Share

Bab 4

Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.

“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”

“Aahh!”

Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.

“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.

Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”

“Mau dibikinin apa, Mas?”

Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri menghadapi putra kesayangan keluarga Iskandar yang membuatnya darah tinggi. Bahkan Tasya dan Rasya saja masih lebih jelas kalau minta tolong padanya.

“Itu orang satu maunya apa sih? Jam segini masa minta makan? Mau makan apa juga nggak jelas. Ntar aku yang disalahin lagi,” gerutunya sambil memeriksa kulkas, mencari bahan-bahan yang bisa ia olah untuk menuruti keinginan Bima.

Tak lama kemudian Dinda sudah sibuk mengaduk-aduk nasi goreng di wajan. Masa bodoh kalau tidak sesuai selera tuan muda satu itu. Salahnya sendiri tidak mengatakan dengan spesifik apa yang mau dia makan. Jadilah Dinda memasak nasi goreng sederhana, yang hanya bermodal garam, bawang, dan sedikit cabe. Bahan lain pun hanya telur dan sosis yang kebetulan ia temukan di sudut kulkas.

Tok tok tok.

“Masuk.”

Dinda mendorong pintu kamar Bima dengan kakinya karena kedua tangannya membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas air.

“Mas Bima, ini saya bikinin nasi goreng soalnya....”

Kata-kata Dinda tenggelam di tenggorokan saat melihat Bima yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan hanya mengenakan sepotong handuk yang melilit di pinggangnya. Sepanjang malam dia tak bisa tidur karena jetlag hingga akhirnya perutnya keroncongan. Beruntung dia bertemu Dinda di dapur saat sedang mencari-cari makanan.

Tetapi Dinda hanya mematung di depan pintu. Matanya menjelajahi tubuh berotot Bima yang hanya berbalut handuk. Jika bukan karena cahaya yang temaram, Bima pasti bisa melihat semburat merah yang merona di pipinya.

“Kenapa diam di situ? Udah puas liatin gue?”

Teguran Bima membuat Dinda merasa sangat malu karena ketahuan memperhatikan tubuh pria itu. Seumur-umur baru kali ini Dinda melihat tubuh semi telanjang pria secara langsung. Dengan kepala tertunduk Dinda meletakkan nampan di meja.

“Saya bikin nasi goreng, soalnya Mas Bima tadi nggak bilang mau makan apa,” kata Dinda.

Bima hanya mengangguk. Baginya nasi goreng masih lebih baik daripada roti tawar atau sereal dingin. Dengan cepat dia duduk dan mengambil nasi goreng  itu. Tanpa berganti baju lebih dulu. “Nama lo siapa, sih?”

“Dinda, Mas.”

“Umur?”

“Dua puluh tiga, Mas.”

“Udah berapa lama di sini?”

“Tujuh tahun lebih, Mas.”

“Kok gue nggak pernah liat?”

“Saya dulu banyak bantu-bantu di dapur, Mas. Habis Tasya dan Rasya lahir baru saya sering keliling rumah jagain mereka.”

Bima mengangguk-angguk kecil. Dia menimbang-nimbang sebentar sebelum memutuskan untuk meminta maaf. “Yang tadi gue minta maaf, ya. Mama suka banget milihin calon dan nyuruh gue nikah, bikin kepala gue pusing,” katanya beralasan.

“Iya, Mas.” Mana mungkin Dinda tidak memaafkan jika majikannya meminta maaf? Bisa-bisa dia yang malah dipecat dan kehilangan pekerjaan.

Setelah puas karena permintaan maafnya diterima, Bima mulai makan. Lumayan juga rasanya, pikirnya.

“Kalau sudah nggak ada apa-apa lagi saya permisi, Mas,” ucap Dinda yang sedari tadi merasa canggung karena berduaan dengan Bima yang hanya memakai handuk.

“Tunggu sampai gue selesai makan, sekalian nanti lo bawa piring kotornya ke dapur.”

Sungguh malam yang panjang. Bima telah menyuruh Dinda untuk duduk di sampingnya karena di kamar itu hanya ada sepasang sofa dan meja. Dia tak menyadari kecanggungan Dinda karena harus duduk berdekatan dengan pria hampir tanpa busana di dalam kamar.

Berbeda dengan Dinda, Bima justru cuek dan menikmati sarapan dini harinya. Tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun membuat Bima terpengaruh dengan gaya hidup dan pola pikir barat. Dia tidak merasa perlu memakai baju dulu. Bukankah salah satu tujuannya membentuk tubuh berotot agar bisa dilihat orang lain?

“Lumayan, udah lama gue nggak makan nasi goreng,” komentar Bima saat meletakkan piringnya yang sudah kosong ke nampan. Dia meraih gelas dan mengenggak habis isinya. “Tapi jangan terlalu sering , soalnya kalorinya tinggi. Gue jadi harus nambah waktu buat olahraga.”

