“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”
Dinda yang terkejut hampir menjatuhkan ember yang ada di tangannya. Di depannya menjulang anak laki-laki kesayangan yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Kartika. Lebih tepatnya anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan gagah.
“Saya... ART di sini, Mas,” jawab Dinda terbata.
Bima bersedekap, matanya menatap menilai Dinda. Harus diakui, meski hanya dengan celana olahraga selutut dan kaos kedodoran yang warnanya sudah mulai pudar, Dinda tetap terlihat cantik. Kulitnya langsat dan bersih, berbanding terbalik dengan pakaiannya. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda agar tak mengganggunya saat bekerja. Lekuk tubuhnya tersembunyi di balik kaos dan celana olahraga yang satu ukuran lebih besar dari yang seharusnya.
“ART? Sejak kapan Mama ganti ART?” Ketidakpercayaan Bima semata-mata hanya karena heran ada ART di rumahnya yang secantik ini. Seingatnya hanya ada Bik Sinah dan Bik Yati yang sudah cukup tua, yang ada di rumahnya sejak Bima kecil.
“Saya sudah tujuh tahun di sini, Mas,” kata Dinda takut. Tubuh Bima yang tinggi dan tegap membuatnya terintimidasi. Belum lagi tatapan tajamnya yang terasa begitu mengancam.
Bima menyembunyikan keterkejutannya dengan baik dan tetap menampilkan wajah datar tanpa emosinya. Dia tak menyangka kalau ucapan mamanya yang mengatakan Bima begitu cuek benar adanya. Bagaimana mungkin dia tak mengenali ART yang sudah ada di rumahnya selama tujuh tahun terakhir? Meski lebih banyak di luar negeri, tetapi Bima sudah beberapa kali pulang. Ah, tentu saja. Bima tak pernah ada di rumah lebih dari satu minggu. Dalam waktu itu pun dia banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-teman lamanya. Pantas saja dia tak pernah melihat Dinda sebelumnya. Tanpa sadar matanya kembali memindai Dinda dari atas ke bawah. Saat memperhatikan pakaiannya, Bima merasa ada yang aneh.
“Lo pakai baju gue?” tuduhnya. Bima ingat betul ketika dia membeli kaos edisi terbatas itu saat liburan di Jepang. Dan celana yang Dinda pakai adalah seragam olahraga SMP-nya. “Lo ngambil barang-barang gue selama gue nggak di rumah?”
Selama tinggal di rumah keluarga ini, Adinda tidak pernah sekalipun mengambil yang bukan miliknya tanpa izin. Apalagi barang pribadi tuannya. Dinda selalu berhati-hati untuk tidak menggores piring dan gelas yang ia cuci, atau membiarkan setrika terlalu panas hingga bisa merusak baju-baju mahal Kartika. Kartika dan anggota keluarga yang lain selalu puas pada hasil pekerjaannya. Mereka pun seringkali memujinya.
“Jawab gue! Lo punya mulut kan?”
Adinda tersentak saat Bima membentaknya. Tak ada yang membentak dan menuduhnya mencuri sebelum ini. Kepalanya menunduk begitu dalam menyembunyikan air mata. “Saya nggak mencuri, Mas. Kata Bu Tika ini baju yang sudah nggak dipakai lagi. Jadi daripada dibuang, saya ambil saja,” jelas Dinda dengan menahan tangis.
Ya, Dinda sengaja mengambil baju-baju bekas Sarah dan Bima untuk dipakai kembali. Kartika memang menggaji Dinda dengan layak, tetapi Dinda bersikeras hanya menerima setengahnya saja. Separuh sisanya ia gunakan untuk membayar biaya sekolah dan kuliahnya yang sebenarnya telah ditanggung Kartika dengan senang hati. Uang yang ia terima sebagian besar disimpan agar bisa membeli rumah untuk ditinggali bersama ayahnya. Pakaian bekas Sarah yang bagus dan modis biasanya Dinda pakai saat pergi kuliah, sedangkan pakaian bekas Bima yang kebanyakan adalah kaos dan celana olahraga dia pakai di rumah. Semua itu tentu saja atas izin Kartika.
