Tujuan hidup?
Pertanyaan itu selalu terlintas di benakku. Mengingat keseharianku hanya berkutat dengan berita-berita dari narasumber yang aku dapatkan. Namun menurutku tidak ada yang menarik perhatianku akhir-akhir ini.Dimana percobaan perampokan. Penjambretan di jalan raya. Aku lelah dengan berita seperti itu. Tidak ada kesudahannya. Alasan mereka pun tidak jauh berbeda. Melakukan dengan terpaksa karena harus memberi makan orang tersayang dirumah. Memang miris, namun tidak ada solusi yang aku dapatkan. Buktinya hal semacam itu semakin banyak dan merajalela."Karokean aja, yok! dari pada boring gak ada kerjaan," seru salah satu temanku yang bernama Agung. Dan disambut antusias oleh yang lainnya."Boleh tuh!""Kuy lah.""Kita gegarkan panggung karoke, haha." Mereka pun bersorak seperti biasa. Dimana karoke adalah salah satu hiburan favorit mereka. Dari pada pergi ke klab malam, pikir mereka."Ikut?" tanya seorang wanita dengan nada lembut seperti biasa. Namanya Aurin. Cantik dan anggun."Enggak," sahutku dengan menenteng sebuah tas di sebelah bahuku."Kenapa?""Males aja. Pengen tidur.""Oh... Sama."Ada sekilas kecewa di manik coklat itu. Namun segera ditutupi dengan senyuman tipis diwajahnya.Dan kami pun berjalan beriringan sampai keluar tempat kami bekerja. Teman-temanku yang lain sudah berangkat dengan mobil mereka. Ada juga yang memakai motor besar, seperti yang aku gunakan. Sementara Aurin, dia membawa mobil sendiri seperti biasa."Ga, besok mobilku mau dipakek sama adikku. Bisa gak aku nebeng sama kamu?"Aku mengangguk. "Boleh. Besok aku jemput.""Makasih, ya." Gadis itu tersenyum malu. Ya, dia memang seperti itu. Kami tidak begitu dekat, namun aku tidak keberatan siapapun yang meminta bantuanku.***Sore itu....Aku menyendiri seperti biasanya. Berada di tempat yang sepi didekat sebuah danau buatan. Aku senang mengerjakan tugasku disini. Tidak ada yang mengganggu dan juga mengusik.Namun hal itu sepertinya mulai sirna, saat kudengar suara lengkingan seorang wanita. Aku terperanjat kaget mendengar teriakannya yang keras. Wanita itu berada tidak jauh dariku. Diatas sebuah batu besar, sementara aku dibawahnya. Duduk bersandar. Sebuah batu besar, membuat kami sama-sama tidak menyadari kehadiran satu sama lain."Eh, Mbak. Kalo mau teriak liat-liat dong. Kupingku sakit...," ucapku yang sebelumnya terperanjat kaget. Menatapnya setengah menyalahkan. Aku yakin dia mendengar protesku.Sepasang mata hitam itu menoleh kearahku. Dan wajahnya.... Aku melihat dengan jelas. Terlihat lelah dan penuh tekanan. Aku bisa mengartikannya. Entah apa yang dia alami."Salah sendiri situ disitu! Emangnya ini tempatnya situ? Terserah saya mau teriak dimana," ketusnya. Dia langsung beranjak turun dan melangkah pergi.Namun saat kakinya menapaki sebuah batu, dia tergelincir dan....BrukkBeruntung dia jatuh ke tanah. Aku pikir akan menyelamatkan wanita ini karena tercebur di danau."Tuh kan, kualat sih."Dia langsung menatapku tajam. Aku tahu ucapanku membuatnya kesal.Aku melihatnya ingin berdiri, namun dia sepertinya kesulitan. Sebab itulah aku mengulurkan tanganku untuk membantunya. Namun dia hanya menatapnya."Gak usah! aku bisa sendiri.""Yakin? Tenang aja Mbak. Saya ini orang baik. Ayok saya bantu," ucapku masih dengan tangan terulur padanya.Dia masih berusaha untuk bangkit sendiri. Aku berdecak, ternyata ego wanita ini lumayan