Share

2. THE PAST ABOUT YOU (I)

"Alhamdulillah," ucap seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kakinya di stasiun Gubeng, Surabaya.

Seorang laki-laki berperawakan jangkung dengan berat badan ideal. Berkulit putih bersih. Beralis tebal, hidung mancung, tatapan matanya yang hangat, serta bibir tipisnya yang seimbang atas dan bawah.

Paras tampan itu sukses mencuri perhatian seluruh kaum hawa di sekelilingnya.

Reyhan menyadari kalau dirinya mulai menjadi pusat perhatian, tapi dia mencoba untuk tetap santai dan bersikap biasa saja.

Intinya, tetaplah bersikap ramah dan rendah hati pada siapapun orang yang kita temui, karena kita tidak pernah tahu kapan Allah Swt akan mempertemukan kita dengan orang-orang baik yang mungkin jelmaan malaikat penolong dalam hidup kita.

Tetaplah berpikir positif selagi kita masih diberi kesempatan untuk berpikir. Sebab pikiran positif justru akan menghadirkan nilai-nilai positif, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari lingkungan sekitar kita. Karena hal seperti itu sangat diperlukan untuk menjalin sosialisasi dengan berbagai macam orang yang kita temui di luar sana.

Apalagi bagi seorang pengembara macam Reyhan yang hidup sebatang kara. Mengembara ke Kota lain yang asing. Sebuah kota yang bahkan tak pernah dia kunjungi sebelumnya. Semua itu dia lakukan atas dasar modal tekat yang kuat.

Demi tercapainya satu tujuan, yaitu mencari seseorang.

Cinta pertamanya.

Reyhan tahu apa yang kini dia lakukan terdengar mustahil dan pastinya sangat sulit, namun Reyhan percaya, selagi kita berusaha dan berdoa, Allah Swt pasti menunjukkan jalan-Nya.

Reyhan melangkah sambil celingukan mencari pintu keluar stasiun Gubeng yang hari itu tampak ramai. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri secara bergantian.

Lelaki itu terdiam di salah satu sudut stasiun. Sekedar memastikan kembali bahwa kini dia benar-benar sudah berada di Surabaya dan ini bukanlah mimpi.

Aku datang Katrina. Aku pasti akan menemukanmu, seperti janjiku dulu...

Ujarnya dalam hati.

Lalu dia tersenyum. Memperlihatkan satu lekukan kecil yang muncul di pipi kirinya. Sungguh sempurna membungkus wajah tampan nan rupawannya. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan penampilannya yang super duper sederhana.

Setelan kaos hitam yang dipadupadankan dengan flanel kotak-kotak serta celana jeans sobek berwarna senada yang terlihat pas melekat di tubuhnya.

Reyhan menaikkan sebelah tali tas ranselnya yang melorot sambil terus melangkah.

Waktu Dzuhur sudah hampir tiba, Reyhan harus bergegas.

Puji dan syukur terus Reyhan panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang sudah dengan sangat baik memberinya kemudahan dan kelancaran selama perjalanan hingga dia selamat sampai tujuan.

Selain ramah dan sopan, Reyhan termasuk seorang laki-laki yang taat beribadah. Meski, pengetahuan akan ilmu agamanya tidak cukup baik, tapi Reyhan tidak pernah lupa meninggalkan shalat lima waktu. Baginya, itu adalah bukti tanggung jawab dan rasa syukur atas segala nikmat yang telah di beri Allah Swt untuknya selama ini.

Berjuta tatapan sarat akan kekaguman terus saja tertuju pada Reyhan di sepanjang jalur Stasiun Gubeng yang dia lewati.

Gadis-gadis remaja berseragam sekolah bahkan tampak antusias memperhatikan sosok Reyhan yang mereka pikir adalah seorang aktor atau bintang film, saking tampannya sosok itu.

Bisik-bisik tetanggapun kian santer terdengar di telinga Reyhan.

"Artis yo Mas?"

"Ganteng banget, sumpah..."

Reyhan hanya tersenyum tipis. Dia memilih untuk cepat-cepat menghindar dan berlalu dari hadapan gadis-gadis remaja itu sebelum hal-hal yang tidak dia inginkan terjadi.

Terkadang, memiliki wajah yang kelewat tampan itu justru seringkali membuat ruang geraknya terbatasi.

Reyhan mengernyitkan dahi, ketika sorot cahaya matahari menembus kornea matanya. Membuatnya silau.

Terik cahaya matahari yang membakar Kota Surabaya siang itu seolah tak memadamkan niat Reyhan untuk berpetualang mencari cinta pertamanya.

