"Kamu tolong minta orang hotel untuk bersihin kamar saya," ujar Ryu pada Rara yang tertatih mengejar langkah lebarnya.
"Layanan kamar ya Pak?" tanya Rara memastikan. Ryu mengangguk, "Pastiin pas kita balik ke sini, kamar saya sudah dibersihkan!" ucapnya. "Siap Pak!" sahut Rara reflek mengangkat tangannya memberi hormat, mencipta ekspresi jijik dari Ryu. "Sebentar saya ke resepsionisnya Pak," tambahnya buru-buru berlalu dari hadapan Ryu. Meninggalkan Ryu yang memilih duduk di sofa tunggu, Rara mendekat ke meja resepsionis. Langkahnya tampak ringan, wajahnya ceria, seakan tanpa beban. "Azura ketua OSIS kita!" sambut seorang resepsionis yang berdiri paling tengah, senyumnya tak ramah, cenderung meremehkan. Dahi Rara mengerut, mengingat lagi, siapa gerangan sosok ini. Lantas, senyumnya melebar saat potongan memori masa SMP-nya melintas di kepala. "Yanda anak 9A ya!" tebak Rara. "Ih, inget yaa?" tukas perempuan bernama Yanda yang bekerja menjadi staf hotel itu. "Nggak bener dong kata orang-orang kalau kamu lupa ingatan? Bohongan ya berarti kabar itu, biar kamu nggak jadi bahan olokan gitu?" tembaknya menohok. Seketika wajah Rara tampak pias. Berulang kali pun ia berusaha memahami yang dikatakan oleh Yanda, akhirnya Rara gagal. Arah pembicaraan Yanda tak mampu diikuti Rara, terlalu terpotong-potong dan terkesan menuduh, memojokkan. "Ah, nggak ngerti ya? Atau pura-pura nggak ngerti karena udah kepergok aku di sini langsung? Bener ya berarti kata Bu Endah kalau kejadian waktu itu bikin kamu stress dan akhirnya kamu jadi simpanan orang-orang pabrik?" cerocos Yanda tanpa filter. "Simpanan orang pabrik? Maksudnya apa?" tanya Rara tak mengerti. "Set—" "Anda staf tetap di sini kan?" Ryu tiba-tiba mendekat, memotong ucapan Yanda dalam ekspresi wajah yang sangat tidak bersahabat. "Kami tamu dan seharusnya Anda tidak mengusik kami!" tandasnya. "Ah, mohon maaf Pak. Ini hanya bentuk keakraban karena saya dan Azura dulunya satu almamater," ujar Yanda mencari alasan, ia tidak tahu siapa Ryu dan bagaimana hubungannya dengan Rara. "Senang rasanya bisa melihat mantan ketua OSIS kebanggaan kami baik-baik saja dan sepertinya bahagia menjadi pemberi kepuasan untuk orang lain," sindirnya sangat tidak sopan. Ryu menampilkan senyum miring, ia lirik Rara sebentar, "Kepuasan?" tanyanya lalu menatap tajam pada Yanda. "Jujur, Azura memang sangat memuaskan!" desisnya penuh penekanan. Tak lagi memiliki keinginan untuk mendebat Yanda, Ryu meraih jemari Rara dan digenggamnya erat. Ia tarik perempuan lugu di sebelahnya untuk melangkah, pergi tanpa sempat meminta layanan kamar seperti niatan sebelumnya. "Sialan!" sungut Ryu begitu tersadar ia menggenggam jemari Rara cukup kencang hingga pemiliknya meringis menatapnya heran. Buru-buru ia lepaskan genggaman itu sambil memalingkan wajah ke arah berlawanan, takut diserang rasa canggung yang asing. "Kami satu SMP dulu, Pak," ungkap Rara seraya masuk ke dalam mobil, mendinginkan atmosfer. "Saya nggak peduli," gumam Ryu. Ia lajukan mobilnya meninggalkan halaman hotel, menuju rumah makan di mana ia dijadwalkan bertemu dengan kolega perusahaan. "Saya cuma takut Pak Ryu dikira orang nggak baik sama Yanda," ucap Rara lirih. "Semenjak saya