Pintu kamar ditutup kencang.
Tangan yang tadi Evan genggam, ia hempas cukup keras, membuat gadis itu tersentak. Na mendongak, menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya itu dengan perasaan takut dan bingung, karena Evan terlihat begitu marah sekarang. “Lo sengaja kan, godain temen gue?" Kata-kata itu dilontarkan begitu cepat. Seolah Evan telah menahan untuk mengatakannya selama ini. Membuat gadis yang berdiri dihadapannya itu mengeryitkan dahi. “Aku nggak ngerti maksud kamu...” “Lucu juga,” potong Evan, tersenyum remeh. “Baru sehari dua hari tinggal bareng, udah dapet target baru?" "Aku gak kayak gitu.. maksud kamu apa?" Seperti mengerti kemana arah pembicaraan suaminya itu, Na mengelak, raut wajahnya menyiratkan kebingungan. Tanpa disadari Na, tatapan Evan turun kebawah. Celana pendek yang dikenakan gadis itu sedari tadi mengganggu atensinya, menampilkan jelas luka di lututnya masih terlihat memerah. Darahnya mendidih saat mengingat bahwa celana itu sedikit tersingkap karena posisi duduknya tadi, ketika disamping Riki. Membuat kulit mulus istrinya itu terekspos lebih banyak. Dimatanya, Na mungkin saja sengaja melakukannya dan sekarang ia terlihat tak lebih dari seorang gadis murahan. "Buah memang jatuh nggak jauh dari pohonnya..." Gumam Evan pelan, sangat pelan sampai-sampai Na tak mendengarnya. Pria itu melangkah mendekat, lalu menunduk, menyamai tinggi badan mereka. "Tingkah lo yang kayak gini, makin bikin gue muak sama lo. Tolong tahu malu sedikit." Na mengerjapkan matanya, seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. “Aku gak ngerti... kenapa kamu ngomong kayak gitu? Salah aku di mana? Riki cuma nolongin aku, karena kamu tadi nolongin Raina. Kamu juga bahkan nggak perduli sama sekali...” Sekilas, Evan tampak terdiam, memandangi wajah Na yang jelas menyiratkan kekecewaan saat mengatakannya. Namun seolah belum puas dengan tatapan luka itu, Evan kembali berucap. “Jangan bawa-bawa Raina. Lo sama dia beda. Dia nggak cari perhatian. Sedangkan lo? Lo bahkan nggak sadar gimana lo bikin gue malu. Lo keliatan kayak… cewek gampangan." Kata-kata itu membuat Na terperajat ditempatnya. Evan meloloskan ucapannya dengan sangat mudah, tanpa beban, tanpa rasa bersalah. Air mata yang sudah menggenang dipelupuk mata Na, akhirnya jatuh juga. Ucapan itu terngiang seperti gema yang tak mau hilang. Dan yang paling menyakitkan, adalah, karena itu keluar dari mulut suaminya sendiri. Orang yang dulu ia pikir akan menjadi tempatnya pulang. Tangisannya pecah. Ia memberanikan diri untuk menatap Evan, menunjukkan betapa terlukanya ia dihadapan laki-laki itu. "Aku berusaha bertahan, meskipun kamu perlakukan aku dengan cara yang nggak pantas… tapi tolong, jangan anggap aku serendah itu.” Lirihnya, diakhiri dengan isakan setelahnya. Evan tertegun sejenak, menatap istrinya dalam-dalam. Air mata terus jatuh membasahi pipinya, tanpa berusaha diseka oleh pemiliknya. Hal ini sama sekali tak direncanakan oleh Evan. Tadinya, ia sudah berbaik hati ingin mengobati Na, namun gadis itu malah secepat kilat menerima bantuan dari laki-laki lain. Membuat Evan menyesali niat baiknya yang sekarang sudah ia buang jauh-jauh. Namun bagaimanapun, seharusnya ini pemandangan sempurna bagi Evan. Na yang hancur karenanya, Na yang menangis dihadapannya. Sampai ia menyadari, bahwa ia tak sepenuhnya senang dengan pemandangan itu. Gadis itu terlihat berantakan, dengan luka di kaki dan pergelangan tangannya yang membiru, rambut panjangnya terurai acak, menutupi sebagian wajahnya yang sembab. Bahunya naik turun pelan, terisak dihadapannya. Evan