“Maksudnya gimana, Mas?”

Bima bersandar sambil mengelus perutnya yang rata dan berotot. Mau tak mau Dinda ikut memperhatikan juga. “Perut begini tuh effortnya besar, makanya harus dijaga. Kalo gue tiap malem makan nasi goreng yang ada ini perut jadi bantal. Ngerti?”

“Eh, ngerti Mas.” Dinda buru-buru mengalihkan tatapannya dari perut Bima. “Tapi itu bahannya low calorie semua, kok. Bu Tika selalu bilang harus pakai bahan-bahan yang sehat kalau buat masak. Gulanya juga bukan gula yang biasa, minyaknya pakai olive oil, sayurnya selalu beli yang organik, dagingnya juga yang fresh. Pokoknya bahan-bahannya yang premium, Mas.” 

“Oke, good.” Diam-diam Bima memperhatikan Dinda yang nyerocos membicarakan dapur dan isinya. Gadis itu hanya mengenakan salah satu kaos bekas Bima dan celana pendek yang tersingkap saat duduk hingga memperlihatkan sebagian paha mulusnya. Bima pria normal, yang juga akan bergairah jika melihat lawan jenis dengan tubuh seperti Dinda. Terlebih gadis itu mengenakan pakaiannya, meski sudah bekas. Tetapi hal itu justru menambah daya tarik Dinda di mata Bima. Dia tak keberatan Dinda berbicara selama matanya mendapat asupan menggiurkan.

“Gitu, Mas,” Dinda mengakhiri setelah menjelaskan panjang lebar, yang sebagiannya sudah tidak didengarkan lagi oleh Bima karena teralihkan paha mulus itu.

“Oke.”

Dinda kembali terdiam. Sebenarnya dia lumayan cerewet jika berhadapan dengan Bik Sinah atau si kembar. Tetapi biasanya jika menghadapi anggota keluarga Iskandar yang lain dia akan bicara seperlunya. Dinda mengutuk dirinya sendiri karena merasa sudah terlalu banyak bicara hingga membuat Bima bosan.

“Ya udah, Mas. Kalau tidak ada lagi yang dibutuhkan saya pergi,” pamitnya.

Entah bagaimana, saat melangkah untuk mengambil nampan Dinda justru tersandung sandal rumah Bima yang ada di dekatnya. Tubuhnya limbung, jatuh tepat di atas Bima yang masih bersandar di sofa.

Selama beberapa detik Dinda masih belum menyadari apa yang terjadi. Tubuhnya jatuh menimpa Bima, namun seperti ada yang janggal. Kedua tangan Bima bermaksud menahan agar tubuh Dinda tidak langsung bersentuhan dengan tubuhnya, tetapi justru telapak tangannya menangkup payudara Dinda.

Dinda merasakan getaran aneh saat payudaranya disentuh Bima. Hanya sesaat, tetapi gelenyar asing mengaliri perut bagian bawah Dinda. Begitu menyadari posisi mereka, Bima cepat-cepat melepas tangannya dari payudara Dinda. Akibatnya tubuh Dinda justru langsung terhempas menimpa Bima, hal yang tadinya ingin ia cegah. Tanpa sengaja bibir Dinda menyentuh bibir Bima. Bagai tersengat listrik, Dinda langsung bangkit begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Ciuman pertamanya baru saja dicuri. Tapi apakah itu bisa disebut sebagai ciuman? Bibir mereka hanya bersentuhan selama beberapa detik. Tidak ada kecupan, hisapan, atau gerakan apapun.

“Maaf, Mas....”

“Nggak perlu minta maaf,” potong Bima. “Gue udah tau apa yang bakal lo omongin.”

“Kalo gitu, saya permisi, Mas.” Dinda mengambil nampan dan keluar. Wajahnya panas, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena takut membuat Bima marah, karena jika pria itu marah dia tidak akan setenang itu. Dinda merasa dadanya hampir meledak karena malu. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi Bima lagi setelah pria itu menyentuh tubuhnya?  Dan anehnya Dinda justru merasakan hal tidak wajar saat mengingat sentuhan bibir mereka.

Sementara itu di dalam kamarnya Bima masih duduk di tempat yang sama sejak Dinda keluar. Tatapan matanya tertuju pada telapak tangannya, mengingat kembali bagaimana rasanya saat benda itu berada di genggamannya.

“Shit!” gumamnya, lalu bangkit dan menuju ke kamar mandi. Terpaksa Bima mandi lagi untuk menenangkan tubuh dan pikirannya.

***

Setelah kejadian dini hari itu Dinda mati-matian menghindari Bima. Dia mengarang alasan agar tidak perlu naik ke lantai dua menjemput si kembar. Kalaupun terpaksa, Dinda akan memastikan terlebih dahulu kalau Bima tidak ada di rumah.

