"Apa-apaan ini? Jangan tidak sopan, ya! Buka topeng kalian atau kalian akan dikeluarkan seperti Joni !” perintah bapak kepsek seraya menggebrak meja. Satu orang yang badannya paling kurus melompat sambil memegang dada kirinya. Bisa jadinya kurus badannya, karena kurang gizi, hingga jantungnya lemah saat ditakuti. Hampir saja ia melepas topengnya. Untung teman-temannya sigap mencegahnya. “Guoblok!”
Satu-satunya cewek di antara mereka yang sepertinya ketua kelompok bertopeng ini berkata, “Selama kita mengenakan topeng ini, bapak kepsek tidak akan mengenali kita, dan dia tidak akan bisa mengeluarkan kita dari sekolah.”
“Siapa sebenarnya kalian!?”
Si ketua dengan cepat menjawab, "Kami adalah…!" tapi kemudian terdiam sejenak, lalu mundur seraya berbisik ke teman-temannya yang lain, “Psstt… kita ini siapa?” Kelimanya saling berpandang. Si kurus menjawab, “Nama gue Do…” “SShhhttt!” Anak-anak yang lain langsung menutup mulutnya. “Bukan nama kita, nama kelompok kita!” ucap si cewek. Bahu mereka semuanya terangkat. “Pikirkan cepaaaat,” bisik si cewek seraya menjambak kemaluan salah satu anak buahnya bagai ular menyambar anak ayam.
“Auuuuhhh… Ge… Geng Nakama!” jawab si malang.
“Nah itu! Kami adalah Geng Nakama!”
Nakama? Mendengar nama itu otak gue berpikir cepat. Kata itu sangat familiar. Gue sambar sebuah spidol hitam dari meja kepsek dan menorehkan tanda X di lengan kiri gue. Gue tunjukkan tanda itu ke mereka.
Mereka terkejut, menoleh-noleh ke teman-teman dan menunjuk-nunjuk tanda itu. Jelas tanda itu memiliki arti bagi mereka. Kemudian mereka membuka kain merah di pergelangan mereka dan dengan bersemangat menunjukkan tanda yang sama ke gue. “Ore tachi nakama da!” seru mereka (kita adalah nakama!).
Hanya satu spesies manusia Indonesia yang mengerti arti tanda ‘X’ dan istilah asing nakama ini. Bukan, bukan Pithecanthropus Erectus, Robustus atau pun Mojokensis, melainkan wibu!
Wibu adalah hasil evolusi selanjutnya dari manusia modern yang terobsesi dengan budaya Jepang, biasanya anime dan manga namun tidak tertutup dengan musik atau budaya lainnya. Sebagian kaum normies (istilah gaul anak milenial untuk orang biasa) menganggap wibu sebagai makhluk aneh atau sejenis tanaman beracun. Karena mereka suka melakukan hal-hal yang abnormal.
Sedangkan nakama berarti teman seperjuangan. Populer lewat kisah epik anime Jepang - One Piece. Terutama lewat petualangan kelompok bajak laut kriminal - Luffy, si topi jerami dan putri negeri Alabasta yang cantik jelita, Nefertari Vivi. Awalnya mereka bermusuhan, tapi akhirnya bersekutu dan berjuang bersama-sama mempertaruhkan nyawa, melawan Sang Raja Gurun, Sir Crocodile yang ingin merebut negeri Alabasta.
Makna nakama makin mengharukan, ketika Luffy dan kawan-kawan bajak laut harus kembali melaut meninggalkan negeri Alabasta. Dalam ketidakpastian mereka menanti kedatangan Vivi dalam hujan meriam dan gempuran pedang militer angkatan laut. Vivi akhirnya muncul di tepi laut. Para awak kapal melompat gembira hendak memutar haluan untuk menjemputnya. Namun ternyata sang putri hanya datang untuk mengucapkan kata perpisahan. Tanggung jawab terhadap negerinya mengharuskan ia tinggal.
Lewat pengeras suara Vivi bertanya, “Bila suatu saat kita bertemu lagi, apakah kalian akan tetap memanggilku, nakama?” Vivi menunggu namun tak kunjung mendapatkan jawaban, ia menjadi sedih. Akan tetapi tak lama dari kejauhan seluruh crew bajak laut mengangkat tangannya ke udara menunjukkan tanda X di lengan mereka. X yang berarti bajak laut. Tanda yang pernah mereka gunakan saat berjuang bersama melawan musuh yang sangat pandai menyamar.
Lewat simbol dan tanpa kata mereka menjawab, “Vivi, sampai kapan pun, engkau akan selalu menjadi bagian dari nakama bajak laut kami.” Vivi sangat terharu menerima jawaban itu, lalu ia mengangkat tangannya yang juga terdapat tanda X itu sambil melepas kepergian teman-temannya.
Walaupun gue gak kenal siapa mereka di balik topeng Dali, tetapi wibu telah menyatukan kami. Lagi senang-senangnya bertemu teman se-wibu, bapak gue menjewer, “Kamu ini makin gak karuan, ikut geng-geng-an.” “Bukan pak, mereka wibu...wibu…” “Apa, sabu-sabu?” kata bapak, makin keras menjewer. “Aww…!”
“Astaga, anak kita pakai narkoba, pak?” Ibu tambah mendramatisir.
“Hah, makin tepat keputusan bapak mengeluarkanmu!” kata bapak kepsek.
“Bukan, kalian salah paham!”
“Sudah cukup! Kalian pikir bisa bebas melakukan kehendak kalian. Kalian berlima, bapak pasti akan mendapatkan identitas kalian dan mengeluarkan kalian semua dari sekolah ini,” ancamnya dengan pandangan sedingin es tong-tong.
Si ketua geng berkata, “Sudah saya duga tanpa sesuatu yang mengancam nyawa, bapak tidak akan mengabulkan tuntutan kami.”
“Mengancam nyawa? A.. apa maksud kalian?”
“Kami berenam akan melakukan mogok makan. Kalau sampai kenapa-kenapa dengan kami. Nama bapak dan nama sekolah ini akan terkena imbasnya."
Eh kok enam orang? pikir gue heran. “Kenapa enam?” tanya gue kepada si cewek.
“Loh, tentu kak Joni akan bergabung dengan kita donk… nakama,” jawabnya sembari menunjukkan tanda X. Hah?
Tak lihat kalian betapa bulat perut gue? Bagaimana mungkin gue ikut mogok makan.“Nakama selalu bersama dalam suka dan duka, bukankah begitu kak Joni?” tanya si cewek. Lalu semua topeng-topeng Dali yang melotot itu menatap gue, mempertanyakan komitmen akan makna X di tangan gue. Sebagai sesama wibu, kami tahu dalamnya arti kata itu. Berkata tidak, sama saja melakukan pengkhianatan yang tak termaafkan. Tapi “Krucuk...krucuk….” gemuruh perut gue. Baru mendengar ajakan mogok makan saja, perut gue sudah merintih.
“Joni, ibu tidak mengizinkan kamu ikut-ikutan aksi geng-gengan. Kamu tidak boleh ikut mogok makan.”
“Tante, kami melakukan ini untuk kak Joni. Hukuman dari sekolah tidak adil dan berlebihan. Lagipula kak Joni telah menginspirasi kami untuk memiliki keberanian. Bagi kami aksi kak Joni sangat heroik.”
Gue memotong, “Hentikan! Jangan mempertaruhkan masa depan kalian demi gue. Kalian bisa keluar dari ruangan ini dan kalian akan bisa terus melanjutkan kehidupan kalian seperti biasanya dan lanjut sekolah. Biarlah gue menjalani hukuman ini sendiri.”
“Plak!” si cewek menampar gue. “Kenapa kami tidak boleh mempertaruhkan masa depan kami untuk kak Joni?” Lalu ia berkata dengan keras dan memegang tangan gue, “Jangan egois! Kita nakama, bukan!?”
Gue memegang pipi gue yang terasa perih, mata gue berkaca-kaca karena terharu. Kata-kata itu keren sekali, sangat wibu sekali. Gue bisa merasakan kobaran semangat yang berapi-api. Sebagai laki-laki waktunya gue berjuang demi diri gue bersama para nakama gue. Maafkan aku bapak dan ibu, sayap di punggung anakmu ini sudah semakin besar. Gue akan mulai belajar terbang, meninggalkan sarang.
“Baiklah, gue akan ikut aksi mogok makan!”
“Joni!” sergah ibu.
"Silahkan kalian mogok makan, tapi bapak pasti akan bisa menggagalkannya!"Malam hari menjelang pukul 21.00 pesan WA makin banyak yang masuk. Para nakama sudah tidak sabar menunggu penjelasan gue. Mereka ingin tahu misteri hilangnya gue dari tenda tanpa jejak. Bahkan mereka sudah sempat melaporkan hal itu ke polisi.Karena kerepotan menjawab mereka satu-per satu, gue masuk kamar, buka laptop dan mengadakan zoom meeting dengan mereka.“Apaaaa! Angel itu putrinya Dick Garrison!!?" seru Y sambil menggebrak meja."Kamu kenal si Dick?" tanya gue."Gak.""Terus?""Biar
Pembawa Berita Gina: “Berita selanjutnya, pengadilan menghadiahkan vonis bebas kepada Dick Garrison atas dakwaan pembunuhan Ibnu Khosasih, ketua dari kelompok mafia, Kobra.” (Musik latar belakang) “Di lapangan ada rekan kami, Bagio akan melaporkan langsung situasi dari depan gedung pengadilan. Silahkan rekan Bagio.” Reporter Bagio: “Terima kasih, rekan Gina. Pemirsa, sekitar 15 menit lalu pengadilan Mahkamah Agung telah membacakan vonis bebas bagi Dick Garrison, atas pertimbangan kurangnya bukti yang memberatkan dari pihak kejaksaan. Ini berarti sudah kali ketujuh Dick Garrison kembali lolos d
Memang repot memiliki ibu yang banyak drama. Asumsinya selalu kemana-mana, merambat cepat seperti kebakaran hutan Kalimantan. Asap kecurigaannya pekat, mencekat pernafasan, mengada-adakan yang tak ada. Entah itu akibat genetik, trauma masa kecil, atau efek Hawa jatuh dalam dosa. Apa pun itu, ujungnya gue, seorang CEO terpaksa menenteng masuk motor seharga setengah miliar itu sambil dijewer. Sungguh amat tidak gagah. Menjelang malam bapak pulang dari kantor. Kabar gue menjadi bandar narkoba sampai ke telinganya. Bapak terkejut dan ikut-ikutan mencurigai gue. Belum lepas dari benak mereka akan kesalahpahaman tentang gue yang melakukan pesugihan beberapa waktu lalu. Mereka masih mengira gue sedang cari jalan pintas untuk jadi kaya. Mereka menggelar sidang perkara di rumah. Kasus ini langsung naik ke tingkat Mahkamah Agung, ta
Dari cengkraman Om Richard Diamond, Angel L. Garrison membawa gue pergi laksana superhero menyelamatkan sandera dari markas penjahat. Mobil Mercedes Benz silver berkursi dua penumpang miliknya membawa kami sangat cepat. "Ciiiiit!" demikian bunyi ban bergesekan panas dengan aspal kala Angel drifting dan mengasapi gedung pencakar langit berlogo RD besar yang terpatri di puncak. Mobil Angel melesat wuss! Wuss! Begitu halus mulus tanpa getaran sama sekali. Melibas polisi tidur seperti sedang melaju di jalan lurus saja. Benar-benar jauh berbeda dibanding angkot yang bergajrul-gajrul membuat penumpangnya berjumpalitan di dalamnya. Gue duduk di kursi seb
Setelah melepas Bu Ervinah dan Y pulang, gue masuk ke dalam tenda dan unboxing hape yang diberikan Angel. Jemari ini gemetar saat membukanya. Maklum, kebiasaan pegang barang murah(an), sekalinya pegang barang mahal jari-jarinya kaget.Canggih. Layar hape lipat ini sangat lebar bagaikan lapangan tenis, tapi bisa dilipat dua. Permukaannya mulus dan layarnya masih hitam, belum menyala. Wajah gue terpantul di sana. Gue mulai melamun dan wajah itu menguap seperti asap beralih menjadi wajah Angel. Semakin tenggelam dalam lamunan layar itu tampak seakan sedang memutar sebuah tayangan film Netflix dengan kami berdua sebagai pemeran utamanya. Lokasinya di sebuah dermaga. Lautan sekitarnya sedang bergelora. Pyash! Suara ombak setinggi dua meter pecah di ujung dermaga. Dari dalamnya keluar Angel dengan seragam
“Loh, B… Bu Ervinah? Ibu sedang apa di sini?” tanya gue heran, tak menyangka.“Joni, bi..bisa kamu minggir dulu, kamu berat. Sesak…." pinta Bu Ervinah, megap-megap. “Oh..OH.. ya..ya…maaf,” jawab gue gugup. Gue segera menyingkir ke samping." Baru ia bisa bernafas lega. Kemudian beliau berdiri dan mengibas debu dari dress panjangnya dan membetulkan jaket jeansnya. "Kamu tuh kenapa, Jon, main seruduk kayak banteng? Pakai acara timpuk botol air pula, sakit tahu…," katanya mengusap-usap kepalanya. "Yah, anu...maaf saya kira ada preman."Bu Ervinah memungut sebuah kantong plastik yang tergeletak tak jauh dan menyerahkannya kepada gue. “Ini ibu bawakan buat kalian,” katanya. Rupanya ini yang terlihat seperti