Share

AKAN KU ADUKAN PADA IBUMU

Arga pov

***

Aku berada di sebuah kafe kecil di dekat sebuah hotel. Menikmati secangkir kopi sembari melihat-lihat barangkali ada berita menarik yang bisa ku ambil. Namun alih-alih mencari sebuah ketenangan dan berita secara bersamaan. Aku mendapati seorang wanita dan pria sepertinya sedang berdebat di depan hotel.

Tadinya aku ingin mengabaikan namun setelah ku perhatikan dari kejauhan. Aku melihat wanita yang cukup familiar. Dia... Ratih?

Sedang apa wanita itu? Apa lelaki itu suaminya? Lantas siapa wanita disebelahnya?

Mungkinkah...?

Aku segera beranjak. Aku pikir bisa melerai mereka. Sepertinya perdebatan itu semakin sengit.

Dari kejauhan aku bisa mendengar suara Ratih yang cukup keras.

"Biarin aku kasih tau sama Ibuk kamu yang selalu membanggakan kamu, Mas! Biar dia tahu seberapa brengseknya kamu!!"

"Jangan Ratih!"

"Biar kamu bisa nikahin Lonte ini," ucapnya menunjuk wanita disebelah lelaki itu. Dan yang membuat darahku tiba-tiba mendidih. Dia mengangkat tangannya hendak dia layangkan di arah Ratih. Sesuai prediksiku, dengan cepat tangan itu menampar wajah Ratih demi membela si perempuan yang di katakan Ratih sebagai Lonte.

PLAKKK

Ratih nyaris tersungkur di tanah akibat kerasnya tamparan itu. Namun jarakku yang sudah sangat dekat langsung menangkapnya. Tubuh Ratih masuk ke dalam rengkuhanku.

"Anjing! Bisa-bisanya lo kasar sama perempuan sampe kayak gini. Lo banci atau apa, hah?!" Aku melampiaskan kekesalanku. Aku tidak tahu mengapa sesakit ini melihat Ratih di aniaya. Mungkin... Karena rasa kemanusiaan.

"Siapa kamu?! Jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!"

"Gak peduli gua siapa! Lo gak pantes memperlakukan perempuan seperti ini. Dia bukan hewan."

Bugh

Aku melayangkan sebuah pukulan di wajahnya. Hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tubuhnya yang kurus dan tidak ada tampan-tampannya sama sekali. Entah apa yang membuat Ratih mau menikah dengannya.

"Sialan! beraninya lo."

"Kenapa emang?! Lawan lo bukan perempuan. Kalo mau adu kekuatan sama orang yang setara sama lo, anjing!" Aku lagi-lagi mengumpat. Saat tanganku hendak memberikan pukulan telak, Ratih sudah menyeretku.

Menarik tanganku agar menjauh darinya.

"Sudah. Mending kamu pergi dari sini," kata Ratih.

"Enggak. Kamu bisa dalam bahaya kalo aku tinggalin sendirian, Tih."

"Oh. Sekarang aku ngerti. Ternyata kamu selicik ini, ya? Mencari-cari kesalahan suami kamu supaya bisa bersama cowok gila ini. Cih, dasar perempuan licik!"

"Maksud kamu apa, hah? Mencari pembenaran dan menuduh orang sembarangan. Kamu pikir bisa lolos dari kesalahan kamu?! Enggak, Mas. Aku tetap akan menuntut kamu."

Kali ini Ratih benar-benar membawaku menjauh. Aku mengikuti langkahnya, namun sesekali menoleh kearah bajingan itu dengan menatapnya tajam.

Kemudian beralih melihat tanganku yang setengah diseret nya agar menjauh.

Setelah langkah kami sudah cukup jauh. Barulah kami berhenti di sebuah kedai kopi kecil. Disana Ratih langsung menghempaskan tanganku.

"Bibir kamu berdarah," ucapku saat menatap wajahnya yang cantik kini harus ternoda dengan lebam disudut bibirnya.

"Nggak papa. Nanti juga ilang sendiri."

Aku terhenyak mendengarnya. Wanita ini.... Sejak awal aku sudah menyadari ada yang tidak beres. Aku menatapnya dalam diam. Sementara dia... Entahlah. Aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu.

"Apa suami kamu sering melakukan hal seperti ini?" pertanyaanku akhirnya memecah keheningan diantara kami.

"Ini?" ucapnya menunjuk sudut bibirnya. Aku mengangguk.

"Baru kali ini. Saat dia kepergok sedang selingkuh sama wanita tadi." Aku melihat senyuman pahit dari wajahnya.

"Terus? Mau ngajuin cerai?"