Bukankah dia sudah berjanji? Maka dia pun harus menepati.

Bukan karena terpaksa, tapi karena dia sudah benar-benar cinta.

Bagi Reyhan, tak ada satu alasan pun di muka bumi yang membuatnya semangat untuk melanjutkan hidup jika bukan karena dia.

Seorang wanita bernama Katrina Kania Ifana yang pernah menjadi bagian dari kisah kasih masa remajanya semasa SMA.

Reyhan memayungi matanya dengan sebelah tangannya dan berlari kecil ke arah luar stasiun. Hendak mencari warung makan di pinggir jalan untuk sekedar beristirahat dan menghilangkan dahaga serta mengisi perutnya yang keroncongan.

"Mas, pesan mie rebusnya ya, satu." Ucap Reyhan pada pelayan warteg yang dia kunjungi.

"Pake telor sama sayuran nggak?" tanya si pelayan warteg.

"Kalo pake telor harganya jadi berapa?"

"Sepuluh ribu,"

"Oh, nggak usah deh, Mas. Mie rebus biasa aja," tolak Reyhan, sopan. Kehidupannya di Surabaya baru saja dimulai. Perjalanannya masih sangat panjang. Jadi, dia harus pintar-pintar berhemat sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan.

"Minumnya apa, Mas?" tanya si pelayan warteg lagi.

"Air putih aja, Mas."

Si pelayan warteg terlihat mencibir dalam hati, gayanya aja keren, tapi kantongnya cemen, huh!

"Orang Jakarta ya, Mas? Siapa namanya?" tanya seorang laki-laki lain pengunjung warteg itu. Dia mengajak berkenalan. Wajah Reyhan yang tampan nyatanya tidak hanya menarik perhatian wanita, tapi juga pria.

"Iya, Mas. Baru sampai. Saya Reyhan, Mas sendiri siapa?" Reyhan menerima jabatan tangan laki-laki di sampingnya.

"Saya Budiman, supir taksi di sini. Pantes, ketahuan dari logatnya, bukan orang Jawa. Sendirian aja?" tanya Budiman lagi.

"Iya, Mas. Kebetulan memang cuma hidup sendiri." Jawab Reyhan apa adanya, karena memang dia tidak memiliki sanak saudara lagi, baik di Jakarta maupun di Surabaya. Sedari kecil Reyhan hidup sendirian.

Reyhan adalah anak tunggal dan Ibunya sudah meninggal sejak Reyhan masih berusia tujuh tahun. Sementara Ayahnya, Reyhan tak pernah tahu apapun.

Siapa Ayahnya?

Dimana tempat tinggalnya?

Reyhan tak pernah tahu. Karena memang Ibunya sendiri tak pernah bercerita apapun mengenai sosok Ayah kandungnya tersebut.

Kehidupan masa kecil Reyhan bersama sang Ibu yang bisa dibilang jauh dari kata sempurna, membuat Reyhan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Segala penderitaan Ibunya di masa lalu, cukup menjadikan alasan kuat baginya untuk tidak lagi memusingkan di mana Ayah kandungnya kini berada. Baginya, laki-laki itu sudah mati.

Mati bersamaan dengan kepergian Ibunya yang tragis.

"Lah, terus jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya mau ngapain kalau nggak punya keluarga?" lanjut Budiman lagi.

Reyhan terdiam sesaat. Lalu dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas ranselnya. Sebuah foto seorang wanita berseragam SMA.

"Mau cari perempuan yang ada di foto ini, Mas. Kira-kira, Mas pernah lihat dia?" tanyanya ragu.

Budiman mengambil lembar foto itu dimana di belakang foto itu tertulis sebuah tulisan tangan yang cukup rapi.

Katrina Kania Ifana in memorian.

My love...

Budiman tersenyum tipis. Dalam hati merasa lucu tapi juga salut.

Jauh-jauh datang dari Jakarta ke Surabaya cuma demi cewek. Nekat juga nih laki-laki. Pikir Budiman tak menyangka. Terkadang kekuatan cinta itu memang mampu mematahkan logika.

"Nggak sih. Saya nggak pernah lihat perempuan ini. Emang nggak ada alamat yang bisa dikunjungi? Kalau ada alamatnya bisa saya antar ke sana. Nanti saya kasih setengah harga," jawab Budiman.

Reyhan tersenyum simpul seraya memasukkan kembali foto itu, tapi tidak benar-benar dia masukkan melainkan hanya terselip di antara pinggiran jaring tas ranselnya.

"Nggak punya alamatnya Mas. Cuma ada fotonya aja," beritahu Reyhan apa adanya.