“Kamu lagi banyak tugas, Din?” tanya Sarah suatu siang saat mereka sedang mengawasi si kembar berenang di halaman belakang rumah. Mereka duduk di gazebo kayu karena Sarah meminta Dinda untuk memijat bahunya yang tegang. “Sekarang kamu jarang keliatan di rumah. Si kembar sering nyariin kamu.”

Beberapa hari ini Dinda memang sering mengurung diri di kamarnya jika pekerjaannya sudah selesai. Biasanya dia selalu menemani Tasya dan Rasya bermain dan belajar.

“Iya, Mbak. Maaf kalo kerjaan saya jadi keteteran,” ucap Dinda beralasan.

“Nggak apa-apa, Din. Justru kalo nggak sibuk aku curiga, kamu sebenernya beneran kuliah atau enggak,” canda Sarah. “Semester depan kamu udah skripsi?”

Dinda mengangguk, lupa kalau Sarah tak bisa melihatnya. “Iya, Mbak. Ini udah mulai cari referensi, tapi masih belum nemu.”

“Coba tanya-tanya ke Bima, jurusan kalian kan sama. Dia pasti punya banyak referensi.”

“Memangnya Mas Bima mau bantuin saya, Mbak?”

“Ya dicoba dulu aja, minimal kamu bisa pinjam buku-bukunya. Dia itu sebenernya kutu buku loh, Din.”

“Tapi gimana bilangnya, Mbak? Saya takut sama Mas Bima,” kata Dinda pelan.

Sarah terbahak mendengar pengakuan Dinda. “Takut kenapa, Din? Bukan karena dia adikku ya, tapi Bima itu ganteng loh. Kok kamu malah takut, sih?”

Suara ceburan air di kolam renang yang diikuti teriakan gembira Tasya dan Rasya membuat perhatian kedua wanita itu teralihkan. Bima baru saja menceburkan diri bergabung dengan si kembar di kolam renang.

“Panjang umur,” gumam Sarah. “Nanti aku bantu bilang ke Bima kalau kamu mau pinjam buku-bukunya.”

Dinda terpaksa mengiyakan dan berterima kasih. Sejujurnya dia senang karena tak perlu repot meminjam buku di perpustakaan. Tetapi saat ini Dinda masih belum bisa melupakan kejadian memalukan dini hari itu. Pipinya tiba-tiba terasa panas saat melihat Bima naik dari kolam hanya memakai celana renang.

“Bim!” panggil Sarah, menyuruh adiknya itu untuk mendekat ke gazebo.

Entah mengapa debaran jantung Dinda semakin kencang ketika jarak Bima dengannya semakin dekat. Dinda mencurahkan seluruh perhatiannya pada bahu Sarah yang sedang ia pijat, menghindari kontak mata dengan Bima seperti yang selalu ia lakukan beberapa hari ini.

“Kenapa, Kak?”

Tatapan Bima sekilas jatuh kepada Dinda yang menunduk. Sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya untuk sesaat ketika melihat Dinda begitu sibuk menghindarinya.

“Stop dulu, Din.”

Mau tak mau Dinda menghentikan pijatannya dan duduk di samping Sarah yang langsung bergerak memberinya tempat begitu menyuruhnya berhenti memijat.

Bima mengambil handuk dan mengeringkan kepalanya. Dinda sedikit berharap Bima menggunakan handuk itu untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Bima melempar handuknya ke lantai dan menghempaskan diri di depan Sarah, memamerkan otot-otot di dada dan perutnya.

“Gini, Bim...”

“MAMI! RASYA NIHHH!!!”

Ucapan Sarah terpotong teriakan Tasya dari kolam renang, membuat wanita itu buru-buru bangkit untuk melerai kedua anaknya yang tengah bertengkar. “Tuh anak dua emang nggak ada berhenti-berhentinya berantem. Kamu ngomong sendiri dulu aja ya, Din.”

Dinda menatap punggung Sarah yang semakin menjauh dengan tatapan nanar. Tentu saja nyali Dinda tidak sebesar itu.

“Lo mau ngomong apa?” tanya Bima dengan kedua alis yang terangkat.

“Eh... bukan apa-apa, Mas,” jawab Dinda kikuk.

“Tapi tadi Kak Sarah bilang...”

“Om Bimaaaa!!!!”

Tiba-tiba saja Rasya berlari ke arah mereka dengan membawa ember mainannya yang penuh dengan air. Sebelum Bima menyadari tindakannya, dia sudah bergerak melindungi Dinda dari serangan air Rasya. Bima menjadikan punggungnya sebagai tameng, sementara kedua tangannya memegangi bahu Dinda. Wajah Dinda memanas meskipun seharusnya dia merasa dingin karena pipinya menempel di dada Bima yang basah.

“Om balas kamu!” teriak Bima saat Rasya bersorak kegirangan. Dia bangkit dan berlari mengejar bocah itu di sekeliling kolam, meninggalkan Dinda yang masih terbengong-bengong mencerna apa yang baru saja terjadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status