Dia mengangguk pelan. Meski begitu aku tahu dia sudah yakin dengan keputusannya. Lagi pula untuk apa mempertahankan lelaki seperti itu. Sudah jelek rupa, ahklak. Aku rasa isi dompetnya pun tak kalah jelek. Buktinya dia hanya memesan hotel kelas rendah tadi.

"Kalo mau, aku bisa bantuin kamu. Nyari pengacara biar masalahnya cepet kelar."

"Nggak usah. Aku bisa sendiri. Untuk yang tadi... Makasih. Aku senang kamu mewakili perasaanku dengan memukulnya tadi."

Aku tersenyum tipis. Cukup aneh mendengarnya tapi wajar bagiku. Seorang wanita jika sudah disakiti. Maka dia bisa lebih berbahaya dari sebelumnya.

"Aku harus pulang sekarang," ucapnya beranjak dari duduknya.

"Biar aku anter."

"Nggak usah."

"Aku tidak sedang meminta ijin. Dalam keadaan seperti ini. Kamu gak bisa pulang sendirian," ucapku yang membuatnya percaya. Padahal aku pikir, itu hanya alibi agar aku bisa memiliki waktu lebih lama dengannya. Ah... Apa aku sudah tidak waras?

Aku menyalakan mesin motor. Ratih naik keatas motor dengan bertumpu pada bahuku.

"Pegangan Tih."

"Ini udah." Aku berdecak. Dia memang pegangan tapi bukan pada pinggang melainkan bahu. Namun untuk menjelaskan rasanya tidak bisa. Aku juga tidak ingin dia berpikir bahwa aku sedang mencari kesempatan disaat seperti ini.

Aku melajukan motor dengan kecepatan seperti biasa. Namun di tengah perjalanan tiba-tiba saja rintik hujan mulai membasahi bumi. Belum deras, namun cukup menimbulkan hawa dingin diantara kami.

"Mau neduh dulu, nggak?" tanyaku sedikit berteriak.

Aku merasakan Ratih memajukan wajahnya kedekat telingaku. Aku tahu terhalang helm namun rasanya... ada debaran yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

"Nggak usah. Cuma rintik doang."

"Oke."

Sialnya sesuai prediksiku. Rintik yang tadinya hanya memercik kini berubah deras dan mengguyur tubuh kami tanpa ampun. Tanpa meminta persetujuan darinya, aku langsung menepi dibawah sebuah atap ruko yang sedang tutup.

"Kita berenti dulu."

Ratih tak menjawab ucapanku. Dia segera turun dan membenahi rambutnya yang sempat acakan dan basah. Ada tetesan air mengalir dari rambut ke wajahnya yang tanpa polesan make up. Bibirnya yang lembab dan sedikit kemerahan bagai bunga yang baru saja mekar. Aku terpaku pada wajahnya. Aku pikir... Dia sexy.

Suasana sekitar begitu hening. Aku pikir karena wilayah ini cukup sepi. Rintik air yang turun dari langit lalu membanjiri beberapa sisi tempat ini.

Keadaanya yang setengah basah membuat lekuk tubuh wanita ini terlihat cukup jelas. Apalagi dia tidak mengenakan kaos dalam hingga warna merah bra yang dia kenakan tampak begitu lekat membingkai dada.

Semilir hawa dingin menciptakan desir aneh didalam dada. Membawa debar yang cukup familiar dalam ingatan. Tatapanku hanya tertuju padanya. Dan aku... Menelan ludah.

Aku segera tersadar. Mengusap wajahku demi menjauhkan segala macam pikiran kotor yang entah mengapa merayap tanpa permisi. Sial!

Mungkin lebih baik, aku tidak menatap wajah itu. Bahkan tatapannya saja mampu melumpuhkan. Seperti tersihir oleh sesuatu didalam dirinya yang rapuh.

"Dingin banget." Aku menoleh saat mendengarnya bergumam. Ratih tidak sedang bicara padaku. Dia memeluk dirinya sendiri dan sesekali menggosok tangannya.

Entah naluri macam apa ini, namun aku tanpa sadar meraih tangannya. Sesekali meniupnya.

"Tih....?" Aku memanggilnya lirih. Pertahananku nyaris runtuh saat ku tatapan wajah sendu itu.

Aku melepas jaketku. Ingin memasangkan padanya namun dia menolak. "Nggak usah. Kamu yang nyetir didepan pasti gak kalah dingin."

"Aku udah biasa. Kamu aja yang pakek."

"Enggak!"

"Pakek ya... "

"Enggak ish!"

Aku diam sejenak. Wanita ini memang keras kepala. "Yaudah aku yang pakek."

"Iya," sautnya tanpa menoleh kearahku.

"Tih.... "

"Ya."

"Aku peluk ya?"

"Iya... Eh?" Saat Ratih menoleh, aku langsung mendekapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status