Share

Bab 3

Adinda sedang membantu memotong sayuran ketika suara berisik terdengar dari ruang keluarga.

“Kak Dindaaaa!”

Hanya berselang beberapa detik Dinda merasakan kedua kakinya dipeluk erat oleh dua orang anak berseragam.

“Hai, Sayang,” balas Dinda riang. Dia meninggalkan kegiatannya dan menurut saat kedua bocah itu menariknya keluar dari dapur.

“Kak, tadi Tasya dapat nilai paling tinggi satu kelas,” kata anak perempuan berkuncir kuda. “Kalau Rasya nomor dua.”

 “Tadi pensil Rasya patah, makanya harus diraut dulu. Jadinya Rasya belum sempet ngisi soal nomor terakhir. Kalau enggak pasti Rasya bisa ngalahin Tasya,” kata anak laki-laki yang dipanggil Rasya.

Anak perempuan itu, Tasya, mencibir tidak terima.

“Sudah, nomor satu sama nomor dua sama-sama hebat,” kata Dinda buru-buru menengahi, kalau tidak bisa berjam-jam mereka akan terus beradu mulut.

“Nanti bantuin Rasya bikin pe-er ya, Kak,” kata Rasya.

“Nanti bacain cerita lagi ya, Kak,” Tasya masih tak mau kalah.

Dinda hanya mengangguk mengiyakan semua permintaan mereka. Dia tak pernah bisa menolak permintaan sepasang anak kembar Sarah yang kini berusia lima tahun. Sejak Sarah mengandung lagi lima bulan yang lalu, Dinda seperti menjelma menjadi baby sitter mereka. Dari membangunkan, bersiap-siap sekolah, sarapan, membuat PR, hingga menidurkan menjadi pekerjaan tambahan Dinda. Lelah memang mengurusi dua bocah super aktif yang energinya selalu meluap-luap. Tetapi Dinda bahagia karena keduanya begitu menyayanginya seperti keluarga sendiri.

“Loh, kok Om Bima udah pulang?” teriak Tasya tiba-tiba ketika mereka melewati kamar Bima. Kebetulan pria itu baru saja membuka pintu kamarnya dengan rambut berantakan khas orang bangun tidur.

“Om Bima!” Rasya berteriak girang lalu melompat ke gendongan om kesayangannya. “Om bawa oleh-oleh nggak buat Rasya?”

“Tasya juga dibawain oleh-oleh kan, Om?” Tasya tak mau kalah dan ikut melompat-lompat minta digendong.

Bima dengan sigap menangkap kedua keponakannya meski wajahnya masih diliputi kantuk. “Kalian kok makin besar makin berisik, sih?” ucapnya pura-pura marah. “Om Bima kan masih ngantuk.”

“Kok Om Bima udah di rumah? Kata Oma, Om Bima pulangnya baru nanti malam.”

“Om tukeran tiket sama temen Om.” Bima menurunkan kedua keponakannya itu lalu berjongkok agar sejajar dengan mereka. “Oleh-olehnya nanti malam ya. Om masih capek, mau istirahat dulu.”

“Nggak mau..”

“Sekarang aja Om...”

“Mau oleh-oleh..”

“Tidurnya nanti aja Om...”

Bima meringis ketika dua bocah itu berteriak-teriak tanpa henti. Kopor yang berisi oleh-oleh masih ada di bawah, karena begitu sampai di rumah Bima langsung menuju ke kamarnya dengan satu tujuan, tidur.

“Sayang, Om Bima-nya masih capek, biar istirahat dulu. Kalian juga harus tidur siang seperti Om Bima. Oleh-olehnya buat nanti malam saja, ya,” Dinda berusaha membujuk anak kembar itu. “Nanti Kak Dinda bacain dua cerita, deh.”

“Yang bener, Kak?” seru Tasya.

“Iya dong, yang penting Tasya sama Rasya nurut apa kata Kak Dinda.”

“Hore..”

“Ayo, Kak...”

“Cepetan...”

