Share

CINTAKU EKSKLUSIF
CINTAKU EKSKLUSIF
Penulis: Eka Juan

1 - Awal Mula

“Lo mau gak jadi pacar gue?” gue menyatakan cinta kepada cewek yang gue taksir sejak lama. Hati ini berdebar-debar dan penuh harap. Serasa sedang menunggu hasil ujian akhir. Dia diam menunduk. Mungkin malu. Satu menit kemudian dia mengangkat wajahnya, dengan tersenyum dia berkata, 

"Menjijikkan!”

Itu memori gue waktu SD. Sejak itu hati gue patah jadi dua dan gue lakban sampai SMU.

Gue tidak mengerti mengapa sebagian cowok sangat mudah mendapatkan cewek. Bahkan bisa bergonta-ganti pasangan. Sementara gue, satu saja sulit

Tapi itu dulu. Sekarang gue malah kebingungan, karena banyak banget wanita yang mendekat. Sebagai konsekuensinya harus ada yang patah hatinya. Gue mau cerita, bagaimana awal mula semua ini terjadi.

*****

Suatu pagi itu di area parkir sekolah.

Sambil jalan gue menyantap sebuah roti pizza. Tadi tak sempat sarapan di rumah. Gara-gara kelamaan di toilet. Biasa, penyakit pagi hari. Suka mules-mules tak jelas. Pas duduk di toilet, tak kunjung keluar, tapi pas pakai celana, mules lagi. Kalau diberi kesempatan lagi, keluarnya malu-malu kucing. “Engghh! Engghh!” ngeden-ngeden keras sampai akhirnya kena wasir. Menyebalkan!

Sedang asyik makan terdengar suara motor dari belakang, “Brrmm!” Gue melipir memberi jalan. Tapi “BREMM!” suara gas digeber, jaraknya sangat dekat dan “Buk!” gue terserempet. Alhasil gue terpelanting nyungsep mencium alang-alang. Seragam gue jadi kotor oleh saus roti dan tanah. Padahal gue yakin banget  sudah cukup memberi jalan. 

Gue tengok, pengendaranya menunggang Ninja 250 CC berwarna hijau limau ciri khas Kawasaki, kombinasi hitam arang, dan putih. Mengekor di belakangnya enam kuda besi lainnya, "Bremm! Breeemm! Brem!" melaju mencari parkir tak jauh dari sini. 

Hati gue dongkol. Gue yakin si pengendara Ninja sengaja. Gue susul orangnya. Sebelum dia sadar, kaki gue melayang menghantam kepalanya. "Plak!" Kaca helm full face-nya copot mental melesat ke udara. Tinju menyerang perut dan menerjang ulu hatinya, tajam dan keras seperti pukulan Manny Pacquiao. Hanya dalam hitungan detik dia jatuh terkapar, meminta ampun. Persetan dengan maaf! Gue siram motornya dengan bensin. Bakar. Asap hitam membumbung tinggi. Puas rasanya! Jangan main-main dengan jagoan di sekolah ini. Hahahahaaaaa…. tapi semua itu tidak nyata, hanya bayangan di kepala gue saja

Kenyataannya gue hanya seorang siswa underdog dari kumpulan terbuang di sekolah swasta Merah Putih. Di posisi ini keberadaan gue tak diakui, suara gue tak didengar, dan tak ada cewek yang berminat.

Beda dengan si pemilik Ninja itu. Dari sadel boncengannya turun seorang siswi rok abu-abu. Tubuhnya semok berisi bak beras pulen. Saat dia buka helm, rambut panjangnya langsung jatuh terurai sepunggung. Wajahnya mirip Brisia Jodie.  cantik sekali. Apalagi ketika dia geleng-geleng dan rambutnya meliuk-liuk seperti model iklan shampoo. 

Dua siswi lain lewat di depan gue. Langkah mereka melambat, berbisik-bisik dari kejauhan, mengamati si penunggang Ninja turun dari motornya. Ketika cowok itu melepaskan helmnya, kedua cewek itu langsung melompat-lompat kegirangan seperti melihat artis idola. Mereka maju ingin menyapa, tapi si cantik berambut panjang terlihat bete, lalu mengencingi cowoknya sebagai tanda kepemilikan, kemudian menggeram dan mengusir dua betina yang dianggap rival. Kedua cewek itu lari terbirit-birit ketakutan. Semua cerita gue itu benar, kecuali di bagian dia mengencingi cowoknya.

Si cowok menenangkan pacarnya. Diangkat dagunya, dipeluk pinggangnya, ditarik mendekat dan dicium bibirnya di depan teman-temannya. Alamak, iler gue ngeces di sudut. Apa rasanya menempelkan bibir ke bibir cewek seperti itu? Ah, jangankan merasakan ciuman, mandang cewek saja gue bisa kena hardik. Nasib jadi underdog

Siswa-siswi kawanan bermotor itu melenggang masuk ke dalam sekolah. Menyisakan tatapan cewek-cewek di sekitar yang tak bisa lepas kayak noda membandel ke punggung cowok itu.

Gue berjalan mendekati parkiran motor. Gue jelalati motor batangan itu. Hemm, kalau gue punya motor seperti ini yang keren, mahal, dan bertenaga di antara paha dan selangkangan gue, pasti gue juga akan jadi sekeren itu. Tak ada lagi kasus nembak cewek, dan dijawab, "Menjijikkan!"

Gue juga mau punya motor! 

*****

Malam hari saat makan malam bersama bapak dan ibu, gue menyampaikan keinginan gue, "Bapak, Joni mau motor." 

Kedua orangtua gue saling pandang. "Kamu mau buat apa motor?"

"Buat ke sekolah."

Bapak manggut-manggut. "Bisa, bisa." Wah gue senang dapat tanggapan yang positif. "Teman bapak kebetulan mau jual motornya, Honda Karisma." Gue langsung memble. Gue tahu motor seperti apa yang terkenal irit itu. 

"Motor baru donk, pak. Masak yang bekas," gerutu gue. 

"Mau baru atau bekas kan tetap bisa sampai ke sekolah, Joni," kata ibu. 

Gue menghembuskan nafas panjang. Keduanya tak mengerti. 

"Baik, baik memang kamu mau motor apa?" tanya bapak. Nah ini pertanyaan yang bikin semangat. Gue mengeluarkan sebuah brosur dan menyerahkannya ke bapak. 

"Itu pak, yang Joni lingkari."

Begitu Bapak melihat brosur itu ia langsung tersedak dan terbatuk-batuk, "Uhuk! Uhuk!" "Pak, minum, pak," kata ibu. Bapak meneguk segelas air putih. Setelah tenang ia berkata, "Joni, harga motor ini hampir 100 juta."

Gue memandang polos ke bapak dan bertanya, "Memang kenapa?"

"Kamu pikir uang tumbuh di pohon?" 

Gue mikir sebentar lalu menjawab, "Uang dari kertas, dan kertas dari pohon. Jadi uang memang tumbuh di pohon."

Bapak geleng-geleng. 

"Motor seperti itu biaya perawatannya juga mahal. Bensinnya apa lagi. Kalau kamu mau motor itu, kamu cari uang sendiri."

"Pak, Joni masih sekolah, nanti pelajarannya terganggu," kata ibu. 

"Bu, kita sekolahkan anak kita tujuannya supaya dia bisa cari uang sendiri nantinya. Bukan supaya nilai rapornya bagus-bagus. Kalau dia bisa mendapatkan uang dengan keringatnya sendiri, berarti pendidikannya berhasil."

*****

4  bulan kemudian. 

Malam itu, gue duduk di depan sebuah laptop tua. Wajah sayu seperti sayur yang sudah sebulan di luar kulkas. Gue garuk-garuk kepala sampai rambut acak-acakkan. Salju lokal alias ketombe pun turun.

"Haaaaaaaaaaah..." keluh gue panjang, sepanjang rel kereta api cepat Jakarta Surabaya. Sudah sepuluh novel setengah jadi gue buat, tapi tak ada satu pun melayangkan kontrak eksklusif di platform menulis online. Kontrak yang penuh dengan janji-janji bonus menggiurkan itu.  

"Sebel! Sebel! Sebel!" Ingin rasanya gue pecahkan pot tanaman yang nangkring di sebelah laptop, biar gaduh sekalian. "Hih!" Apalagi sedetik kemudian tanaman itu berjoget-joget sambil mengulang kata-kata gue. "Sebel! Sebel! Sebel!" Eh, ngajak berantem lo!? Gue ajak ribut mainan mainan kaktus joget yang viral di Tik Tok itu. 

Gue melompat ke atas kasur single bed dan membekap wajah gue ke bantal. Yah, rasa ingin bunuh diri. Akibat sakit hati ditolak in house editor untuk mendapat kontrak eksklusif.  Apakah mereka tak memiliki empati? Tak sadarkah mereka telah merobek-robek hati gue. Sekalian ambil nyawa gue! Tapi akhirnya gue kehabisan nafas dan mengangkat kepala tinggi-tinggi dari bantal, menghirup akal sehat.  

Sudah sekitar empat bulan gue menjajal karir menjadi seorang penulis. Profesi yang dikutuk oleh para orang tua sedunia. Profesi yang setara dengan aib. Profesi yang bila ditanya tetangga tentang kerjaan anak mereka, lebih baik mereka diam, atau alihkan perhatiannya, atau culik sekalian orang itu dan buang ke sungai Katulampa saat siaga satu. Profesi yang bila seorang anak sampaikan ke orang tua pasti akan mengundang kernyit di dahi sampai menakutkan seperti dedemit dan dia harus mengeluarkan ilmu batu saat digempur dengan nasehat bertuah yang sakti sampai berbusa-busa.  

Semua ini gara-garanya gue terjebak sebuah promosi yang lewat di beranda F******k. Tawarannya menggoda banget. Katanya menulis bisa dapat uang. Apalagi ada tiga digit angka yang bersanding dengan tanda dolar, ditulis besar-besar, $150 sampai dengan $325. Belum lagi iming-iming pembagian royalti yang cukup besar. Bagi anak SMU macam gue yang masih harus mengemis-ngemis ke orang tua buat beli motor, angka-angka itu sama seksinya dengan melihat cewek telanjang. Jahanam kali jebakan ini!

Zaman telah berubah. Media untuk menikmati novel tidak lagi berbentuk buku. Sekarang serba digital. Berbagai perusahaan berlomba-lomba membuat aplikasi menulis. Penulis tinggal d******d di hape. Ketik-ketik sedikit, unggah dan uang pun berdatangan. Setidak itu yang gue kira. Namun kenyataan tak seindah pulau dewata dengan cewek-cewek bule berbikini, dengan bokong dan payudara aduhai.  Lebih mirip Bantar Gebang daerah Bekasi, tempat pembuangan sampah. Bau.  

Gue harus menerima kenyataan, bawah tren platform menulis didominasi dengan hal yang sama sekali gue buta. Yaitu, cinta, kehidupan CEO kaya, dan seks. Demi genre-genre seputar inilah orang bersedia membeli koin untuk membuka bab-bab novel yang buat mereka tergila-gila dengan tokoh-tokoh halu karangan penulis. Namun sayangnya gue jomblo dan sumber pemasukan utama gue adalah uang jajan dari orang tua. Apalah yang gue tahu tentang cinta dan kehidupan CEO kaya? Apalagi seks, selain sebatas situs-situs bokep.  

Kalau saja bukan karena gue ingin beli motor, takkan tergiur gue dengan rayuan pulau kelapa menjadi penulis penghasilan dolar. 

Gue merenung, ah gue yakin, penyebab novel-novel gue gak lolos kontrak eksklusif, pasti karena gue jomblo. Gue harus punya pacar dulu nih, supaya paham bagaimana mengubah cinta menjadi kata-kata. Setidaknya cari pacar itu jalan terdekat bagi gue untuk bisa menjadi raja diraja, penguasa platform menulis online. 

Tapi bagaimana seorang underdog bisa menemukan cinta?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status