kecelakaan dan kehilangan separuh ingatan saya, orang-orang yang dulunya saya kenal cukup baik, berbalik menghujat saya. Bahkan, sama Yanda ini saya nggak begitu akrab. Saya bingung deh Pak, apa sebelum saya kecelakaan, saya jahatin banyak orang ya Pak?" "Mana saya tau! Kenapa nanya begitu ke saya? Emang saya temen sekolah kamu apa!" dumal Ryu. Rara membuang napas kasar, salahnya juga, ia tak perlu memberi penjelasan apapun pada Ryu. Namun, sikap gentle yang Ryu tunjukkan pada Yanda tadi cukup menghangatkan hatinya. Sejenis act of service dari Tuan Tanpa Senyum yang sangat di luar dugaan. ###"Lakukan! Coba laporin aja, saya nggak peduli! Biar mati sekalian aja mertua nggak bergunamu itu!" sentak Bu Endah berusaha keras untuk tak terlihat terdesak oleh ancaman Ryu. "Keadaan berbalik Bu, Ayah masuk rumah sakit begini, bukan disengaja dibikin sakit sama Bu Endah kan?" "Gila kamu!" cerca Bu Endah segera beranjak pergi, tak mau semakin dibuat panik oleh Ryu karena perbuatannya sendiri. Ryu tak lagi mengejar Bu Endah, ancamannya sudah pasti membuat ibu tiri Rara itu cukup terdesak sekarang. Setelahnya, ia memilih untuk membelokkan arah langkahnya ke bagian pelayanan terpadu, mengurus administrasi Pak Darwis. Namun, belum juga Ryu mencapai ruangan yang akan ia tuju, Rara nampak berlari tergesa dari kejauhan, mendekat ke arahnya. "Kenapa? Ayah mau dicariin makan?" sambut Ryu polos sekali. Rara menggeleng keras, ia terlihat berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh. Ingin memeluk suaminya, ia masih sadar bahwa mereka ada di ruang publik. Jadi, alih-alih meraun
"Maaf ya Mas, aku tiba-tiba ngajak balik kebun mendadak gini," kata Rara gelisah. Ia dan Ryu baru saja turun dari tangga pesawat sesampainya mereka di bandara H. Asan, Sampit. "Nggak pa-pa, ini juga penting, aku tau kamu khawatir," jawab Ryu tak keberatan. Pagi tadi, saat Rara baru selesai menunaikan ibadah salat subuh, Bu Endah menghubungi. Membutuhkan sekitar 8 kali panggilan baru Rara bersedia menerima dan berbicara dengan Bu Endah di seberang. Pak Darwis dilarikan ke rumah sakit pada pukul dua dini hari sebelumnya karena muntah dan kejang. Meski sudah tidak ingin peduli, Rara tetap merasa khawatir karena ia tahu sekali bagaimana sikap Bu Endah. Jadi, ia memberanikan diri untuk mengajak Ryu pulang ke Sampit demi melihat kondisi sang ayah. "Kita langsung ke rumah sakit aja, Mas Jaka," pinta Ryu pada sang sopir pribadi yang sudah standby di parkir bandara. "Siap Pak!" sahut Jaka seraya melajukan mobil milik Ryu itu meninggalkan pelataran bandara. Walaupun tidak mengungkap k
"Ya udah, maaf ya. Harusnya aku pura-pura nggak kenal aja ya tadi?" sebut Ryu. "Iya." Ryu tersenyum. Rara ketika cemburu jauh lebih menggemaskan dan imut. Begini saja sudah sangat menghibur Ryu yang jika ditanya, ia tak akan bisa berpindah ke lain hati, hanya ada Rara di hatinya. "Mau ke ruangan Papa lagi?" tawar Ryu, bermaksud merubah mood istrinya yang sedang kesal. Rara menggeleng, "Mau pulang. Aku minder di sini," tukasnya mengamati tubuhnya sendiri. "Kamu cantik, luar biasa, nggak ada yang bisa nandingin cantikmu," puji Ryu tulus. "Serius? Pake sandal selop kampung begini? Mas bandingin coba sama si Helena yang pake highheels tadi. Timpang nggak kalau aku di sebelah dia?" "Timpang karena kamu istriku, calon nyonya CEO perusahaan sedangkan dia cuma karyawan. Kamu yang bakalan punya kuasa." "Mas! Ayolah!" desis Rara geregetan. "Gim