 Tasya dan Rasya dengan cepat beralih pada Dinda, menariknya menuju ke kamar mereka. Bima hanya bisa menghela napas lelah. Inilah yang membuatnya pulang diam-diam. Jika mengikuti jadwal keberangkatan tiketnya yang asli, sudah pasti Kartika dan pasukan kecilnya akan menyambutnya di bandara dengan spanduk selamat datang.

Selamat tinggal hidup tenang, batinnya saat matanya menatap Dinda yang dikelilingi si kembar sambil melompat-lompat dan menarik tangannya masuk ke kamar.

Benar saja. Belum sampai satu jam Bima memejamkan mata, pintu kamarnya kembali diketuk. Tanpa dipersilakan Kartika masuk dan menyuruh Bima bangun.

“Apaan sih, Ma?” erang Bima malas.

“Ditunggu Papa di bawah,” ucap Kartika. Sebelum keluar wanita itu berbalik dan mengancam Bima, “Awas, jangan tidur lagi!”

Dengan mata yang masih mengantuk, Bima keluar mengikuti Kartika ke ruang keluarga. Ayahnya, Iskandar, sudah duduk di sana menonton acara berita ekonomi di televisi. Begitu melihat putra kesayangannya itu, Iskandar mematikan televisi dan berdiri menyambut Bima.

“Hai, Pa,” kata Bima sambil memeluk ayahnya.

“Katamu naik pesawat malam, kok sekarang udah sampai?” tanya Iskandar.

“Pesawatnya dimajuin, Pa.”

“Mana ada yang begituan!” Kartika bergabung dengan keduanya di sofa.

Bima hanya meringis. “Gimana kabar Papa? Kalo kabar Mama udah jelas ketauan, keriputnya tambah banyak, tuh.”

“Bima!” omel Kartika tidak terima sementara suaminya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua orang manusia yang paling disayanginya itu bertengkar.

“Karena kamu sudah di sini, kamu bisa mulai bantuin Papa di kantor, Bim,” kata Iskandar serius. “Kamu bisa pakai perpustakaan Papa untuk ruang kerja kamu di rumah.”

“Nggak usah, Pa. Aku mau fokus ngurus kepindahan perusahaanku dulu. Lagipula aku juga nggak akan tinggal di sini lama-lama. Aku udah beli apartemen deket kantor,” jelas Bima.

"Maksud kamu apa mau tinggal di apartemen? Apa bedanya nanti sama kamu tinggal di luar negeri? Mama setengah mati bujuk kamu biar pulang ke sini, eh malah kamunya mau pindah ke apartemen. Apa enaknya tinggal sendiri? Kalo ada apa-apa siapa yang mau bantuin?" Kartika langsung mengomel.

"Justru karena itu, Ma. Di sini berisik, terlalu banyak orang," kilah Bima. Padahal sebenarnya dia tidak lagi ingin diganggu dengan omelan-omelan Kartika tentang pernikahan.

"Mamamu benar, Bim. Tinggallah dulu di sini untuk sementara. Kamu kan baru pulang, masa sudah mau pindah," Iskandar yang biasanya hanya bicara seperlunya ikut menimpali. "Nanti kalau mamamu sudah tidak kangen lagi, baru kamu pindah."

"Ih, Papa kok malah mendukung Bima pindah, sih?" protes Kartika. Tadinya dia sudah senang karena dibela suaminya. Tapi ternyata ia keliru.

"Bima kan laki-laki, Ma. Biar saja kalau memang dia mau tinggal sendiri. Yang penting nggak di luar negeri lagi. Mama kan bisa sewaktu-waktu main ke apartemen Bima kalau kangen."

Bima menatap ayahnya penuh terima kasih. Sejak dulu memang hanya ayahnya yang selalu mendukungnya. Ibunya lebih senang bersekutu dengan Sarah yang sama-sama cerewet. "Nah, bener itu kata Papa."

"Halah, bilang aja kamu mau bebas makanya pindah ke apartemen," cibir Sarah yang bergabung ke ruang keluarga. "Awas aja kalo ketahuan nginepin cewek!"

“Eh, mana boleh nginepin cewek!” protes Kartika. Wajahnya lalu berubah menjadi lebih lembut dan tersenyum. “Mama udah pilihin calon kamu. Namanya Chelsea.” Kartika menunjukkan foto seorang gadis cantik dari ponselnya. “Dia itu dulu satu SD sama kamu. Inget, nggak?”

Bima mendengus. Kepalanya makin pusing, selain karena tidurnya terganggu, juga karena ibunya terus-terusan berusaha membuatnya cepat menikah. Sungguh dia tidak mengerti jalan pikiran Kartika. Untuk apa menikah jika tanpa itupun Bima bisa mendapat apa yang ia mau dari wanita?

Saat itu Dinda masuk menyajikan lemon hangat dan kopi, meletakkan cangkir lemon hangat di depan Kartika dan sarah serta kopi di hadapan Bima dan Iskandar.

"Kenapa, sih, Mama suka banget nyuruh aku nikah? Udah punya cucu dua, masih kurang?" Bima mulai tidak bisa menahan rasa kesalnya. Dia mengambil cangkir kopi yang baru dihidangkan Dinda dan menyesapnya, tapi sedetik kemudian dia meludah. "Ini apaan, sih? Manis banget. Lo bikinin lagi yang baru! Jangan pake gula!"

Dengan gemetar Dinda meraih cangkir dari tangan Bima. "Maaf, Mas. Saya nggak tahu selera kopi Mas Bima, jadi saya samakan dengan punya Bapak."

"Kalau nggak tau tanya dulu makanya!"

"Bima!" tegur Iskandar. "Sejak kapan sikap kamu jadi arogan begini?"

"Pa!"

"Maaf, Pak Iskandar. Saya yang salah. Mungkin tadi saya kebanyakan naruh gula," kata Dinda cepat-cepat, sedikit membungkuk sambil berlalu ke dapur.

Sebenarnya Bima bukan orang pemarah seperti tadi. Urusan kepindahannya dari New York sungguh membuatnya sangat lelah dan stres. Dia harus memindahkan semua pekerjaannya juga, yang tidak gampang mengingat jarak yang terpisah begitu jauh. Belum lagi masalah perizinan dan administrasi lain yang harus dilengkapi. Kepalanya semakin penuh ketika Kartika menunjukkan foto yang diklaim menjadi calon istrinya. Ketidaktahuan Dinda yang sebenarnya tidak bersalah justru akhirnya menjadi pelampiasan Bima.

Belum juga sehari dia di sini, batin Dinda sedih. Belum ada dua puluh empat jam tetapi Bima sudah dua kali memarahinya.

“Kamu kenapa sedih begitu, Nduk?” tanya Bik Sinah yang sedang mencuci piring. “Kok bikin kopi sambil manyun begitu?”

“Mas Bima itu loh, Bik. Aku sudah dua kali kena semprot,” Dinda masih menekuk wajahnya. “Padahal Bu Tika, Pak Iskandar, sama Mbak Sarah tuh baik banget, tapi adiknya galak begitu.”

“Hus! Nggak boleh ngomong sembarangan begitu, Nduk,” nasihat Bik Sinah yang sudah seperti ibu Dinda sendiri. Bik Sinah sudah berusia lima puluh tahun dan pernah menikah tetapi tidak dikaruniai anak hingga suaminya meminta cerai. Saat Dinda bergabung di rumah keluarga Kartika, Bik Sinah menganggapnya seperti anak sendiri. “Kalau Bu Tika dengar gimana?”

Adinda mencibir, masih kesal dengan Bima yang baginya temperamental. “Bik Sinah aja deh yang nganter kopinya Mas Bima, biar aku yang nyuci piring.”

Bik Sinah hanya menggeleng-geleng kepala dengan sabar dan menuruti permintaan Dinda. Dia tahu betul kalau Dinda sebenarnya takut membuat kesalahan lagi dan dimarahi Bima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status