Hari berikutnya berlalu dengan keheningan yang nyaris sama. Ketika mengobrol, obrolan mereka tidak penting, dan di tempat tidur, satu satunya suara yang di dengar Citra adalah tuntuntan Anggara dan desahan Citra. Atau suara Citra yang memekikan nama Anggara. Sejak kebohongan yang di buat Citra pada hari itu. Dalam kemarahannya, Anggara selalu membuat Citra menyebut namanya, membuat Citra ingat dalam pelukan siapa dirinya berada. Seolah Citra dapat lupa. Citra tahu bukan hanya kehamilannya yang harus mereka bicarakan, tetapi juga perasaannya pada pria itu. Tetapi ia tidak dapat melakukannya, tidak dapat memaksa diri menghancurkan ilusi terakhirnya tentang pria yang menikah dengannya karena semua alasan yang keliru. Maka ia menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Tetapi, bahkan kecintaannya terhadap seni gagal menghentikannya memikirkannya. Dan alasannya sangat mengerikan. Tanpa mengesampingkan peringatan berulang ulang pada diri sendiri untuk tidak lupa bahwa pernikahan mereka a
Citra duduk di lantai kamar bersandar pada tempat tidurnya, memeluk lututnya yang terangkat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Anggara begitu keras, begitu tidak memahami dirinya. Citra mengusap mata ketika bangkit berdiri dan bersiap ke atas tempat tidurnya. Pasti ada alasan di balik sikap Anggara yang tidak ingin membagi rahasianya kepadanya yang tidak dapat di pahami itu. Pasti ada. Karena jika tidak, tidak ada harapan lagi bagi pernikahan ini. Tidak sama sekali. Tidak peduli apa yang telah di lakukan pria itu dua malam lalu ketika ia menerima panggilan dari Andine, Citra berharap Anggara akan meminta maaf kepadanya. Tetapi pria itu menjalankan aktivitas seperti biasanya seperti tidak terjadi apa pun. "Aku tidak melihat Anggara pagi ini?" Citra bertanya pada bu Ida. "Sepertinya Tuan pergi pagi pagi sekali." Wanita itu menyingkirkan sisa sisa makan pagi. "Jangan khawatir non, Anggara mungkin pergi melihat para petani di perkebunan." Setelah beberapa menit berpikir si
Citra memaafkan sepenuhnya suaminya itu.....Pria itu sudah datang untuk mendukungnya walaupun sudah mengatakan dengan jelas bahwa dia sangat sibuk sehingga tidak bisa hadir. Pasti ada satu hal yang telah terjadi. "Aku melihat seorang investor di sana." Sambil berseri seri Gunawan pamit menemui seorang wanita paruh baya yang berdandan nyentrik.Citra mendongak ke arah Anggara tanpa melepaskan pelukannya. "Kamu datang." Saat itulah ia memperhatikan sudut kaku di rahang pria itu, ketegangan dalam tubuh di tubuh yang menempel dengannya. Senyumannya memudar."Apa yang telah kamu lakukan ,Citra?" Nada kemarahan terdengar dari nada bicaranya. "Di mana pria itu?""Siapa?" Harapan Citra seketika sirna.Ekspresi Anggara seketika menjadi muram."Rosie menangis histeris. Dia meneleponku dan memohon agar aku memintamu tidak mencuri suaminya."Citra merasa wajahnya menjadi pucat."Kurasa itu jawaban pertanyaanku mengapa kamu mau bersusah payah untuk datang kesini," hatinya terluka, tulangnya teras
Bahu Andi menjadi kaku karena terluka, tetapi kekecewaannya tampaknya membuat ia tidak ingin menerima kenyataan."Kamu mungkin tidak mencintaiku, tetapi kamu tidak mungkin mencintai pria itu,kan?" Andi menjulurkan jari telunjuknya ke arah Anggara.Jantung Citra berdetak kencang."Itu urusanku dengan suamiku. Kamu tidak punya hak menanyakan hal seperti itu kepadaku." "Citra?" Sorot mata Andi memohon, benar benar tidak percaya dengan semua ini."Pulanglah, Andi, aku mohon padamu, pulanglah sebelum kamu kehilangan Ellie juga!" Karena Citra merasa pria muda itu sudah kehilangan persahabatannya. Bagaimana mungkin Citra dapat menghargai seorang pria yang mengabaikan segala sesuatu yang di katakannya.Begitu pria itu mulai tenang dan menyadari keadaannya, Citra ingin berpaling. Andi tidak memberinya kesempatan, dan langsung pergi meninggalkan pasangan itu tanpa mengucapkan selamat tinggal.Citra merasa sangat terluka dan sedih. Bocah laki laki kecil yang dulu sangat nakal, tapi tidak pernah