"Kamu kerja di DC?" tanya Ryu tak percaya, ia amati lanyard yang tergantung di dada Helena. "Iya Kak, aku manajer purchasing yang baru," jawab Helena sumringah. "Oh," Ryu manggut-manggut. "Selamat datang di Dhanapati," sebutnya ramah. "Makasih Kak," ucap Helena. "Aku denger kamu di Kalimantan kan? Atau sekarang udah ke sini lagi?" tanyanya. "Iya, aku pegang kerjaan di sana, ini cuma lagi liburan aja. Ah, istriku," tunjuk Ryu pada Rara yang sejak tadi hanya diam, memperhatikan suaminya mengobrol asik dengan perempuan lain di depannya. "Ah, hai, Helena!" sapa Helena mengulur tangan untuk bersalaman. "Azura," sambut Rara tersenyum. Ia jabat tangan Helena sekejap. Sebenarnya, Rara tak perlu merasa cemburu, toh, Ryu sudah menjadi miliknya. Namun, tampilan Helena yang jauh lebih modis, cantik, ceria dan memikat itulah yang membuat Rara terbungkam. Helena juga tampak akrab dengan Ryu, membuat atmosfer di sekitar mereka tampak tak lagi terlihat. "Helena ini, adek kelasku pas SMP, Say
"Kamu serius masih mau jadi PA di sini? Padahal sebagai Nyonya Ryu, kamu bisa duduk santai di rumah," kata Ryu sembari berdiri. Ia melambai pada petugas kantin untuk memasukkan pesanannya dan Rara ke dalam tagihan pribadi. "Aku kebiasa kerja Mas. Kalau cuma diem di rumah, pikiranku sering kosong, takut kesurupan masa lalu lagi," bahas Rara masuk akal. Ryu tertawa, ia menyulut lagi sebatang rokok baru, diselingi menyesap es kopi favoritnya. "Kenapa Mas? Kualifikasiku nggak pantes ya buat jadi PA CEO di DC?" gumam Rara tersadar. "Aku yang cuma lulusan SMA pun persamaan paket C ini?" tanyanya rendah diri. "Hei, kok mikir gitu, aku sama sekali nggak mempermasalahkan soal kualifikasi pendidikan kamu, Azura." "Tapi aku sadar diri," sambar Rara. "Aku kuliah dulu aja di sini, boleh?" Mata Ryu membulat tak percaya, "Kamu serius?" tanyanya meyakinkan sang istri. "Aku nggak mau orang-orang mandang jelek Mas Ryu. Masa istri CEO cuma lulusan SMA persamaan. Maksa banget jadi PA juga.
"Ayah nggak bisa ceraiin Bu Endah karena adek kamu. Menurutku masuk akal sih," ucap Ryu setelah menerima telepon dari Pak Darwis yang tak mau diterima oleh Rara. "Kasian Hera," sebutnya. "Salah nggak ya Mas kalau aku nggak bisa maafin Bu Endah? Atau aku masih marah sama Ayah?" tanya Rara gusar. "Wajar kok, aku nggak nyalahin perasaan kamu," jawab Ryu sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. "Sebenernya aku kasian sama Ayah. Udah tua, tapi musti nyukupin kebutuhan Hera dan Ibuk. Kadang aku pengin ngirim uang, tapi aku takut uangku disalahgunain lagi sama Bu Endah," desis Rara. "Menurutku, kamu nggak perlu lagi ngerasa harus bertanggungjawab. Ya oke, soal Pak Darwis, itu kuambil alih, biar aku yang cukupi kebutuhannya," ucap Ryu baik hati. "Enggak gitu Mas, Mas kan malah yang jadi repot. Aku sayang sama Hera, ada darah Ayah yang ngalir di tubuh kami berdua. Tapi kalau Ibuk, aku nggak bisa maafin dia," ucap Rara parau, serasa air mata hampir lolos jatuh ke pipinya. "Kamu mau B