juga. Well... Terserahlah.Aku tadinya ingin pergi, namun saat ekor mataku melihatnya meringis. Entah mengapa jiwa pahlawanku menyeruak. Aku kembali kearahnya dan langsung meraup tubuh wanita itu.Tentu saja dia meronta."Kamu ngapain, sih! Lepasin!""Udah, diem." Wanita ini meronta. Bahkan memukul dadaku. Aku mendudukannya ditempat yang kering. Maksudku ada tempat duduk khusus disini. Tapi memang kebanyakan orang lebih memilih duduk diatas batu."Jangan macem-macem, ya kamu!!" Dia menatapku curiga. Aku memutar mataku."Wajah ganteng kayak gini, mana mungkin terlihat seperti penjahat? Mbak aneh-aneh aja.""Mana aku tahu. Rambut aja sama item, isi hati manusia mana ada yang tau!""Astaga.... Namaku Arga, Mbak. Panggil aja Gaga atau Abang juga boleh.""Saya nggak nanyak!""Galak amat sih, Mbak. Sayang, sama mukanya yang cantik. Ketutupan sama muka juteknya."Aku tidak berbohong. Dia memang cantik. Dan manis. Ah sial, aku jadi memperhatikan wajahnya."Situ pikir aku seneng? Enggak!""Astaga.... "Aku melihat kegelisahannya. Dia sepertinya ingin pergi, tapi karena kondisi kakinya yang sepertinya masih sakit. Dia tidak bisa berjalan dengan benar."Kalo Mbak mau pulang, saya bisa anter.""Kamu tukang ojek?"What the...Baru kali ini ada cewek bilang gue tukang ojek? Wah asli... Ada sesuatu pasti sama nih cewek."Saya wartawan, Mbak. Saya tahu Mbak kesakitan. Mangkanya mau saya bantu anterin pulang.""Oh. Yaudah ayok.""Ya, ayok."Dia menatapku bingung. Aku mengerti apa yang dia pikirkan. Sebab itulah aku membantunya menaiki motorku."Pegangan Mbak," ucapku mulai menyalakan mesin motor."Halah, nggak usah modus. Pakek pegangan segala, emang mau nyembrang.""Bukan gitu, Mbak. Biar aman aja.""Bilang aja, biar susuku nempel dipunggung situ, iya kan?!"What the hell...?Pikirannya terlalu jauh ternyata. Astaga....Aku melajukan motorku tidak begitu cepat seperti biasanya. Karena aku memang tidak pernah ngebut saat membonceng seorang wanita. Siapapun itu.Namun karena suatu tragedi dijalan raya. Dimana, seorang ibu-ibu dengan hijab panjangnya sedang mengendarai motor. Ibu itu tadinya menghidupkan lampu sen kekanan, namun tiba-tiba saja dia membelok ke kiri. Aku kaget dan....CIIITTT....BrukPLAK!!"Aw...!" Aku meringis. Entah karena kaget atau reflek, wanita dibelakangku ini langsung melayangkan pukulan keras dibahu kananku. Aku tahu sebabnya karena benda kenyal yang dia miliki menyentuh punggungku, tapi kan... Itu tidak sengaja?"Kenapa Mbak main pukul?""Situ sengaja kan? Ngerem mendadak, biar dadaku nempel?" tuduhnya lagi. Dan aku benar-benar menghela nafas jengah."Aduh, Mbak. Tadi itu ada penguasa jalanan.""Maksud situ apa?""Dah lah! Keburu dipukul juga," gerutuku kembali melajukan motor.Tidak membutuhkan waktu lama dan perjalanan yang cukup dekat menurutku. Akhirnya kami sampai sesuai intruksi dari wanita ini sebelumnya."Masuk kearah pasar, terus belok kiri. Nah masuk ke dalam gang itu," ucapnya. Aku hanya mengangguk. Dan masuk kesebuah gang sempit. Sepertinya motor masih bisa masuk, tapi tidak dengan mobil."Dimana Mbak?""Itu, yang rumah cat hijau.""Oh, oke." Aku berhenti tepat di sebuah rumah yang menurutku sangat kecil."Makasih ya. Ini ongkosnya," ucapnya memberikan selembar uang kertas dia puluh ribuan."Eh, Mbak. Gak usah.""Udah... Biarin aja. Aku gak mau punya hutang budi sama situ. Dan jangan panggil aku Mbak. Aku gak ngerasa nikah sama kakaknya situ.""Ya mangkanya namanya di sebutin.""Ratih, namaku Ratih. Dah, itu aja yang perlu kamu tau. Untuk rt, rw dan kecamatan kamu gak perlu tahu.""Astaga... Nih orang kadang lucu juga," gumamku masih menatapnya yang mulai berbalik."Dari mana aja, Tih? Anak kamu nyariin?"Aku mendengar dengan jelas ucapan seorang wanita yang keluar menyambutnya. Dan dia bilang apa tadi... Anak?Jadi Ratih sudah punya anak? Pantes aja jutek minta ampun. Dah punya suami ternyata. Aku menghembuskan nafas dan menghidupkan kembali motorku. Kok aku jadi kecewa dengan Ratih yang punya anak? Hahah sialan!Sudah lima bulan berlalu sejak Ratih berhasil merebut Raka dari mantan suaminya. Kini mereka memulai kehidupan baru. Dengan di bantu oleh Marlina yang kini menjadi sahabatnya. Mantan wanita malam itu memberanikan diri merubah pekerjaannya hanya ingin kehidupan lebih baik dari sebelumnya. Toko buku sederhana yang mereka bangun kini bukan hanya sekedar menjadi tempat menjual buku, tapi juga ruang bagi komunitas untuk berkumpul berbagi cerita. Tak lupa pula, Arga selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku itu, atau lebih tepatnya kepada Ratih. Di dalam toko buku itu, udara dipenuhi dengan aroma kertas dan tinta, sementara anak-anak membaca dengan suara lantang di pojokan. Marlina membantu Ratih merapikan beberapa buku yang baru saja tiba. "Kalau capek istirahat aja, Mar." Marlina memutar matanya. Tanda bahwa dia merasa kesal setiap kali Ratih menyepelekan tenaganya. "Orang cuma nyusun buku aja kok, Tih. Di bandingin kerjaanku dulu yang goyang dulu, baru dapet duit. Itu ju
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Ratih PovMbak Nadia batal nikah karena ibuku tak mau aku hadir di hari pernikahannya. Itulah kenyataan yang baru saja aku dapati dari adikku. Dadaku semakin terasa sesak. Sebenci itukah ibu padaku? Dan Mbak Nadia... Kenapa sampai harus membatalkan pernikahan hanya karena aku? Aku tahu semua ini sudah takdir. Tentang nasibku yang kini menjadi janda, juga tentang hidupku yang berjalan rumit. Namun disaat seperti ini... Aku rasa harus ada orang untuk di salahkan. Dan mereka adalah keluarga Prasetyo. "Aku udah cantik, belom?" tanyaku pada Marlina. Wanita itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus mewarnai kuku-kukunya. "Nggak usah dandan aja kamu udah cantik, Tih. Males aku ngomonginnya. Entar pelangganku malah ngincer kamu!" ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Itu artinya aku memang sudah cukup enak dilihat. "Nanti kalau ada Arga, bilangin aku keluar sebentar." "Lah? Aku pikir kamu dandan kayak gini, mau ketemu sama Mas mu. Mau ketemu siapa emang
"Jangan lo DP duluan." "Kenapa emang?" Bang Lukman menghela nafas kasar. Wajahnya terlihat kesal padaku. "Pakek nanya! Ya jangan lah. Lo nggak kasihan, entar dia jadi bahan olok olokan keluarga Tante Maya? Lo tahu sendiri, adiknya almarhum papa lo itu kayak apa?"Aku tersenyum masam. Tak Memungkiri ucapan bang lukman yang memang benar adanya. Tante maya dan segala kesombongan yang melekat di dalam diri mereka, jelas akan mempersulit Ratih. Namun bagaimana pun, aku tak akan membiarkan Ratih terbebani olehnya. "Abang tenang aja. Arga nggak sebejat itu kok. Menjaga marwah perempuan adalah tugasku. Dan Ratih... Gak akan Arga biarin deket sama Tante Maya." "Nah, itu keren." Bang Lukman menepuk nepuk bahuku. Seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. "Setelah urusan kita selesai, Arga mau secepatnya menikahi Ratih," ucapku mantap. "Iya... Gue tahu! Udah keliatan dari muka lo yang blingsatan tiap liat si Ratih. Gue juga khawatir kalau kalian terlalu lama." Aku menganggukka
Dan semua yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Sudah menjadi turun temurun, keluarga Prasetyo memperlakukan menantu dengan cara yang tidak baik. Bang Lukman tak pernah diam saja setelah hari itu kumintai pertolongan. Dia menyelidiki keluarga Prasetyo. Dan banyak informasi serta bukti yang kini kami dapatkan. Ratih sendiri tak kalah terkejutnya, kala melihat mantan suaminya kini bergonta-ganti pasangan. Membuat Winda sebagai istri tersakiti secara mental. Itu terjadi juga karena adanya dukungan keluarga. Aku tersenyum saat mendengar Ratih merutuki kebodohannya karena pernah menjadikan Prasetyo sebagai suaminya. "Naudzubillahiminzalik! Kok ada ya, manusia kayak mereka?" ucap Ratih menatapku penuh pertanyaan. Aku hanya mengangkat bahu kemudian mengusap bahunya pelan, dengan sayang. "Ya, ada lah, Yang. Kalau semua manusia baik, entar neraka gak ada penghuninya," ucapku kemudian terkekeh melihat wajah sebalnya. "Inget, disini ada gua woy!" ucap Bang Lukman yang memang berada di antar
Arga PovAku pikir... Ini adalah saat yang tepat, membuat Ratih memelukku secara sukarela. Aku sengaja memilih film horor, sebab yang aku tahu wanita akan berteriak histeris dan memeluk siapa saja hanya karena melihat tokoh hantu yang ada di film. Nyatanya Ratih tak seperti dugaanku. Beberapa kali, aku sengaja memegang tangannya bahkan memeluk pinggangnya agar sama seperti pasangan lainnya. Bukannya membalas perlakuanku, Ratih malah diam saja. Tangannya kaku di dalam genggamanku hingga nyaris berkeringat. Disaat penonton lain berteriak histeris, Ratih malah diam saja. Tak terusik sama sekali. Dia diam tanpa ekspresi hingga membuatku bosan. Ah sial! "Kamu dari tadi diam aja, kenapa? Aku ada salah?" Aku langsung menoleh pada Ratih yang bicara lembut padaku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Setidaknya... Dia menyadari perasaanku. "Kita makan dulu aja, yuk?" Ratih hanya mengangguk. Kami melangkah menuju sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Setelah mempersilahkan Ratih duduk de
"Mbak gak jadi nikah, kenapa?" Aku sengaja datang kerumah Mbak Nadia hanya untuk menanyakan perihal pernikahannya. Sejak kejadian hari itu... Tak pernah lagi kudengar kabar pernikahan Mbak Nadia. Sementara Arga menunggu dengan raut tak sabar. Apalagi tak ada secangkir kopi menemaninya. Hingga yang tertangkap olehku hanya wajah masamnya. Aku ingat betapa tak sabarnya dia. Hanya karena ingin mengajakku jalan-jalan entah kemana. Dia harus rela menungguku mampir kerumah Mbak Nadia. Lagi pula jika dia tak mau, aku tak masalah. Aku bisa jalan kaki. "Jangan lama-lama ya, Yhank. Entar pulangnya kemaleman. Kamu marahnya ke aku," rutuknya kala itu. Aku hanya mengangguk saja. Dan yang melekat sekarang, adalah panggilan sayang padaku... Yhank. Udah kayak panggilan anak sd pacaran saja. Sialnya Arga tetap tak mau mengubah nama panggilan itu. Ya... Terserah deh. "Kenapa kamu biarin aja Raka di ambil sama bapaknya? Kamu pikir anak kamu akan baik-baik saja, berkumpul dengan keluarga gila itu!" A
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s