Budiman tampak mendesah. "Yah Mas, itu sih namanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami, susah Mas. Kota Surabayakan luas,"

Lagi dan lagi Reyhan hanya membalasnya dengan senyuman. Mie rebus yang dia pesan sudah jadi. Reyhan melahapnya dengan cepat, sebab dia belum menunaikan Shalat Dzuhur.

"Mas-nya udah punya kerjaan di sini?" tanya Budiman lagi saat Reyhan sedang memakan mienya.

"Belum Mas. Saya baru lulus kuliah. Rencana mau cari kerja di sini juga," jawab Reyhan setelah menelan makanannya. Lalu dia melanjutkan makan kembali. Sementara Budiman hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari ber-oh.

"Masjid dekat sini di mana ya Mas?" tanya Reyhan kepada Mas Gondrong, si pelayan warteg setelah dia membayar makanannya.

"Dari sini Mas nyeberang, terus jalan aja lurus ke kiri, nanti ada minimarket, nah di samping minimarket ada tukang buah, terus samping tukang buah ada yang jualan es kelapa muda, terus..."

"Di ujung jalan Mas, masjidnya. Pas di pertigaan lampu merah. Ribet lu, Gondrong! Jelasin gitu aja pake muter-muter!" potong Budiman. Dia memelototi Gondrong si pelayan warteg yang memang terkadang suka tulalit.

"Oh, terima kasih Mas. Mari Mas, duluan semua," Reyhan keluar dari warteg itu dan mulai berjalan menuju Masjid. Dia mengikuti rute yang tadi di arahkan orang-orang di warteg itu. Lalu dia mulai menyeberang jalan.

Lalu lintas jalan raya di depan stasiun Surabaya Gubeng saat itu cukup lengang. Dan hal itu membuat beberapa pengguna jalan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Reyhan berjalan menyusuri trotoar pejalan kaki. Langkahnya kian ringan setelah perutnya terisi.

Jarak Reyhan dengan masjid yang dimaksud sebenarnya sudah dekat. Tinggal menyeberang jalan saja.

Sebuah Marsedes Benz hitam yang melaju cepat dari arah kanan tampak berusaha menyalip mobil di depannya. Posisi Reyhan yang kebetulan terhalang oleh angkot yang ingin di salip si Marcedez Benz hitam tadi, membuat tubuh Reyhan yang hendak melintasi jalan jadi tidak terlihat oleh si pengendara mobil mewah itu.

Kecelakaanpun tidak dapat terelakkan lagi.

Suara decitan ban mobil yang beradu dengan aspal jalanan diikuti suara keras dua benda yang saling bertubrukan sonta mengejutkan banyak orang di sekitar lokasi kejadian.

Tubuh Reyhan yang tertabrak langsung terpental hingga beberapa meter ke depan dan jatuh di tengah-tengah jalan raya yang beraspal.

Pemuda itu mengalami sejumlah luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Bahkan kepalanya bocor dan mengeluarkan begitu banyak darah. Reyhan langsung tak sadarkan diri saat itu juga.

Beberapa warga yang geram pada si pengemudi Marsedes Benz itu, memaksa laki-laki itu turun dari dalam mobilnya untuk bertanggung jawab.

Laki-laki bersetelan kantor dengan tubuh tinggi dan tegap yang atletis terlihat keluar dari dalam mobilnya. Dia tidak terluka, tapi dia shock berat. Sementara mobilnya terlihat penyok di bagian depan setelah dia akhirnya membanting stir ke arah trotoar pejalan kaki dan menabrak tiang sebuah pohon pembatas jalan.

"Tolong bawa laki-laki ini ke mobil saya, Pak! Saya janji saya akan bertanggung jawab," ucapnya panik.

"Mas, siapa namanya? Saya butuh data-datanya Mas?" tegur seorang polisi yang kebetulan sedang berpatroli di sekitar TKP.

"Saya Hardin Pak. Hardin Putra Surawijaya," jawabnya masih dengan suara yang sedikit gemetar. Dia termasuk orang yang paling tidak bisa melihat darah. Perutnya mulai mual dan kepalanya sedikit pusing saat dia melihat kondisi laki-laki yang tadi ditabraknya.

"Nanti kita selesaikan kasus ini di kantor polisi setelah selesai dari rumah sakit, Pak Hardin," tegas polisi Patroli. Hardin mengangguk. Lalu langsung berlari ke dalam mobilnya dan membawa laki-laki bernama Reyhan itu ke rumah sakit terdekat.

Dia terus berdoa dalam hati semoga Allah Swt memberi keselamatan kepada laki-laki yang baru saja ditabraknya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status