“Bu Tika juga tahu, Mas. Kalau tidak percaya Mas Bima bisa tanya ke Bu Tika langsung,” kata Dinda lagi.
Bima mendengus kasar. Dia tahu kalau Dinda membawa-bawa nama mamanya berarti memang seperti itu kenyataannya. “Keluar, gue mau tidur dulu.”
“Baik, Mas.”
Dinda cepat-cepat melangkah pergi sebelum Bima menemukan hal lain untuk dituduhkan padanya. Tapi langkahnya terpaksa berhenti saat Bima mencekal lengannya kuat-kuat.
“Dengar dan ingat baik-baik! Gue nggak suka ada orang yang menyentuh barang-barang gue sembarangan. Jadi lo harus hati-hati kalau bersih-bersih! Kalo mau pake baju bekas gue, tanya dulu!”
“I..iya, Mas.”
Adinda sedang membantu memotong sayuran ketika suara berisik terdengar dari ruang keluarga.“Kak Dindaaaa!”Hanya berselang beberapa detik Dinda merasakan kedua kakinya dipeluk erat oleh dua orang anak berseragam.“Hai, Sayang,” balas Dinda riang. Dia meninggalkan kegiatannya dan menurut saat kedua bocah itu menariknya keluar dari dapur.“Kak, tadi Tasya dapat nilai paling tinggi satu kelas,” kata anak perempuan berkuncir kuda. “Kalau Rasya nomor dua.” “Tadi pensil Rasya patah, makanya harus diraut dulu. Jadinya Rasya belum sempet ngisi soal nomor terakhir. Kalau enggak pasti Rasya bisa ngalahin Tasya,” kata anak laki-laki yang dipanggil Rasya.Anak perempuan itu, Tasya, mencibir tidak terima.“Sudah, nomor satu sama nomor dua sama-sama hebat,” kata Dinda buru-buru menengahi, kalau tidak bisa berjam-jam mereka akan terus beradu mulut.“Nanti bantuin Rasya bikin pe-er ya, Kak,” kata Rasya.“Nanti bacain cerita lagi ya, Kak,” Tasya masih tak mau kalah.Dinda hanya mengangguk mengiyakan
Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”“Aahh!”Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”“Mau dibikinin apa, Mas?”Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri mengha
“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.“Iya, Bik.”Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan m
“Iya, Bu?”Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.“Kamu sudah masak?”“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”Kartika menghela napas sambil melihat jam di
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue
Dinda bangun dengan kepala pening. Susah payah dia berusaha mematikan alarm di ponselnya yang berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Dia duduk sebentar, berharap bisa mengusir rasa sakit yang berdentum di kepalanya. Saat melihat ponselnya untuk memastikan waktu, Dinda heran melihat ada banyak notifikasi pesan di sana. Penasaran, Dinda membuka percakapan grup dengan teman-teman kuliahnya.Pesan pertama adalah foto Dinda kemarin di kampus saat dia masuk ke mobil Bima. Di bawahnya ada tulisan dengan menggunakan huruf kapital.“PACAR BARU DINDA, GUYS!!! KEREN BANGET!!!”Dinda terbahak melihatnya. Apalagi saat membaca komentar-komentar balasan teman-teman yang lain.“Gue mau juga dong....”“Yang begitu nyari di mana???”“Mobilnya lebih mahal dari harga diri gue TT”“Dinda pake pelet apaan lo bisa dapet yang begini?”“Lucuuuu... cocok deh mereka : )”Masih ada sekitar tigapuluh pesan di bawahnya tetapi Dinda tidak membacanya lagi. Isinya hampir sama, antara dukungan dan hujatan untuk hubu