Ratih pov
***"Tadi itu siapa, Tih? Ganteng pisan. Kenalin napa," ucap Mbak Nadia.Aku mendengus mendengarnya. "Gak tau. Orang Ratih baru aja kenal, gak sengaja.""Kok bisa? dia nggak ngasih nomer w.a atau apa... Gitu?""Buat apa, Mbak? Ratih dah punya suami. Lagian bukannya bantuin Ratih cari tukang urut, kek. Kaki Ratih keseleo. Sakit banget ini," sautku dengan jengkel sembari mengusap kaki yang masih sakit."Ish. Yaudah, tunggu disini. Nanti Mbak cari tukang urut dulu.""Hmm."***Kakiku masih sakit. Tapi ini lebih baik dari pada sebelumnya. Setidaknya aku masih bisa berjalan untuk pulang kerumah. Dengan diantar oleh Mbak Nadia, aku dan Raka akhirnya memutuskan untuk pulang.Namun getaran di ponselku sepertinya terlalu mengganggu. Aku berdecak kesal. Memangnya siapa yang mau menghubungiku? Aku pikir... Aku tidak punya teman yang cukup dekat.Namun aku teringat akan sesuatu. Bahwa aku masih menyadap ponsel Mas Pras. Semua notifikasi w******p sudah pasti bisa aku lihat dari sini. Aku segera membukanya.Mataku tentu saja memanas. Sesuai dugaanku, Winda menghubungi Mas Pras. Berkali-kali, seakan dia akan segera mati. Aku tersenyum pahit."Kamu kenapa? Jadi balik, gak?""Nggak. Mbak tolong anterin aku ketempat lain. Aku punya urusan penting.""Urusan apa sih? Muka kamu serius banget?""Udah... Mbak anterin aja." Aku langsung naik keatas motor."Raka diajak?""Yaiyalah."Mbak Nadia menjalankan sepeda motornya. Tidak begitu ngebut tapi menurutku cukup ugal-ugalan. Karena dia tidak begitu pandai membawa motor."Dimana Tih?""Nggak tau. Pokoknya daerah sini.""Hah? Maksud kamu apa? Kamu mau kemana emangnya? Gak jelas banget sih!" Aku tahu mbak Nadia mulai kesal. Karena aku memang tidak tahu dimana rumah Winda. Hanya tahu sedikit daerahnya saja."Kita tanya aja.""Yaudah sana!"Aku turun dari motor. Menghampiri wanita paruh baya yang sedang berkumpul di depan sebuah rumah. Rasanya tidak sopan jika aku bertanya masih dalam keadaan diatas motor, apalagi motor masih menyala."Permisi, Buk. Rumahnya Winda dimana, ya?""Winda? Winda mana, Neng?" salah satu ibu-ibu bertanya dengan wajah bingung.Dan aku sendiri tidak tahu, harus menjelaskan Winda mana. Nama lengkapnya saja aku tidak tahu. Satu-satunya cara, adalah menunjukkan foto Winda dari profil watsapnya."Yang ini, Bu... Kenal gak?""Oh ini... Yang baru aja cerai, sama suaminya. Rumahnya gak jauh dari sini, kok Neng. Kamu terus aja, belok kiri. Depan rumahnya ada pohon mangga," ucapnya menjelaskan."Oh, iya. Makasih ya Buk. Maaf ganggu.""Iya sama-sama, Neng. Gak papa."***Saat aku sudah berada didepan rumah Winda. Aku pikir... Tadinya aku ingin mengetuk keras pintu sialan itu, atau langsung saja mendobrak dan memergoki apa saja yang sedang mereka perbuat. Namun setelah aku pikir-pikir lagi. Itu bukanlah pilihan yang bijak. Mbak Nadia pasti akan memberitahu Ibuk masalah rumah tangga yang selama ini aku tutupi dengan baik."Woy Tih! Buruan, kamu mau ngapain di rumah itu, emang?" Aku menoleh kearah Mbak Winda yang sudah tidak sabar. Kemudian naik lagi keatas motornya."Nggak jadi, Mbak. Kita pulang aja.""Hah? Gilak kamu. Udah capek-capek dateng kesini malah ngajakin pulang. Yaudah."***Aku sengaja tidak tidur malam ini. Menunggu Mas Pras yang tidak juga kembali. Bukan karena merasa gelisah dia pergi ke rumah wanita lain. Hanya saja... Aku ingin mendengar langsung penjelasan darinya. Dan apa yang dia inginkan sebenarnya.Karena aku sudah muak.Handle pintu terbuka. Mas Pras sudah pulang dengan wajah yang sulit ku artikan."Dari mana, Mas?" Aku bertanya. Namun dia berlalu seolah aku tidak terlihat dimatanya."MAS!!" nada suaraku mulai meninggi. "Kamu dari rumah Winda, iya kan?"Dia menatapku sekilas. "Iya."Aku tersenyum sinis. "Sebenarnya mau kamu itu apa, Mas? bilang sama aku. Kalo kamu emang perhatian sama dia, yaudah. Nikahi dia lalu ceraikan aku. Gampang kan?""Jangan asal bicara kamu, Ratih. Mas capek. Gak usah ngajakin berantem terus.""Aku nggak mungkin kayak gini, kalo kamu gak mulai duluan! Kalo kamu nggak bisa menghargai istri kamu, setidaknya jangan membuat aku merasa tidak berharga dengan kamu mendekati perempuan lain! Aku merasa terhina, Mas!!""Cukup Ratih. Aku sudah jelaskan berkali-kali. Winda itu sakit. Dia butuh aku untuk merawatnya. Anaknya masih kecil.""Cih. Bullshit! Meskipun kamu gak bohong, bukan berarti tindakan kamu itu sudah benar Mas. Tetap aja salah. Karena kamu sudah memiliki istri yang harusnya lebih diutamakan. Bukan perempuan lain yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali sama kamu.""Cukup Tih. Aku capek. Kalo kamu masih ngajakin ribut, mending aku tidur dirumah Winda aja. Disana aku jauh lebih tenang."Aku tertawa sumbang mendengar ancamannya. "Silahkan, Mas! Silahkan!!" Aku menggerakkan tanganku seolah sedang mengusirnya. "Kalau perempuan itu bikin kamu lebih nyaman, silahkan pergi ke rumahnya. Aku gak masalah. Kamu pikir aku sedih? Enggak!! Mau ada kamu atau enggak dirumah ini pun sama aja. Aku tetap dianggap pajangan doang. Jadi meskipun aku kehilangan kamu, aku sudah terbiasa Mas. Jangan kamu pikir aku stress. Enggak sama sekali!"Aku melihat wajah Mas Pras yang semakin kesal dengan ucapanku. Aku semakin tersenyum sinis dan menantangnya."Kebahagiaan istri sendiri aja gak pernah di utamain. Gak usah sok baik, mau membahagiakan orang lain. Inget! Kamu bisa sukses karena kebahagiaan istri dan do'a dari kami. Kalau kebahagiaan itu sudah rusak. Maka siap-siap kehancuran kamu akan segera datang."Aku segera masuk ke dalam kamar. Terserahlah dia mau pergi ke mana pun. Aku benar-benar tidak peduli. Sejak awal pernikahan ini memang lah tidak sehat. Harusnya aku mendengar nasehat Bapak dulu.Tidak perlu terburu-buru menikah jika tujuanya hanya takut salah satu diambil orang. Tidak perlu terburu-buru menikah jika hanya ingin menyalurkan nafsu. Pikirkan lagi bagaimana caranya menyikapimu saat dia sedang marah. Pikirkan lagi matang-matang karena pernikahan itu sakral. Kalau bisa sekali seumur hidup.Emosiku belum juga reda. Sebuah notifikasi kembali masuk dan semakin membuatku memanas. Aku melempar asal benda pipih itu dan merebahkan diri diatas kasur. Dengan perasaan yang benar-benar kesal, marah dan ingin sekali memaki.