Citra ingin sekali memeluk suaminya. Tetapi apakah Anggara menerima ketulusan itu? "Kebakaran mobil itu di nyatakan sebagai kecelakaan murni oleh pihak kepolisian." "Pada saat itu orang orang penting di kota itu merupakan teman teman baik keluargaku. Mereka memutuskan untuk tidak mencari kebenaran yang sesungguhnya, karena itu akan membuatku semakin hancur, jadi mereka menguburnya dalam dalam. Tapi pada usiaku yang ke tujuh belas tahun, aku memaksa mereka memastikan apa yang telah ku ketahui selama ini." Tertegun oleh apa yang baru saja di dengarnya dari pria yang memeluknya, sesuatu yang menjelaskan pria seperti apa suaminya ini, Citra mencoba mencari kata kata yang tepat untuk tidak menyinggung perasaan Anggara. "Kamu tidak sama seperti ayahmu, kamu pria yang baik." "Cukup Citra," Anggara membelai rambut Citra dengan dagunya dan mencium lembut kulit tengkuk lehernya."Aku tidak ingin membahas hal seperti ini lagi." Sambil membalikan tubuhnya dalam pelukan Anggara, Citra memb
Anin benar. Ia berusia sepulub tahun ketika emosi di dalam darahnya seakan hangus akibat kematian orang tuanya yang mengerikan, dan ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Tidak demi anin,wanita yang sekarang di cintainya. Dan tidak demi siapapun. Anin seharusnya tahu akan hal itu ketika menikah dengannya,jadi kenapa sekarang wanita itu begitu terkejut? Sambil menolak untuk menyerah pada dorongan untuk memukul seseorang atau sesuatu,tuan evan meraih handphone yang ada di atas meja dan menekan layar di depannya." Lilie?" Tuan evan mendiamkan bagian dari pikirannya yang menanyakan mengapa ia melakukan hal itu. "Hai,kakakku tersayang." Suara lilie begitu merindukannya.Walaupun dia sangat jarang menerima telepon dari kakaknya itu. "Ada apa tiba tiba meneleponku?" "Aku butuh bantuanmu...." Anin begitu marah terhadap suaminya sehingga ia mengunci kedua pintu kamarnya. Meskipun dengan semua kesulitan yang mereka hadapi selama ini. Ini pertama kalinya ia melakukan hal tersebut. Ia
Citra benar. Ia berusia sepuluh tahun ketika emosi di dalam darahnya seakan hangus akibat kematian Ayahnya yang mengerikan, dan ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Tidak demi Citra, wanita yang sekarang di cintainya. Dan tidak demi siapapun. Citra seharusnya tahu akan hal itu ketika menikah dengannya,jadi kenapa sekarang wanita itu begitu terkejut?Sambil menolak untuk menyerah pada dorongan untuk memukul seseorang atau sesuatu, Anggara meraih handphone yang ada di atas meja dan menekan layar di depannya. "Robert?" Anggara mendiamkan bagian dari pikirannya yang menanyakan mengapa ia melakukan hal itu."Hai, Anggara. Sudah lama kamu tidak meneleponku." Suara dari ujung telepon terdengar begitu antusias. "Ada apa tiba tiba meneleponku?" "Aku butuh bantuanmu...." Citra begitu marah terhadap suaminya sehingga ia mengunci kedua pintu kamarnya. Meskipun dengan semua kesulitan yang mereka hadapi selama ini. Ini pertama kalinya ia melakukan hal tersebut. Ia tahu mungkin Anggara m
Minggu berikutnya berlalu dalam kebahagian. Anggara bukanlah pangeran tampan, tetapi pria itu memiliki cara tersendiri untuk meluluhkan hati wanita ketika ia memutuskan untuk tersenyum. Dan dia banyak tersenyum belakangan ini. Jadi ketika Citra tidak sengaja bertemu dengan Tomi di supermarket di kota batu, ia merasa luar biasa bahagia sehingga lupa pada kesulitan pria muda itu.....lupa akan hukuman yang telah di berikan Anggara padanya. Kepraktisan kejam yang mungkin merupakan bagian sifat suaminya, tetapi sangat menyakitkan bagi Citra untuk menganggap suaminya sebagai seorang yang tidak bisa memaafkan dan sangat tidak berperasaan. Ketika ia hendak menghindar dan pergi, Citra di kejutkan oleh sapaan yang di teriakan Tomi. Sambil melangkah mendekat, Citra tersenyum kepada pria itu dan gadis kecil yang di gendongnya. "Hallo." "Ini Margareth, putriku," Tomy menjelaskan, seolah takut Citra tidak mengingatnya."Senang bertemu denganmu, Margareth. Ayahmu menceritakan banyak hal tentang