Ratih Purwasih seorang gadis yang berasal dari keluarga kaya raya. Merasa tertipu menikah dengan Rangga Pamungkas kekasihnya yang berasal dari keluarga sederhana. Hubungan mereka berawal saat Ratih dikenalkan oleh seorang teman kepada Rangga. Kebaikan dan ketulusan hati Rangga dimasa-masa mereka pacaran membuatnya terlena. Akhirnya dia pun menerima lamaran dari Rangga, walaupun kedua orang tuanya kurang setuju dengan tindakannya itu. Bahkan untuk menikah dengan Rangga, dia rela meninggalkan fasilitas kemewahan dari keluarganya bahkan dirinya pun rela meninggalkan pekerjaannya demi pemuda itu. Namun apa yang terjadi setelah mereka menikah, sungguh diluar dugaan. Ternyata, Rangga adalah tipe suami yang kasar. Sikapnya mulai berubah. Akankah Ratih mempertahankan rumah tangganya? Atau malah dia memilih berpisah dengan Rangga? Penasaran kisahnya? Yuk silakan dibaca ya! Plagiarisme melanggar undang-undang no 28 tahun 2014.
Lihat lebih banyakRatih duduk di kursi depan mobil dengan perasaan bercampur aduk. Dia menatap Rangga, suaminya, yang tampak tenang mengemudi di jalanan Jakarta yang padat. Hatinya penuh kebahagiaan, akan tetapi juga diliputi banyak kegelisahan.
Hari ini adalah pertama kalinya Rangga membawanya ke rumah mereka, tempat keduanya akan memulai kehidupan baru sebagai suami dan istri baru. Setelah menikah secara sederhana di kantor catatan sipil tanpa restu dari keluarganya, Ratih merasa yakin telah membuat keputusan yang benar di dalam hidupnya. Bahkan gadis itu pun rela meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Rangga, yang dulunya sopir pribadi ayahnya, telah berhasil memikat hati Ratih dengan ketulusan dan sikap rendah hatinya. Namun, hari ini, Ratih akan mengetahui sisi lain dari kehidupan suaminya, dan hatinya berdebar kencang membayangkan seperti apa kehidupan baru mereka nanti. Mobil akhirnya berhenti di sebuah gang sempit di pinggiran kota Jakarta. Ratih mengernyitkan dahi. Lokasi ini jauh dari bayangannya tentang rumah yang akan mereka tempati. "Ini tempatnya, Sayang," ujar Rangga lembut, mematikan mesin mobil. Dia berbalik menatap Ratih dengan senyum kecil di wajahnya, akan tetapi senyum itu tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. Ratih terdiam sejenak, memandangi sekitar. Deretan rumah-rumah sempit dengan tembok yang mulai mengelupas, anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, dan bau got yang menyengat langsung menyeruak ke hidungnya. "Kita … akan tinggal di sini, Mas?" tanya Ratih perlahan, suaranya terdengar goyah. Rangga mengangguk pelan, terlihat sedikit cemas dengan reaksi istrinya. "Maaf, Ratih. Memang di sini kita akan tinggal. Ini rumah petakan yang kusewa. Aku belum bisa membelikan kita rumah yang lebih baik. Tapi aku janji, aku akan bekerja lebih keras untuk masa depan kita. Percayalah kepadaku, Sayang!" serunya kepada istrinya yang terlihat masih ragu-ragu untuk masuk ke dalam rumah sederhana itu. Ratih menelan ludah, mencoba meredakan kekagetannya atas kenyataan yang ada di depan matanya saat ini. Dia sangat tahu jika Rangga tidak berasal dari keluarga kaya raya, akan tetapi dia tidak pernah membayangkan keadaan akan seburuk ini. Sejak kecil, Ratih terbiasa hidup di rumah megah, dikelilingi oleh kemewahan. Namun, demi cintanya kepada Rangga, dia rela meninggalkan semua itu, dan sekarang di sinilah sang gadis, berdiri di depan sebuah rumah sempit di perumahan kumuh. "Yuk, masuk dulu," ajak Rangga, mencoba mengalihkan perhatian istrinya dari suasana sekitar. Dengan ragu, Ratih mengikuti langkah Rangga menuju rumah yang disebut suaminya sebagai 'rumah'. Pintu kayu yang sudah usang itu berderit saat Rangga membukanya. Begitu masuk, Ratih disambut oleh pemandangan yang sederhana, sebuah ruang tamu kecil dengan sofa tua, meja kayu yang penuh dengan goresan, dan kipas angin yang berputar lambat di langit-langit. Ada satu kamar tidur di sudut ruangan, serta dapur kecil yang terlihat sempit. Ratih memandangi ruangan itu dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kemiskinan yang dirasakannya, melainkan perasaan campur aduk antara terkejut dan sedih. Betapa besar perbedaan antara kehidupan yang baru ini dengan kehidupannya yang dulu. Namun, sang gadis sangat sadar jika dirinya telah memilih jalan ini, dan dia tidak boleh mundur. "Ratih? Apakah kamu baik-baik saja?" panggil Rangga perlahan, menyadari bahwa istrinya terdiam cukup lama. Ratih tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gelisahnya. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja, kok. Hanya saja, aku butuh waktu untuk beradaptasi." Rangga menarik napas lega, lalu mendekati istrinya dan menggenggam tangannya erat. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Sayang. Tapi aku janji, aku akan berusaha keras. Kita akan bangun kehidupan kita dari sini. Percayalah kepadaku," seru Rangga lagi sambil tersenyum ke arah istrinya. Ratih menatap mata suaminya yang penuh dengan ketulusan. Dia pun mulai merasakan cinta yang begitu besar dari pria itu, dan Ratih tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri dengan meragukan keputusan yang telah diambil olehnya karena telah memilih Rangga sebagai pendamping hidupnya. "Aku percaya sama kamu, Mas," jawab Ratih dengan suara lembut. "Selama kita bersama, aku yakin kita pasti bisa melalui ini semua ini." Mata Rangga berbinar mendengar kata-kata Ratih. "Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar istri yang luar biasa bagiku." Namun, di dalam hatinya, Ratih tidak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan kehidupan lamanya. Ayahnya, Tuan Cahyono, pasti sangat marah ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Rangga. Ratih masih bisa membayangkan wajah keras ayahnya saat pertama kali mengetahui hubungan mereka. Beberapa saat yang lalu, "Ratih! Apa kamu sudah gila? Kamu pacaran dengan sopirku?" teriak Tuan Cahyono saat itu, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah mereka. "Ini hidupku, Ayah. Aku berhak memilih siapa yang akan aku cintai!" balas Ratih, meski hatinya gemetar karena ketakutan. "Jangan bicara seperti itu, Ratih. Kamu tidak tahu apa dampak atas semua yang kamu lakukan!" Nyonya Menur, ibunya, hanya bisa menangis di sudut ruangan, memohon agar putrinya berubah pikiran. Tapi Ratih tetap teguh pada pendiriannya. Dia bahkan lebih memilih meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Dan sekarang, ketika dia berdiri di rumah petak kecil ini, sang gadis tahu jika dia telah membuat pilihan yang sulit, akan tetapi Ratih juga tahu bahwa cintanya pada Rangga tidak akan goyah. "Mas, kita harus mulai dari mana?" tanya Ratih, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan masa lalu. "Kita bisa mulai dengan membereskan rumah ini dulu. Aku tahu ini tidak besar, tapi aku ingin kamu merasa nyaman di sini," jawab Rangga sambil tersenyum. Ratih mengangguk. Dia kemudian melepas jaketnya dan mulai membantu Rangga merapikan ruangan. Meski kecil dan sederhana, dia mencoba menerima tempat ini sebagai rumahnya sekarang. Ratih bertekad untuk tetap tegar, karena baginya, kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan. Cinta yang tulus jauh lebih berharga. Sambil bekerja bersama, Ratih dan Rangga sesekali bertukar pandang dan tersenyum. Meskipun berat, keduanya yakin bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama. Dan di tengah-tengah kesederhanaan itu, Ratih mulai merasakan kebahagiaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya, karena dia tahu, selama ada Rangga di sisinya, dia bisa menghadapi apapun. Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di depan rumah. Angin lembut berhembus, membawa kesejukan di antara kelelahan setelah seharian merapikan rumah. "Kamu menyesal, Ratih? Setelah tahu kehidupanku yang sebenarnya?" tanya Rangga pelan, suaranya mengandung kekhawatiran. Ratih tersenyum hangat, lalu menggenggam tangan suaminya. "Tidak, Mas. Aku tidak menyesal sedikitpun. Selama kita bersama, aku yakin kita akan baik-baik saja." Dan di bawah langit senja, mereka berdua berjanji untuk saling mendukung dan menjalani hidup ini dengan penuh cinta, meski dalam kesederhanaan.Hujan gerimis turun pelan membasahi Kota Bandung sore itu. Awan kelabu menggantung rendah seakan menyampaikan kabar duka. Di sebuah sudut kota yang tenang, berdiri sebuah toko bunga bernama “Ratih’s Bloom” berdampingan dengan “Sweetheart Bakery.” Kedua usaha itu milik Ratih, perempuan yang kini menjalani hidupnya dengan tenang dan penuh kemandirian.Ratih mengenakan apron putih dengan noda tepung di sana-sini. Rambut hitamnya diikat tinggi, dan wajahnya yang dulu ceria kini tampak lebih tegar namun dingin. Dia sedang menyusun kue tart untuk pesanan pelanggan ketika suara lonceng pintu berbunyi.“Selamat sore. Ratih?” suara seorang pria menyapa pelan.Ratih menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan jas hujan dan memegang sebuah amplop. Wajahnya tampak penuh beban.“Iya, saya Ratih. Ada yang bisa saya bantu?”“Saya, teman lama Rangga. Nama saya Adrian,” katanya sambil menatap Ratih dengan ragu. “Saya datang karena, ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”Ratih mendadak te
Sore hari di desa kecil di perbatasan JambiTruk berhenti di jalan setapak berdebu. Rangga mengetuk dinding kabin truk."Sampai sini saja, Pak. Terima kasih banyak."Sopir mengangguk. "Hati-hati ya, jalan ke desa kecil itu sepi. Banyak yang bilang masih ada harimau juga."Rangga dan Leman turun dari truk. Setelah memastikan tak ada polisi yang mengikuti mereka, keduanya mulai menyusuri jalan setapak ke arah perbukitan, menuju sebuah rumah tua berpagar kayu."Itu rumahnya?" tanya Leman setengah terengah."Iya. Aku ingat dari cerita Ayah. Pak Idris tinggal sendiri setelah istrinya meninggal. Tapi dia orang baik, dulu sering bantu Ayah saat masa-masa sulit."Mereka mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang lelaki tua membuka pintu. Matanya tajam namun sorotnya lembut."Rangga? Anak Wira?"Rangga mengangguk. "Saya butuh bantuan, Pak. Kami dikejar polisi. Tapi bukan seperti yang mereka pikirkan. Kami difitnah." Ternyata Rangga berbohong padahal dia seorang napi kasus pembunuhan.Pak
Sore hari di posko pencarian wilayah Barat Bengkulu,Salah satu anjing pelacak mendadak menggonggong keras saat mendekati pondok tua di tengah hutan."Pak, anjing pelacak temukan sesuatu!" teriak petugas.Kapten Damar segera mendekat. Dia melihat potongan kain di paku."Ambil dan bawa ke laboratorium. Tes DNA-nya. Tapi yang lebih penting, keduanya memang ada di sini. Kita hampir dapatkan mereka."Seorang teknisi datang dengan tablet."Kami juga dapat rekaman drone yang menunjukkan dua sosok melintasi sungai kecil di hutan barat. Gambar nggak jelas, tapi gerakannya konsisten dengan dua orang.""Kita kejar arah sungai itu. Kirim tim darat, siapkan speedboat di hilir. Kita kepung mereka dari darat dan air. Kali ini keduanya nggak akan bisa lolos."Sore hari di Sungai RawasRangga dan Leman menyusuri sungai dengan rakit sederhana dari batang pisang dan papan tua."Gue nggak yakin ini cukup kuat bawa kita berdua.""Kita nggak punya pilihan lain. Perahu motor pasti diawasi. Jalur ini lebih
Langit masih gelap saat Rangga terbangun dari tidurnya. Angin pantai yang menusuk tulang membuatnya menggigil, meski selimut tipis yang diberikan nelayan tua semalam masih menyelimuti tubuhnya. Dia duduk perlahan, memandangi Leman yang masih terlelap di sudut pondok."Sudah saatnya kita bergerak," bisiknya.Rangga keluar dan melihat nelayan tua, Pak Rawi, sedang duduk di batu besar dekat dermaga kecil, merokok sambil menatap laut."Pagi, Pak," sapa Rangga.Pak Rawi melirik sekilas. "Kalian harus pergi sebelum matahari naik. Saya sudah terlalu tua untuk urusan kejar-kejaran dengan polisi."Rangga mengangguk. "Kami akan pergi. Terima kasih untuk pondok dan makanan.""Bagi saya kalian bukan orang jahat, tapi kalian sedang dikejar. Itu membuat kalian bahaya bagi siapa pun yang dekat."Rangga diam. "Kami hanya ingin hidup bebas.""Kebebasan itu mahal, Nak," gumam Pak Rawi. "Kadang terlalu mahal."Pagi hari di Markas Kepolisian Wilayah SelatanKapten Damar menatap layar komputer besar de
Angin pagi menyapu wajah Rangga dan Leman saat mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara ladang tebu dan semak belukar. Sepatu mereka basah oleh embun, dan setiap suara burung atau ranting patah membuat keduanya menoleh waspada.Leman memegangi bahunya yang makin nyeri. Luka lama yang belum sembuh kini kembali terasa, membuatnya terhuyung.“Lo kuat, Man?” tanya Rangga sambil memegangi bahu sahabatnya itu.“Gue kuat,” jawab Leman lirih. “Gue cuma pengin kita beneran bebas.”Rangga menatap ke arah selatan. “Menurut info Ferry, pelabuhan kecil di Desa Pandanarang punya nelayan yang biasa ke sebuah pulau buat dagang. Kalo kita bisa naik kapal mereka, kita bisa kabur tanpa dicurigai.”Leman menarik napas panjang. “Kita jadi orang pulau, ya?”Rangga tersenyum tipis. “Atau apa pun yang penting kita hidup bebas.”Pagi hari di Pos polisi sektor Cilacap,Kapten Damar menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Foto-foto buronan Rangga dan Leman sudah tersebar ke semua sektor. Karyo s
Mereka langsung menendang bara api dan tiarap di lantai. Motor mendekat, lalu berhenti. Suara laki-laki terdengar.“Menurut laporan, jejak kaki mereka sampai ke arah sini. Periksa rumah itu!”Langkah kaki menghantam tanah keras. Dua bayangan masuk ke halaman rumah.“Siap-siap,” bisik Rangga, mengambil batu besar di dekatnya.Langkah sepatu berat memasuki teras rumah.“Gue ke dalam. Lo awasi luar,” ujar suara laki-laki itu.Rangga menunggu, satu, dua, tiga detik.Begitu pria itu masuk ke kamar, Rangga langsung menyerang. Bruk!Batu menghantam kepala sipir itu dan tubuhnya roboh.“Ambil pistolnya!” teriak Rangga.Leman mengambil pistol di pinggang pria itu dan langsung mengarahkannya ke jendela.“Yang di luar, angkat tangan Lo atau gue tembak!”Tapi suara tembakan datang lebih dulu dari luar. Kaca jendela pecah dan Leman menjerit.“Arrgh! Gue kena di bahu!”Rangga menarik tubuh Leman ke belakang dan berteriak, “Kita kabur lewat belakang!”Karyo memapah Leman yang berdarah, sementara Ra
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen