Share

3 - Perjuangan Mencari Sang Guru Cinta

Dari daftar orang yang gue kenal, ada satu yang pasti bisa membantu. Dia orang terkenal, lebih terkenal dari Iko Uwais. Semua orang di RT gue dan RT sebelah tahu siapa dia. Dia seorang CEO yang terpandang. Namanya Mang Oja, CEO keamanan alias satpam lingkungan. Tiap orang yang lewat memandang kepadanya, mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam. Dan dia selalu menyambut sapaan itu dengan senyuman tanpa lelah. 

Tiap pagi, jika tidak siang dan malam kerjaan sang jawara cinta selalu menggoda asisten rumah tangga yang cantik-cantik, yang hilir mudik melewati pos jaga. Kebetulan pos itu berdiri strategis di jalan utama dan banyak asisten yang harus belanja ke pasar dan keperluan lain. 

Pandai sekali dia memikat gadis-gadis itu. Khazanah rayuan seluas perpustakaan legendaris Alexandria di Mesir. Gombalannya sering membuat wanita mengeluh, “Iiih, Mang Oja…!” tapi kemudian berlalu sambil senyam-senyum senang dengan wajah memerah. Hanya dengan mbok tua dan lekong saja, ia bersikap profesional. 

Mang Oja seorang womanizer, playboy, player, fakboi, petualang cinta atau apalah. Meskipun para majikan sudah memperingati asistennya untuk berhati-hati terhadap satpam satu itu, tetap saja tak sedikit yang kecantol. Warga sekitar sebenarnya agak resah dengan pria kepala tiga itu. Karena dia seperti kucing oyen liar yang grasak grusuk dengan kucing betina muda piaraan orang. Takutnya ada yang berakhir bunting. Namun tak ada yang berani memecatnya, bahkan malah respect padanya. Sebab pandai sekali dia menangkap tikus alias maling. Larinya cepat dan orangnya pemberani. Sudah beberapa kali rumah warga kena garong. Malingnya kabur, tapi selalu berhasil dikejar oleh Mang Oja. Meski dikeroyok tiga orang dengan celurit, tak gentar dia melawan, walau berakhir di rumah sakit dengan luka sabetan. Tetapi bekas luka itu justru jadi kebanggaan yang sering dia pamerkan, terutama bekas luka di wajah yang melintang dari kening ke pipi kiri melewati matanya. Baginya itu tanda kepahlawanan.

Sore hari gue putuskan untuk mendekatinya. Gue beli es kelapa dekat rumah sebagai pelicin untuk calon guru. Bukan yang model oplosan yang kalau tanpa gula, tak ada rasa. Gue beli yang seratus persen murni, dan bukan kelapa biasa, melainkan kelapa ijo. Kelapa termahal di antara jenis kelapa. 

“Mang,” sapa gue. 

“Ada apa bos?”

“Sudah sore, pasti haus kan. Es kelapa buat emang.” 

“Wih, mantap, bos, tumben ada yang ngasih minuman,” katanya menerima pemberian gue. Ia membuka ikatan karetnya, lalu menyedotnya dalam-dalam pakai sedotan. “Aaaahhhhh…. dahaga aing hilang. Terima kasih bos, air kelapanya seger.” Dia sedot beberapa kali lagi menikmatinya. Gue perhatikan airnya turun sampai setengah kantong plastik. Sesudah sogokan gue lewat kerongkongannya, masuk hingga ke usus dua belas jari dan tak mungkin lagi dia muntahkan, calon murid mulai menyampaikan niatnya kepada calon guru.  

“Mang, aku mau minta tolong.”

Mang Oja langsung berhenti menyedot minumannya. Bibirnya icip icip sisa air kelapa di bibirnya. “Mau minta tolong apa, bos?” tanyanya dengan nada sedikit menyesal setelah tahu ada udang di balik batu. 

"Ajari saya cara mendapatkan cewek.”

“Hah? Halah mau buat apa, belajar saja lah kau baik-baik di sekolah, biar kelak tak jadi satpam seperti aing,” jawabnya sambil menyelepet burung gue. Gue terbungkuk refleks meng-cover kemaluan gue seperti pemain bola waktu tendangan penalti. Mungkin dia pikir gue ini macam dogi sedang birahi di musim kawin, mencari betina buat pelampiasan. Diselepet buat menurunkan tensinya. Atau sekedar sengaja mengusir gue. 

“Bu...bukan gitu, mang. Ini buat riset.”

“Riset apa? jangan bohong kau! Baru kali ini aing dengar orang cari cewek buat riset.”  

“Beneran, mang. Aku mau nulis novel cinta. Tapi aku buta tentang cinta. Jadinya novelku serasa coklat campur terasi. Gagal terus aku untuk mendapat kontrak eksklusif dari penerbitku,” jelas gue berharap dia mengerti, merasa iba, atau menangis bila perlu. 

“Begini ya, bos, apa pun alasanmu, tak bisa aing beritahu rahasianya. Ini warisan leluhur, diturunkan turun temurun hanya kepada garis keturunan.”

“Ayolah, mang, bantu aku,” mohon gue, memelas seperti orang habis kena tipes.

“Tidak!” Mang Oja terus bersikukuh untuk tidak menerima murid. Gue jadi desperado, lalu gue bersimpuh di depan pos jaga dengan kedua tangan di depan lutut, menempelkan jidat gue ke punggung telapak. “Saya takkan beranjak dari tempat ini, sampai Mang Oja mengajarkan saya,” ucap gue dengan penuh kesungguhan. Gue terinspirasi dari film-film laga Hong Kong ketika seseorang memohon kepada ahli silat untuk menerimanya sebagai murid. 

“Astaga, sudah gila kau rupanya. Kau pikir ini film Sun Wukong atau San Pek Eng Tai? Malam hari di sini nyamuknya berjibun. Kena malaria, baru tahu rasa,” kata Mang Oja menakuti. Namun tekad gue sudah bulat, takkan goyah meski banjir bandang. 

“Terserahlah, aing mau keliling!” Mang Oja beranjak meninggalkan gue. “Mang! Mang!” Panggilan gue tak digubrisnya. Ini ujian, harap bersabar. Gue memutuskan tetap tinggal di situ dengan posisi merunduk seperti semula. Cepat atau lambat dia pasti kembali. Tak bisa dia menghindari gue selamanya.

Lama kelamaan gue malah jadi tontonan warga  yang lalu lalang. Gue menciptakan pemandangan tak lazim. Gue dengar ada suara jepretan foto hape segala. Apa mereka kira gue objek wisata kota? Sampai anak-anak kecil pun bermain mengelilingi gue. Punggung gue dipukul-pukul, ditusuk-tusuk pakai ranting. Mungkin mereka sedang melakukan uji coba, apakah gue masih hidup. “Kakak ngapain?” Gue menggeleng, diam mau tak menjawab. Mereka tak kan mengerti jalan ninja seorang jomblo.  

Sore berganti malam. Gue masih belum beranjak. Gerombolan nyamuk perawan mulai genit mencumbu dan menggerayangi gue. Mereka butuh darah perjaka supaya bisa hamil melahirkan. 

Tiba-tiba terdengar langkah datang, apakah Mang Oja? 

“Ngapain lo, Jon? Masya Allah.” 

Bukan, itu suara bapak gue. Suaranya terdengar sangat sangat prihatin. “Tetangga pada bilang lo lagi pesugihan di sini. Ingat, Jon itu musyrik!” Hah, gimana, pesugihan, loh kok? Tetangga nih memang kalau ngegosip, ceritanya jadi kemana-mana. 

“Pulang, Jon!” bujuk bapak. 

Tapi gue belum bisa pulang. Urusan gue belum kesampaian. Jika gue pulang sekarang, sia-sia seluruh bentol di tangan dan leher ini. 

“Ampuun Jonnn, lo kenapa jadi begini….” Waduh, kali ini suara ibu gue sambil nangis-nangis sinetron. “Pulang Jon, minta rezeki sama Allah, jangan sama jin.” Aisshhh, kalian salah paham. Sudahlah, kalian berdua pulang lah dulu, biarkan gue di sini. Bingung, gue gak mungkin menjelaskan duduk perkaranya ke mereka. Sebab mereka sudah mewanti-wanti gue tak boleh pacaran. Sedangkan gue di sini untuk menuntut ilmu mencari cewek. 

Gue mulai mendengar suara orang makin ramai di belakang gue. 

Tak lama kemudian bapak datang bersama teman-temannya. Dia berkata, “Bantu, bantu, bawa anak saya pulang ke rumah. Gotong.” Aduh, mengapa kalian tak dapat mengerti usaha keras anak kalian untuk bisa mendapatkan kontrak eksklusif. Gue tak bisa membiarkan mereka memupuskan hasil keras gue. Gue harus melakukan sesuatu. Dalam situasi genting ini, akhirnya gue nekat. Pura-pura kesurupan. “GRRR….Groaaaaar!” Gue mengerang dan mengaum supaya mereka tak mendekat.  

“Astaghfirullah, Jon!” teriak ibu histeris.

Gue bikin konflik lebih memuncak, gue bertingkah seperti harimau marah. Berjalan dengan empat kaki, mengernyit dan memandangi mereka dengan tajam. Sesekali mencoba mencakar. “Jangan mendekat…, bubar, bubar, Groaaar!” erang gue.

Kabar Joni, anak RT 04 kesurupan menyebar dengan cepat ke warga lain. Kerumunan makin padat. Mereka penasaran. Seakan sedang melihat puncak atraksi debus yang biasanya tak sampai klimaks, karena uang sumbangan tak cukup banyak. 

Pak RT datang bersama seorang ustadz. Gue dibaca-baca ayat kursi untuk mengusir dedemit yang memasuki gue. Dari antara kerumunan ada warga yang melempari gue dengan garam dan beras, berharap setan pengganggu keluar dari badan gue. Situasi tambah heboh, ketika ada seseorang mengaku orang pintar berseru, “Ada siluman harimau yang merasuki anak ini!” Dukun palsu! Tapi gue manfaatkan situasinya dengan makin menggila, melompat ke sana kemari. Akting gue sudah seperti aktor Bollywood yang filmnya actionnya suka absurd menyalahi hukum fisika. Ibu gue tambah panik, “Pak tolong anak kita, pak!” 

Makin lama, gue merasa terpojok, lebih tepatnya terpojok oleh rasa malu. Sudah kepalang tanggung. Gue bingung harus gue terusin akting ini sampai kapan? Capek juga soalnya. Atau sebaiknya gue berhenti dan mengakui segalanya. 

Tiba-tiba Mang Oja keluar dari antara kerumunan. Dia datang mendekat dan memperhatikan gue. “Lo kenapa, bos!?” Gue kasih dia kode kedipan mata. Awalnya di tidak paham. Gue kode-kode terus sampai akhirnya dia mengerti, bahwa gue tak benar-benar kesurupan. Dia mengangguk-angguk.

Dia memejamkan mata dan mulutnya komat-kamit. Tangannya naik turun seolah sedang mengambil kekuatan dari semesta. Setelah itu ia mendekat dan menempeleng kepala gue dari belakang. “Sudah jangan bikin keributan lagi!” Itu kode buat gue supaya berhenti berakting. Dia menutup wajah gue, lalu mengusapnya. Gue pun pura-pura tersadar. Warga langsung riuh. "Mang Oja hebat!"

Sejak hari itu Mang Oja jadi tambah terkenal tidak hanya sebagai CEO terpandang, melainkan juga sebagai orang sakti, dan gue jadi orang tersesat yang hendak bersekutu dengan jin. Bapak dan ibu gue menceramahi gue habis-habisan. Dengan jurus Tai Chi gue memasukkan kata-kata ortu gue di kuping kiri dan gua alirkan ke kuping kanan.

Keesokan harinya saat gue mau berangkat sekolah, Mang Oja sudah menanti di depan gerbang rumah. Dia merangkul leher gue, dan berkata, “Nanti sore datang ke pos jaga, akan kuajari kau cara menggaet wanita.”

Hah!? Tak gue sangka-sangka, akhirnya gue diterima jadi murid. Yes! Gue sudah selangkah lebih dekat lagi dengan kontrak eksklusif.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status