***"Permisi. Saya mau mencari kamar atas nama Prasetyo."Yah, aku berada di hotel sekarang. Tidak ada Mbak Nadia didekatku jadi aku bisa dengan bebas memergoki suamiku yang sedang melakukan perbuatan bejadnya. Dan tidak lupa aku menitipkan Raka padanya."Maaf Nyonya, kami tidak bisa merusak privasi pengunjung hotel. Jika boleh tahu, apa yang ingin anda lakukan dan apa hubungan Anda dengannya?""Aku istrinya. Dan ini bukti pernikahan kami. Tenang saja. Aku tidak akan menggangu kenyamanan pengunjung lainnya. Hanya memastikan saja bahwa suami saya benar bersama wanita lain. Tidak akan ada keributan disini.""Baik. Nanti salah satu tim akan membantu Anda."Setelah berhasil berdiskusi dengan pihak hotel. Akhirnya aku diperbolehkan membuka paksa kamar yang telah dipesan oleh Mas Pras. Kali ini aku yakin, memiliki alasan kuat untuk bercerai."Kami akan menunggu di luar, Nyonya. Silahkan." Aku mengangguk dan membuka kamar itu dengan kunci cadangan yang diberikan oleh petugas hotel. Aku merutuk dalam hati. Meski hotel ini tidak berkelas, tapi Mas Pras tidak pernah sekalipun membawaku kesini. Menyedihkan sekali, bukan?Aku masuk begitu saja. Pelan nyaris tanpa suara. Dan sesuai dugaanku bahwa kedua manusia laknat itu sedang bergelut tanpa busana. Aku bahkan jijik melihatnya. Tapi aku harus menyelesaikan ini semua. Kubuka layar HP dan kunyalakan vidio untuk merekam perbuatan mereka. Sebagai bukti nanti di meja pengadilan."Kamu udah? Sekarang gantian aku yang- Ahhhhhhh....!"Aku pikir baru saja mereka akan berganti gaya. Tapi sudah ketahuan dengan kehadiranku."RATIH!!""Loh? Kenapa berhenti? Ayok lanjutin aja. Videonya nanggung." Aku berucap santai pada kedua orang yang kalang kabut mencari pakaian mereka."Jadi ini... Orang sakit yang butuh perawatan sama suami orang? Kamu nggak keliatan kayak orang sakit, Winda? Atau jangan-jangan perawatan seperti ini yang kamu maksud, iya?!""Kamu ngapain disini, Ratih?!""Masih nanya aku ngapain?" Aku mendelik menatap kearah Mas Pras. "Aku mergokin kalian yang selingkuh. Dengan alibi merawat perempuan sakit yang baru aja cerai dari suaminya. Apa perbuatanku ini salah?""Kamu tidak menghargai privasi orang lain Ratih, jelas salah!""JIKA PERBUATANKU INI SALAH. LANTAS BAGAIMANA DENGAN PERBUATANMU MAS!! KAMU GAK NYADAR APA GIMANA? ANJING!"Arga pov***Aku berada di sebuah kafe kecil di dekat sebuah hotel. Menikmati secangkir kopi sembari melihat-lihat barangkali ada berita menarik yang bisa ku ambil. Namun alih-alih mencari sebuah ketenangan dan berita secara bersamaan. Aku mendapati seorang wanita dan pria sepertinya sedang berdebat di depan hotel. Tadinya aku ingin mengabaikan namun setelah ku perhatikan dari kejauhan. Aku melihat wanita yang cukup familiar. Dia... Ratih? Sedang apa wanita itu? Apa lelaki itu suaminya? Lantas siapa wanita disebelahnya? Mungkinkah...? Aku segera beranjak. Aku pikir bisa melerai mereka. Sepertinya perdebatan itu semakin sengit. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara Ratih yang cukup keras. "Biarin aku kasih tau sama Ibuk kamu yang selalu membanggakan kamu, Mas! Biar dia tahu seberapa brengseknya kamu!!" "Jangan Ratih!" "Biar kamu bisa nikahin Lonte ini," ucapnya menunjuk wanita disebelah lelaki itu. Dan yang membuat darahku tiba-tiba mendidih. Dia mengangkat tangannya hendak di
Debaran yang cukup familiar terasa hanya beberapa detik. Saat perasaan nyaman mulai menyerang, tiba-tiba saja dorongan keras membuat tubuhku terhuyung ke belakang dan menabrak sebuah tembok pembatas. Bugh"Aw...! Sakit, Tih." "Salah sendiri, main peluk-peluk aja!" Ratih mundur beberapa langkah. Mencoba memberi jarak antara kami. Wajahnya terlihat kesal. "Tapikan aku udah minta ijin. Kamu bilang, iya." Dia menoleh dengan tatapan tajam melumpuhkan. "Aku nggak sengaja bilang gitu. Lagi pula... Aku cukup waras untuk itu. Aku punya suami. Dan wanita yang bermoral tidak akan melakukan tindakan diluar batas. Apalagi sama lelaki lain yang baru saja dikenal. Aku cukup tahu tentang dosa meski aku ini pendosa." "Jangan bilang kayak gitu, Tih. Aku gak ada maksud apa-apa. Kamu kedinginan, ya aku cuma mau bantu ngagetin." "Apapun alasan kamu, hal seperti itu tidak dibenarkan, Arga." "Kamu bilang mau cerai?" "Iya. Tapi sekarang aku masih sah sebagai istrinya. Udahlah! Mending kita lanjutin p
"Jangan lancang kamu, Ratih! seharusnya kamu introspeksi diri. Apa yang kurang dari kamu hingga suamimu berpaling ke perempuan lain," ucap seorang wanita yang memiliki anak perempuan. Aku tidak terkejut. Hanya saja heran. Bisa-bisanya mertuaku mengatakan hal seperti itu. Bukankah itu lucu... Aku menatap mertuaku dengan senyuman sinis. "Ibu terlahir dari rahim perempuan. Ibu juga memiliki anak perempuan. Coba tukar posisi... Bagaimana jika suami Hana selingkuh. Atau menikah lagi. Apa ibu juga akan menyalahkan Hana? Enggak, kan. Bukankah ini lucu? Saat seorang perempuan menyakiti hati sesama perempuan. Bahkan sesama seorang ibu. Dan memiliki anak perempuan. Dengan memojokkan penyebab perselingkuhan adalah akibat dari kesalahannya sendiri." Ibu mertuaku bungkam. Namun aku tahu bahwa mulutnya tidak sabar untuk mengeluarkan cercaan. "Saat poligami diawali dengan perselingkuhan lalu zina. Itu artinya wanita yang di nikahi suamiku bukanlah wanita baik-baik. Hukum agama kita wajib menjau
Setelah menyerahkan beberapa dokumen untuk mendapatkan surat cerai, kami berteduh di kedai kopi kecil yang ada di pinggir jalan. Bukan sebab aku tak mampu membawa Ratih ke tempat makan lebih mewah, hanya saja wanita ini yang memaksa untuk mampir ke kedai kecil seperti ini. Hari ini cuaca begitu panas. Namun ada hal lain yang lebih membakar. Wanita yang ada di hadapanku ini. Aku memesan segelas kopi. Sementara Ratih.... Tetesan keringat mengalir hingga ke ceruk lehernya. Kulit wajah yang semula putih berubah kemerahan karena terik matahari. Wanita itu mengambil sebotol air mineral dan meneguknya sampai tandas. Bagaimana cara air itu melewati tenggorokannya, bagaimana deru nafasnya naik turun karena rasa lelah di tambah dahaga. Dan bagaimana keringat itu membuat tubuhnya sedikit basah. Itu... Membuatku menelan ludah. Dalam keadaan setengah basah seperti itu. Entah mengapa debar familiar kembali muncul hingga menimbulkan sisi liar dalam pikiran. Seksi"Kamu ngeliatin gitu, kenapa
"NAH... ITU DIA! PEREMPUAN GAK TAHU MALU! ITU PASTI SELINGKUHANNYA...!" What the hell... Aku masih berdiri di ambang pintu. Beberapa pria menunjukkan wajah garang. Sementara Ratih terlihat geram. Entah apa yang terjadi. Aku melangkah mendekati mereka. Ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi. Namun belum sempat aku mengeluarkan suara, sebuah tinju melayang ke pelipis hingga membuatku terdorong kebelakang. Shit! Jelas aku belum siap menerima pukulan secepat ini. "Dasar lacur! Jadi ini kelakuan kamu di belakangku, hah!" teriak seorang pria yang aku ingat sebagai suami Ratih. Ah tidak, mantan suami. Kulihat wajah geram Ratih. Wanita itu maju dan mengangkat wajahnya. "Heh Prasetyo! Urusan kamu sama aku apa, hah! Mau aku ngapain aja dibelakang kamu, juga bukan urusan kamu lagi. Kamu tuh gak tahu malu, atau apa? Bikin rusuh di tempat orang pakek bawak rombongan segala. Malu-maluin." "Jelas, ini menjadi urusanku karena kamu masih istriku! Seharusnya kamu yang malu. Tidur sama laki
Aurin? Ya. Wanita itu Aurin. Wajahnya nampak sumringah saat melihat kedatanganku. Dia berdiri dan segera menghampiri. "Ga? Dari mana aja? Kamu nggak keliatan beberapa hari ini. Aku pikir sakit." "Aku sehat kok. Cuma lagi ada urusan aja," ucapku setelah melepas helm. Aurin nampak tersenyum tipis. Keningku berkerut menatap wajahnya yang nampak kecewa. "Oh.. Pantes. Kemarin aku tungguin gak dateng-dateng. Lain kali kalau ada urusan, kabarin dulu ya. Biar aku nggak nungguin sampe kemaleman." Apa? Astaga... Aku lupa, kalau kemarin ada janji sama Aurin. Jadi gak enak sama nih cewek. Apalagi liat senyuman pahitnya. "Duh... Sorry ya, Rin." Aku berucap dengan hati tak enak. "Iya nggak papa." "Besok aku temenin sampai selesai deh. Seminarnya masih ada kan?" "Masih." "Yaudah. Besok aku jemput." Kulihat gadis itu tersenyum. Tidak sekaku tadi. Yah... Anggap saja sebagai penebus kesalahanku. Aku akan menemaninya seharian besok. ***"Aurin gak di ajak masuk?" Baru saja kaki melangkah m
"Muka kau kenapa merah gitu, Tih? Abis berantem?" tanya Mbak Nadia saat meliatku. Setelah seharian bekerja dengan gaji 50ribu rupiah. Aku menjemput Raka di rumah ibuku. "Iya. Abis berantem sama anjink," ucapku asal. "Anjink? Maksudmu Prasetyo?" Lah kok dia tahu? Aku mengangguk pelan. "Sialan! Mau aku bantu pecahkan kepala dia itu, Tih? Biar tahu rasa!" "Kepala siapa yang mau kalian pecahkan?" Kami berdua terkejut. Ibu mendengar ucapan Mbak Nadia. Aku langsung menatapnya mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh bercerita apapun pada ibu. "Kepala anjink, bu.. " saut Mbak Nadia dengan santai. Aku menghela nafas lega. "Nggak ada kerjaan kalian, mau mecahkan kepala anjink." "Raka mana, bu?" "Ada. Abis mandi langsung tidur dia. Tega kamu ninggalin anak seharian. Nggak kasihan sama Raka," sungut ibuku. "Ratih kerja, bu.. " "Buat apa? Gaji suami kamu kurang? Ya, seharusnya kerja dirumah aja minta modalin bikin usaha kelontong. Biar anakmu tetap keurus." Aku diam saja. Entah harus me
Arga POVDibalik sikapnya yang dingin, ada hati yang rapuh. Aku mengerti. Dibalik sikapnya yang terkadang kasar, ada kelemahan yang dia sembunyikan. Atau mungkin faktor kerasnya kehidupan yang membuat moodnya berantakan. Ratih.Perempuan yang dua tahun lebih tua dariku. Terpaksa menerima jalan hidup yang tidak seberuntung wanita lain di luar sana. Aku melihat bagaimana dia menyayangi anaknya. Aku melihat sendiri bagaimana dia berusaha kuat dihadapan anaknya hanya agar anaknya tidak bersedih melihatnya di aniaya. Yang menjadi pertanyaanku... Kenapa suaminya tega menyakiti. Kenapa tega memilih wanita lain dan menyia-nyiakan wanita yang pernah bersimbah darah untuk melahirkan anaknya? Bukankah itu tidak adil? Saat aku menariknya masuk kedalam dekapan. Dapat kurasakan tubuhnya berguncang karena isak tangisnya. Dia tidak menolak, mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak. Kubiarkan dia menumpahkan semuanya. Meski debar di dada mungkin bisa di rasakannya. Wanita yang malang. Aku m