tak mengerti dengan apa yang ia pikirkan sekarang. Satu sisi ia senang dan puas. Namun disisi lain, ada sesuatu tak kasat mata seperti mencubit dirinya. Gadis itu begitu lemah, begitu mudah ia hancurkan, membuat ia merasakan hal yang tak seharusnya. Perasaan bersalah. "Nggak usah nangis. Itu nggak akan ngerubah cara pandang gue ke lo..." Sebelum pikiran tak wajar ini mempengaruhi dirinya lebih jauh, Evan memilih untuk meninggalkan gadis itu. Hening kembali menyelimuti ruangan itu, menyisakan Na yang masih menangis dalam diam. Kenapa sulit sekali menerima kenyataan bahwa Evan yang dulu mencintainya ini telah berubah menjadi pria tak berhati? Ia mengangkat jemarinya dan menatap cincin di jari manisnya. Benda kecil itu berkilau samar dalam cahaya lampu, cincin itu sederhana, tidak belebihan. Tapi dulu, saat pertama kali disematkan, Na percaya itu cukup untuk membuatnya merasa dicintai. Perkataan dan senyum lembut yang dulu ia dambakan, sudah tak pernah ia dapatkan lagi. Jika sudah seperti ini, lantas ia harus apa? Dari pada kehilangan perasaan, Evan lebih terlihat seperti membencinya. Keberadaan gadis itu tak pernah dilihat, dan selalu dianggap menyusahkan. Na mengusap permukaan cincin itu dengan ibu jarinya, seolah berharap bisa menghapus luka yang tersembunyi di balik logam itu. Apakah ia harus menyerah? --- Angin malam bertiup pelan. Lampu gantung di teras belakang villa menyala temaram. Suara jangkrik terdengar samar, bercampur dengan desahan ombak dari kejauhan. Niki berjalan santai, menghampiri Kael dan Juan yang sedang berdiri di balkon. “Gue udah gak tahan liat ini semua,” ujar Kael pelan. Yang mana, Riki dan Jayden sudah tahu apa yang menjadi topik pembahasan Kael. Jayden menoleh. Matanya juga penuh beban. “Dari awal udah salah, El. Tapi sekarang, makin gak bisa dibiarin.” “Dia bener-bener gak punya hati. Istrinya jatoh, terus luka, yang dia tolong malah Raina? Gila... itu bukan cuma sakit. Itu penghinaan.” Ucap Kael, terlihat frustasi dengan masalah rumah tangga orang. “Gue punya rencana,” Riki berkata pelan, membuat Jayden dan Kael langsung menoleh kearahnya. "Rencana apaan?" Tanya Jayden. “Gue ngerasa, Evan nggak suka kalau gue terlalu deket sama Na. Dia bahkan mau ngobrol sama gue malam ini, karena ngeliat gue ngasih obat ke bininya. Pasti buat memperingati gue supaya jauh-jauh dari Na." “Dan?” tanya Kael menuntut. “Dan itu artinya, dia peduli. Dia nggak sadar kalo dia udah cinta sama Na." Riki mencondongkan tubuhnya kearah mereka, kedua tangannya bertaut. “Dia boleh ngomong dia benci Na, bilang ini semua cuma buat dendam… tapi dari cara dia ngejaga jarak Na dari gue, dia jelas cemburu. Dan kayaknya... itu bisa gue manfaatin. Gue nggak mau nyakitin siapa-siapa. Gue cuma mau Evan sadar secepatnya, kalo sebenernya dia itu cuma denial selama ini. Jangan sampe dia nyesel nantinya." Jelas Riki. "Sebenarnya, akhir-akhir ini gue merhatiin Evan. Dia memang sering kelihatan nggak seneng kalo lo lagi deket Na. Tapi... Lo yakin pake cara ini, Rik? Lo tahu Evan bukan tipe orang yang bisa diajak main main. Tempramennya jelek." Setelah mengatakannya, Kael bergidik membayangkan Evan saat marah. "Tenang, gue bakal main cantik. Tujuan gue bukan rebutan, bukan drama. Gue nggak akan bersikap seolah mau ngerebut Na dari dia, tapi gue bakal muncul setiap Evan nyakitin Na. Seenggaknya sampe kita balik ke Jakarta." "Jadi.. Lo mau mancing reaksi dia? Dengan bikin dia cemburu?" Tanya Jayden. Riki menatap lurus ke depan. "Iya, lebih tepatnya mancing kewarasan dia balik."Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp