Udara pagi terasa sejuk, tapi suasana di halaman villa begitu hening. Satu per satu mulai memasukkan barang ke bagasi mobil. Tak banyak suara. Hanya obrolan ringan dan langkah kaki yang berat. Masing-masing dengan kesibukannya sendiri.
Evan berdiri di sisi mobil, setengah bersandar, ia sedang mengobrol ringan dengan Ian. Asap rokok mengepul di udara, menemani perbincangan kedua pria itu. Tapi saat seorang gadis muncul dari dalam, tatapan mereka teralih, terkunci oleh titik itu. Na baru saja keluar mengenakan rok ringan diatas lutut, dipadukan dengan atasan baby tee berwarna netral yang membingkai lekuk tubuhnya dengan lembut. Langkahnya pelan, menggeret koper kecil dan satu tote bag di pundak. "Gila, bini lo. Cantik ya.." Ujar Ian, memang bermaksud memuji Na dihadapan suaminya itu. Evan yang mendengar itu langsung menoleh, menatap Ian. "Nggak usah dilihatin. Ntar mata lo sakit." "Nggak bakal, Van. Muka Na enak dilihat, sekilas mirip mantan gue.” Ucap Ian asal, bermaksud bercanda. Ia menghisap batang rokoknya dengan khidmat. "Sakit karena gue sundut rokok, maksudnya." Tawa Ian seketika lepas mendengarkan penuturan Evan, sedangkan Evan menatap dirinya serius, menahan sebatang rokok dijarinya, seolah sudah siap menyundutnya. "Sorry sorry, bro. Bercanda doang, elah." Ian menghentikan tawanya. Disisi lain, ada Riki yang tak sengaja mendengarkan obrolan mereka. Sudut bibirnya naik, ia semakin yakin bahwa Evan sudah memiliki perasaan pada gadis itu tanpa ia sadari. Tanpa banyak bicara, Evan berdiri dari tempatnya saat Na beranjak kearah mobil, bermaksud menaruh barang-barangnya. Evan mengambil koper dan tote bag dari pundaknya, lalu berjalan ke sisi mobil. Na agak bingung dengan perlakuan Evan, namun tetap mengikuti langkah pria itu dibelakangnya. Dan tepat saat Evan membalikkan badannya, Na sudah bediri dibelakangnya. Evan masih dapat melihat mata sembab yang gadis itu tutupi dengan riasan tipis. Tangan Evan membuka pintu mobil sebelah kiri, "Masuk, nggak usah keluar lagi. Kita udah mau jalan." Ucapan Evan lebih terdengar seperti perintah. Na hanya mengangguk, lalu masuk kedalam mobil, menuruti suaminya. Teman-temannya, yang tadinya masih mengobrol, dan ada juga yang berkutat dengan kesibukannya sendiri, satu per satu mulai memperhatikan, seolah segala tentang Evan dan Na tak pernah lepas dari atensi mereka. Apalagi saat Na terlihat masuk kedalam mobil setelah Evan menyuruhnya. Terlihat jelas seperti pria itu ingin menyembunyikan Na dari pandangan mereka semua. Evan masih diluar mobil, matanya tak sengaja menatap teman-temannya yang sedang menyorotinya. Evan tak mengalihkan pandangan, ia memandangi mereka satu persatu, seolah mengatakan, 'Apa lo semua liat-liat?' --- Pintu mobil tertutup pelan. Udara di depan rumah terasa lembab setelah hujan. Evan mengangkat koper dari bagasi tanpa bicara, lalu berjalan memasuki rumah. Di belakangnya, Na mengikuti sambil memeluk tote bag ke dada, langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Saat mereka masuk ke dalam, Na sempat menunduk sedikit saat melepas sepatunya di ambang pintu. Rok ringan yang ia kenakan, ikut tersingkap perlahan. Dan untuk alasan yang bahkan Evan sendiri tak bisa pahami, pandangannya sempat berhenti di sana. Ada perasaan asing yang mencuat cepat di dada Evan, campuran antara risih, atau... sesuatu yang lebih mengganggu dari itu. Ada sensasi aneh yang naik pelan dari dasar perutnya. Evan membuang pandangan. Rahangnya mengeras tanpa sadar. Ia melangkah ke dapur dan membuka kulkas. Dingin dari botol air tak cukup menurunkan panas mendadak yang menjalar ditubuhnya. Ia meneguknya cepat, lalu saat ia menutup botolnya, Na tampak muncul tak jauh dari hadapannya. Mata mereka bertemu. “Besok beresin semua isi koper. Gue gak mau rumah ini berantakan.” Kata Evan cepat, seperti sedang menyembunyikan sesuatu untuk dikatakan. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Na saat bicara. Gadis itu mengangguk kecil. “Aku ke kamar dulu. Nanti kalau kamu lapar, bilang aja, aku masakin.” --- Evan tidak pernah menyukai makan malam yang terlalu sunyi. Karena saat segalanya diam, pikirannya jadi berisik. 'Laper ' Namun ia tetap mengirimkan satu pesan itu ke gadis yang berstatus sebagai istrinya. Ia tak begitu lapar. Namun jarinya seolah mengetikkan pesan itu tanpa didikte. Bayangan wajah Na saat naik tadi terlihat lelah. Ia juga tak banyak bicara seperti biasanya, membuat Evan entah kenapa ingin melihat gadis itu sebelum ia tidur. Evan duduk di pinggir sofa, satu kakinya naik ke kursi. Sementara layar TV menyala tanpa suara di depannya. Sampai seorang gadis tampak muncul dari balik tangga. Na keluar hanya dengan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya terlihat masih basah, belum sepenuhnya kering. Kakinya yang kecil melangkah pelan ke dapur, tanpa sadar menarik semua perhatian pria yang duduk di ruang TV. Gerakannya pelan, tak ada yang istimewa. Tapi bagi Evan, terlalu banyak yang bisa dilihat, terlalu banyak yang bisa dibayangkan. Matanya mengikuti lekuk leher Na yang terbuka, cara bahu itu bergerak saat Na membuka kulkas. Dan saat gadis itu menunduk sedikit mengambil botol, Evan mengumpat pelan. Na menoleh, baru menyadari bahwa suaminya duduk diruang tengah, sedang menatapnya. “Eh, maaf… aku nggak lihat kamu di sana.” Suaranya lembut, agak kaget. Evan berdehem, ia tak menjawab. Lalu mengalihkan pandangannya kembali ke TV yang masih menyala. "Jangan lama-lama masaknya," Ucapnya datar, seolah tak ada apa-apa. Dan tak butuh waktu lama untuk Na menyelesaikan masakannya. Ia memanggil Evan ke ruang makan. Tak lama pria itu muncul, duduk di kursi makan. Wajahnya datar, Ia lalu mulai menyentuh alat makan tanpa berkata apa pun. Meja makan itu senyap, suara sendok menyentuh piring menjadi satu-satunya pengisi ruangan. Na duduk di seberangnya, menunduk sedikit, sibuk meniup makanan yang masih panas. Rambutnya terikat asal, wajahnya sedikit kemerahan karena uap dapur. Evan berusaha memfokuskan dirinya pada makanan dihadapannya, Tapi entah kenapa, pemandangan dihadapannya, terasa sangat mengganggu. Matanya terus bergerak tanpa sadar. Menelusuri leher Na yang tertekuk saat ia menyeruput kuah. Melirik gundukan dadanya yang meski tertutup, tetap terlihat samar saat ia merunduk sedikit. Evan berusaha makan. Tapi setiap suapan terasa hambar, fokusnya terpecah. Pikirannya terus-menerus membayangkan hal-hal yang bahkan tidak ingin ia akui. Bentuk di balik kain itu, ukuran yang samar, kulit yang lembut, nafas pelan yang terdengar naik-turun. Ia menelan ludah. Sial. Tubuh bagian bawahnya mulai bereaksi. Tidak kentara. Tapi cukup untuk membuatnya makin gelisah. Evan menoleh cepat, berusaha mengembalikan kesadarannya. Namun seolah menolak, lagi-lagi ia melirik istrinya itu. Menelusuri setiap inchi wajah yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya. Seolah sadar Evan sedang menatapnya, Na menoleh menatap laki-laki itu. Seketika itu juga, Evan melempar sendok ke meja, menimbulkan suara yang nyaring. “Lo sengaja bikin gue kepedesan?” cetus Evan tiba-tiba. Na agak kaget, ia memandangi masakannya dengan kebingungan. “Kamu kepedesan? Maaf, kayaknya ladanya kebanyakan... Aku bisa ganti air kaldunya kalau mau—” “Enggak.” Ucapan itu keluar lebih keras dari niatnya. “Nafsu makan gua uda hilang.” Na menggigit bibir, lalu menunduk. “Maaf…” Evan mengalihkan pandang, seolah muak. Padahal ia sadar betul, bahwa masakan itu sama sekali tak pedas. Yang terbakar justru pikirannya, dan bagian tubuh lain yang semestinya mudah dikendalikan. Ia menarik napas panjang, menahan diri agar tak kembali menatap Na. Namun pantulan cahaya di dinding masih menyingkap siluet gadis itu. Wajah polos dan merasa bersalah yang Na tampilkan, sekali lagi membuat rasa gerah di dadanya menyala tanpa aba-aba. Dalam hati, Evan mencaci dirinya sendiri. Tubuh dewasa macam apa yang goyah hanya karena kaus longgar dan tatapan polos? Tapi semakin ia mencela, semakin keras degup darahnya. Terlebih lagi gadis itu adalah Navriena. Gadis yang lahir dari wanita penghancur Kelurganya. Harusnya Evan jijik. Tidak, Evan takkan membiarkan hal ini terus berlanjut. "Lo... kita tidur terpisah mulai sekarang. Bawa barang-barang lo dari kamar, pindah kemanapun, kalo bisa yang paling jauh dari kamar gue." Dan di antara denting jam dinding, Evan bisa melihat Na mendongak, menatap pria itu tak percaya. "Aku minta maaf kalo masakannya bikin kamu kecewa. Tapi kamu nggak bisa kayak gini, aku istri kamu.." Suara itu bergetar, disusul dengan mata berkaca-kaca gadis itu. "Kenapa nggak bisa? Rumah ini punya gue. Kalo lo nggak mau ikut aturan gue, lo boleh keluar." Kata-kata itu membuat Na tertohok. Seolah tak ada habisnya, Evan selalu berhasil menyakitinya. "Mana ada pasangan suami istri yang tidur terpisah? Kenapa kamu kayak gini..." Gadis itu mulai menangis dihadapannya. Sedangkan Evan bangun dari kursinya. "15 menit, waktu lo buat beresin barang-barang lo. Lewat dari itu, gue yang bakalan nyingkirin semuanya sendiri."Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp