Kalau bicara tentang cinta, gue layaknya bocah ingusan dilepas sendirian negeri antah berantah. Kemana dan bagaimana gue harus mencari cinta? Tanyakan saja sekalian bagaimana alam semesta tercipta, gue sama butanya. Kepada siapa gue harus mencari jawab?
Ah bodoh sekali! Ayahanda dan ibunda tentu paham tentang cinta. Mereka pelaut kawakan yang telah mengarungi lautan rumah tangga bertahun-tahun, dengan bapak sebagai kapitan gagahnya dan ibu mualim-nya. Bahkan saking cintanya, dua tahun lalu mereka sempat merapat ke dermaga pengadilan agama, tempat orang-orang baris-berbaris untuk pecah kongsi.
Ibu menggugat cerai bapak.
Kala sidang dibuka dan Majelis Hakim berkata, “Bla..bla… [Nama ibu] sebagai penggugat MELAWAN [Nama bapak] sebagai tergugat…,” gue merasa pengadilan ini berubah menjadi ring tinju.
Ibu menangis tersedu-sedu. Berulang kali ia mengusap matanya yang basah. Kalau orang luar melihat pasti mereka akan memicingkan mata, mencibir, menghakimi bapak, suaminya pasti main dengan perempuan muda. Ia mengkhianati istrinya. Kasihan.
Pengadilan tak serta merta mengabulkan sebuah gugatan. Masih ada sesi mediasi yang berupaya untuk merujukkan rumah tangga yang retak.
Di depan seorang mediator, ibu menyampaikan alasan ia ingin bercerai, ia merasa sebagai seorang istri sudah tidak dicintai lagi oleh suaminya. Bapak cemberut dan berkata, “Kau sudah gila!” Ibu makin meraung dikatai gila. “Laki-laki tak bertanggung jawab tak bisa menghargai istri!” balas ibu sesenggukan.
Ego bapak makin terinjak. Ia merasa difitnah. “Aku telah memberikanmu segalanya untuk membahagiakanmu, kau yang tak pernah merasa cukup!”
Ibu menjawab, “Saya akui dia memang bekerja keras, tapi saya juga bekerja keras, tak pernah kau menghargai aku. Kau terlalu sibuk, selalu sibuk dan sibuk lagi supaya bisa berduaan dengan sekretarismu.”
“Lihat kan pak, perempuan ini gila. Dia mengarang-ngarang akan perselingkuhan yang tak pernah ada. Silahkan cek hape saya, kalau ada bukti chat yang tak pantas antara saya dengan wanita lain, saya akan kabulkan gugatan cerai istri saya.”
“Pintar kau mengubur bukti. Tapi aku ada bukti foto kau makan siang dengannya!”
“Lah itu kan masalah kerjaan, kami harus buru-buru ke tempat klien. Untuk mempersingkat waktu kami makan bersama.”
“Alasan!”
“Aku bangunkan kau rumah impian kita, aku belikan kau mobil, aku bawa kau dan anak kita liburan bersama ke tempat-tempat yang indah, aku belikan kau perhiasan. Inikah balasannya? Kau gugat aku cerai!? Dasar istri tak tahu terima kasih!”
“Kau yang tak tahu berterimakasih, aku memasak untukmu, mengurus rumah, mengurus anakmu, tak pernah kau bilang terima kasih, tak pernah menghargai. Kamu pulang, makan, terus tidur begitu saja. Kalau ngomong bicaramu cuma hemmm… hemmm…. Bilang sayang saja tak pernah. Cintamu sudah luntur! Main gila saja sana kau dengan sekretarismu!”
Sang mediator tiba-tiba berdiri dari kursinya. Matanya memandang tajam ke ibu lalu ke bapak. Kemudian dia keluar dari mejanya, mendekati ibu dan melakukan sesuatu yang menggemparkan rimba persilatan. “Plak!” Ia menampar pipi ibu. Semua orang tercengang. Why? Jangan-jangan dia seorang misoginis, kaum patrialis pembenci kaum hawa.
Kapitan gagah itu langsung berdiri, tak terima mualimnya diperlakukan seperti itu. Ia langsung mencengkram kerah sang mediator dan mengangkatnya, sampai kepalanya hampir masuk ke dalam lubang leher kemejanya.
“Suami tolol! Tak berguna!” maki sang mediator, lalu menampar bapak juga. “Plak!” Rimba persilatan makin goncang. Ibu tak terima suaminya dikata-katai dan ditampar dengan sengit ia berkata, “Jangan ngomong sembarangan ke suami saya ya! Dia laki-laki yang baik, bapak keliru!”
Kalimat itu langsung membuat semuanya terdiam dan hening.
“Kalau dia laki-laki yang baik, kenapa Anda minta cerai?” tanya sang mediator. Di saat itu tingkap-tingkap langit terbuka, menurunkan hidayah. Bapak dan ibu seperti tersambar petir dan tersadar. Ternyata mereka masih saling mencintai, yang mereka butuhkan hanyalah musuh bersama.
