Surabaya," tegas Reyhan tak setuju.

"Di Surabaya udah ada Om gue, tenang aja. Keberadaan lo nggak terlalu dibutuhin di sana, oke?"

"Nggak bisa gitu dong, Bro. Lo taukan ada urusan yang masih harus gue selesein di sana," kali ini Reyhan berbicara dengan nada meminta belas kasihan. Meski dia tahu orang yang dimintai belas kasihan bukan orang yang suka berbelas kasih.

"Jiah, masih aja Bro, lo nyariin tuh cewek! Bijaksanalah dalam mencintai seseorang. Harus tau kapan waktunya mengejar dan kapan waktunya berhenti. Cewek masih banyak. Makanya lo cobain dulu, kalau lo udah tahu rasanya, lo pasti ketagihan. Lagian, lo mau sampe kapan sih menyandang status 'Jomblo Akut'? Apa lo nggak kasian tuh sama si Mr. Pranki lo itu, keburu kisut, nggak pernah di ospek!" Hardin terkekeh di akhir kalimatnya.

"Otak lo tuh yang perlu di ospek!" Timpal Reyhan jengkel. Hardin memang paling bisa membuat Reyhan mati kutu kalau sudah membahas masalah sex dan wanita.

Sejak pertama kali Reyhan dan Hardin saling kenal, Hardin sudah seperti itu. Gaya hidup sang CEO sangat bebas. Dia seringkali menjalin hubungan dengan banyak wanita hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya yang seolah tak terbendung. Hingga dia menganggap wanita itu sebagai barang koleksi yang dia pakai kalau butuh lalu simpan kalau sudah bosan. Pernah sesekali Reyhan bertanya kepada Hardin, mengapa Hardin tidak menikah saja? Tapi, Hardin hanya menjawab acuh tak acuh. Sepertinya, dia memang bukan tipikal laki-laki yang mau berkomitmen cukup dengan satu wanita saja. Lagipula Hardin tak pernah mengambil pusing masalah wanita. Karena sepanjang sejarah kehidupannya tak pernah ada satupun wanita yang menolaknya.

"Gue cabut duluan ya, mau anter Omah sama Opah gue ke Cimahi. Supir gue sakit, nggak masuk. Pokoknya, lo harus stay di sini sampe ada instruksi lebih lanjut dari gue, oke?" Hardin menepuk bahu Reyhan pelan sebelum akhirnya dia beranjak pergi.

Reyhan cuma bisa pasrah. Memang sudah seharusnya bawahan selalu mengikuti perintah atasannya. Apalagi atasan macam Hardin.

Reyhan masih menikmati minuman kalengnya sambil sesekali membuka media sosial miliknya.

Dia melihat postingan-postingan terbaru di akun Instagramnya.

Postingan-postingan yang muncul di sana kebanyakan adalah postingan-postingan foto milik seorang wanita bernama Anggia. Wanita super narsis yang pernah Reyhan kenal. Dan ada satu caption yang tiba-tiba menarik perhatian Reyhan dimana tertulis sebuah tulisan sebagai berikut.

Kangen! Kangen! Kangen! Kamu? Ya, kamu? Mr. Handsome, Fahri Reyhan Dharmadi. Tunggu kepulangan Gia dari Jerman ya, dua minggu lagi... Muach... Muach... Muach...

Senyum mengembang di wajah Reyhan. Tak ada yang berubah dari sosok Anggia. Dia tetap Anggia yang dulu. Anggia yang selalu ceria, jahil, bawel, galak tapi penakut. Tidak jauh beda dengan sang Kakak, Hardin. Meski ke dua kakak beradik itu lebih sering bertengkar kalau bertemu, tapi Reyhan tahu, kalau Hardin sebenarnya sangat menyayangi Anggia.

Memikirkan mereka berdua, Reyhan cuma bisa tersenyum-senyum sendiri.

*****

"Assalamualaikum, ari Aki euntos damang? Kunaha dibawa kaluar?" (Assalamualaikum, Bapak sudah sembuh? Kenapa dibawa keluar) suara Tantri terdengar khawatir saat dilihatnya Ustadz Maulana yang biasa disapa Aki keluar dari dalam rumah bersama putri tertuanya Atiqah.

"Nte naon-naon Umi, cek Aki badan pararegeul he'es wae di kamar," (Nggak apa-apa Umi, kata Bapak badannya pegal-pegal kelamaan tidur di kamar) sahut Atiqah sambil terus mendorong Aki yang duduk di kursi roda. "Hayu atuh asup! Nini jeung Zaenab keur di dapur." (mari masuk. Ibu dan Zaenab lagi di dapur)

"Ulah repot-repot atuh," (nggak usah repot-repot) timpal Syamsul.

"Eta si Hardin lain Umi?" (itu Hardin bukan, Umi?) tanya Atiqah lagi. Dia menunjuk seorang laki-laki berkemeja Cardinal putih yang baru saja keluar dari mobil di bagian kemudi.

"He-eh, eta Hardin," (iya itu Hardin) jawab Tantri.

"Hayu atuh asup," (mari masuk) ajak Atiqah pada Hardin.

Hardin mengangguk dan tersenyum. Terkadang harus berhadapan dengan wanita bercadar macam anak-anak Ustadz Maulana itu membuat Hardin merasa canggung. Jadi, daripada dia melongo di dalam sana, bingung harus berbuat apa, so, dia lebih memilih untuk menunggu di luar. Hal yang selalu Hardin lakukan setiap kali dirinya harus mengantar sang Omah dan Opah bertandang ke kediaman Ustadz Maulana yang merupakan guru spritual keluarga Surawijaya, terkhususnya bagi Omah dan Opah Hardin yang sudah tua.

Pengetahuan agama yang minim membuat mereka harus lebih giat belajar tentang agama mereka sendiri. Itulah yang sedang dilakukan oleh Tantri dan Syamsul di masa tua mereka, yaitu memperbaiki diri.

"Fatia mau kemana? Jangan lari-lari terus nanti jatuh," teriak seorang wanita yang datang dari halaman samping sambil berlari mengejar seorang balita mungil yang lari begitu lincah.

Balita mungil itu berhenti berlari karena tubuhnya berhasil di tangkap oleh Hardin.

"Nah, kena. Mau lari kemana Fatia? Kangen sama kamu, pengen cubit pipi bakpaunya," ucap Hardin sambil menggendong dan mencubit lembut pipi Fatia. Gemas. Dia mencium hidung Fatia satu kali. Hardin sangat menyukai anak kecil. Menurutnya anak kecil itu membawa keceriaan. Apalagi jika anaknya selucu Fatia.

Wanita yang tadi mengejar Fatia hendak menghampiri Hardin untuk mengambil Fatia, tapi langkahnya terhenti begitu dilihatnya Atiqah, Ibunda Fatia, sudah lebih dulu mengambil Fatia dari gendongan Hardin dan membawa balita itu masuk ke dalam rumah. Atiqah sempat menyuruhnya untuk masuk ke dalam, tapi wanita itu hanya tersenyum seraya menjawab dengan suaranya yang lembut, "Iya Bi, nanti Trina susul. Bibi duluan saja,"

Atiqah pun masuk ke dalam rumah dan meninggalkan keponakannya yang bernama Katrina di halaman rumah mereka, bersama seorang laki-laki yang bernama Hardin.

Hardin tersenyum simpul dengan tatapannya yang tak sama sekali beralih dari gadis berparas manis dihadapannya.

"Hai," sapa Hardin pada Katrina yang saat itu duduk di bangku kayu memanjang di bawah sebuah pohon besar tepat di depan teras.

Katrina tidak menjawab. Hanya melirik Hardin sekilas dan tersenyum tipis. Entah kenapa, Katrina menangkap gelagat playboy kacangan dari gaya dan cara laki-laki itu menatapnya. Dan Katrina tidak suka. Meski dari cara laki-laki itu senyum dia terlihat seperti orang yang ramah. Tapi Katrina bukanlah tipe cewek-cewek bodoh yang bisa dengan mudah tertipu hanya dari tampilan fisik seseorang.

"Lo tamu juga di sini?" tanya Hardin dengan gayanya yang cuek.

"Aku anggota keluarga di sini." jawab Katrina singkat. Ekspresinya datar.

"Are you serious?" Hardin cukup terkejut mendengar jawaban itu. Dia membuka kacamata hitam glossynya untuk memastikan pandangannya kali ini tidak salah. Dia menelusuri setiap jengkal tubuh Katrina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu dia tertawa. "Gue pikir, semua wanita di keluarga Ustadz Maulana itu penganut sekte ninja semua. Ternyata ada juga yang masih bisa fresh dinikmati tanpa harus tebak- tebak buah manggis dulu,"

"Maksud kamu apa bicara begitu?" tukas Katrina marah. Dia sudah cukup jengah dengan cara Hardin memandangi dirinya dan sekarang ditambah dengan ucapan Hardin yang dianggapnya keterlaluan. Penganut sekte ninja? Dinikmati? Apa-apaan? Rutuk batinnya geram.

"Wow, santai nona manis! Just kiding, oke?" sahut Hardin menyadari lawan bicaranya yang terlihat kesal. Tapi dari raut wajahnya dia terlihat seolah menyepelekan sikap Katrina. Dan hal itu membuat Katrina justru semakin kesal.

"Gue udah beberapa kali dateng ke sini dan baru kali ini, liat lo disini, jadi wajarkan kalau gue kaget?" jelas Hardin lagi. Gayanya masih terlihat cuek.

Katrina masih memasang ekspresi kesal. Dan malas untuk menanggapi ocehan laki-laki yang dianggapnya tidak sopan macam laki-laki yang kini duduk di sampingnya itu. Hingga akhirnya, Katrina pun lebih memilih untuk berlalu dari tempat itu. Meninggalkan Hardin yang terlihat santai-santai saja, meski matanya terus memperhatikan Katrina yang berjalan cepat melewati dirinya dan masuk ke dalam rumah.

"Cewek aneh!" bisik Hardin pelan hampir tak bersuara.

Katrina masuk ke dalam rumah saat Aki dan Nini sedang bercakap dengan para tamunya.

"Nah, ini Abi, Umi, ini yang namanya Katrina. Trina, sini sebentar, salam dulu sama Abi dan Umi," perintah Nini pada Katrina.

Katrina tersenyum seraya menyalami satu persatu tamu tersebut. Sepasang suami istri paruh baya itu.

"Dia baru bergabung di sini sejak dua hari yang lalu, setelah lima tahun belakangan dia hidup sendirian. Katrina mengalami kecopetan di stasiun saat dia baru menginjakkan kakinya di Bandung. Padahal kami di sini sudah berusaha mencarinya di Surabaya, kami pikir Katrina masih di Surabaya." tutur Nini menceritakan kejadian naas yang sempat di alami Katrina selama lima tahun belakangan.

"Ya ampun, kasihan sekali, gadis secantik ini harus hidup sendirian selama ini? Pasti kamu sangat menderita, Katrina?" timpal Tantri merasa prihatin.

"Tidak kok Umi. Katrina sudah biasa hidup sendiri. Jadi tidak kaget. Lihat saja sekarang, buktinya Katrina baik-baik sajakan?" jawab Katrina sumringah.

Syamsul dan Tantri tersenyum simpatik. Mereka sangat kagum pada sosok Katrina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status