Sang mediator tersenyum dan menenangkan bapak, “Saya hanya sedang menguji kalian. Bisa tolong lepaskan kerah saya?” Keduanya bingung. “Duduk, duduk, mari kita bicara dengan kepala dingin.” Ketiganya kembali ke kursi masing-masing.
“Saya melihat permasalahannya. Bahasa cinta kalian yang berbeda. Bapak ini bahasa cintanya adalah action. Itu cara dia menunjukkan cinta kepada pasangannya. Tapi ibu bahasa cintanya adalah afirmasi, ingin mendengar kata-kata penghargaan. Sehingga meskipun bapak menunjukkan cintanya sebesar gunung, rasa cinta itu tak tersampaikan. Saran saya, bapak mulailah mengungkapkan cinta dengan cara yang dimengerti oleh istri bapak. Berikan dia pujian, akui hasil kerjanya, puji kecantikan dia, gunakanlah kata-kata. Dalam perihal istri bapak words are louder than action. Paham?”
Akhirnya bapak dan ibu tak jadi bercerai. Keduanya malah semakin lengket. Kadang keromantisan mereka terasa menjijikkan, membuat gue menggelinjang. Apalagi saat bapak mengucapkan kata-kata cinta ke ibu, gue merinding, seperti saat sepatu gue menginjak tai kucing. Gue tes cara bapak merayu, brrrrr… bulu kuduk gue berdiri. Tapi mungkin itukah cinta?
Baiklah gue akan mencoba meminta nasihat dari mereka. Daripada gue belajar dari film drama Korea atau sinetron FTV yang penuh daya halu menyesatkan. Lebih baik dari kedua orang tuaku, pelaku kehidupan yang nyata. Pastilah gue akan lebih sukses. Maka pergilah gue ke mereka untuk mendapatkan petunjuk. Akan tetapi gue segera tersadar, bahwa gue telah melakukan kesalahan sangat fatal.
“Pacaran? Tidak ada kata pacaran sampai kamu lulus kuliah!” kata nyokap gue tegas. Statement itu pun didukung oleh bokap. Ternyata mereka penganut education first, love one hundredth lah (Pendidikan yang terutama, cinta urusan belakangan). Bahkan ibu gue sudah memberikan kode peace. Bukan maksudnya mengajak berdamai, karena ujung dua jarinya itu ia dekatkan ke matanya, lalu ia arahkan balik ke mata gue. Yang artinya, ibunda akan mengawasimu.
Wah, ini alamat jalan belakang. Bagaimana gue bisa mendapatkan kontrak eksklusif, kalau gue gak boleh pacaran untuk memahami intrik-intrik cinta? Kepada siapa lagi gue akan meminta nasihat cinta?
Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti
Cahaya kuning lampu penerangan di depan tembok sekolah menerangi wajah para orang tua murid. Semuanya tertekuk berlipat-lipat. Mata mereka tertuju kepada anak-anaknya. Jika setiap pasangnya dapat ngomel pasti bunyinya, "Huh, bukan sekolah yang baik, malah berulah." Apakah ini momen anak dan orang tua akan bersitegang?Sementara bapak kepsek mondar-mandir. Raut mukanya terlihat very serius, ia berkata, "Bapak sudah mengantongi identitas dari setiap kalian. Y, Meganathan, Tuhan, dan Donworri. Oh ya, dan Pildo sepertinya ia sudah tidak bersama kalian lagi..."Nama-nama para nakama terdengar aneh di telinga gue. Apa yang dipikirkan para orang tua ketika memberi nama anaknya. Mungkin om da
"Apah salah?!""Iya, salah.""Yang bener!?""Beneran!""Itu tidak mungkin!""Jangan kayak sinetron, kak!" kata si nomor satu menempelkan map terbuka itu ke wajah gue.Gue baca isinya untuk memastikan. Ternyata benar. Isi map ini tentang proposal kegiatan ekstrakurikuler siswa, dan bukan daftar absen!"Astaga…!" Gue menepuk jidat. Gue langsung tepar, nyawa serasa melayang keluar lewat mulut. Seluruh sendi dan tungkai lunglai tak bertenaga. Penis pun rasanya jadi impoten. Tadi tak sempat gue periksa, karena terburu-buru. Sia-sia semua perjuangan gue yang mempertaruhkan reputasi cucu dan cicit gue.
Demi para nakama gue akan melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Jika sampai ketahuan, nama baik tujuh turunan akan hancur berantakan. Cucu cicit gue pasti akan mukul-mukul foto gue pakai bakiak dan berharap mereka bisa masuk ke rahim ibu mereka dan kembali menjadi sperma dan sel telur.Di kelas yang kosong itu gue buka tas-tas yang nampak seperti tas perempuan. Umumnya yang banyak gantungan pernak-pernik, warna-warnanya cerah dengan corak-corak gambar yang cute. Ih, gue merasa seperti kriminil, tapi ini demi teman-teman seperjuangan. Gue bongkar isinya dan gue ambil BH dan celana dalam ganti yang gue temukan. Wuohoo…. gue seperti menjelajah dunia lain. Aduh, hidung kenapa jadi m