Share

7 - Nasi Goreng Tapak Api

Hari itu juga gue dan para nakama memulai aksi mogok makan. Di depan pagar sekolah, dekat pintu masuk kendaraan, kami sibuk mendirikan tenda seperti orang sedang berkelahi.  Tiang-tiangnya tak mau menurut, ditekuk malah mental menyerang balik, menyelepet pantat atau menusuk mencolok mata, sungguh susah dan penuh aksi berbahaya. Terpalnya tidak kalah menjengkelkan. Berlari-lari kesana-kemari tak bisa diam, angin reseh berkonspirasi dengan terpal. Setengah jam kami bergulat dengan bedebah bernama tenda. Namun berkat kegigihan para nakama tenda itu akhir berdiri juga. 

Setelah tenda beres kami menggantungkan satu papan agak besar di dinding sekolah yang bertuliskan, “Aksi protes mogok makan menuntut pihak sekolah menarik hukuman DO Joni yang tidak adil.” Inilah inti perjuangan kami. Kemudian kami membagi-bagikan pamflet fotocopy meminta dukungan para orang tua murid yang lalu-lalang, menjelaskan duduk perkara dan meminta dukungan lewat tanda tangan petisi.

Menit demi menit berlalu, matahari semakin meninggi. Panas dan terik memeras peluh. Para nakama sudah basah berkeringat. Jumlah tanda tangan yang terkumpul, nol. Usaha mengkhianati hasil. Para orang tua sepertinya khawatir jika berurusan dengan kebijakan sekolah nanti akan membawa masalah kepada anak mereka. 

Ah, tenggorokan sudah terasa kering. Dehidrasi. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di dalam tenda dan melepas dahaga. Pas di dalam aroma perjuangan langsung menusuk hidung. Buru-buru kami buka jendela dan duduk agak menjauh memutar badan. Padahal ini baru awal perjuangan. 

Gue sendiri lemas menahan lapar. Bekerja keras seperti ini membuat gue sangat keroncongan. Padahal di dekat tenda berjejer jualan yang enak-enak dan segar-segar, seperti gorengan, siomai, mie ayam, es teler, es cincau dan lain-lain. Selangkah saja dan dengan hanya sedikit uang, gue bisa menikmati surga dunia. Gue laaperrr.

Di kesempatan itu gue memutuskan untuk berkenalan dengan kelima nakama, “Oh ya nama kalian sebenarnya siapa?”

Si cewek ketua menengok kiri kanan, lalu menjawab, “Maaf, Kak Joni demi keamanan, sebaiknya kami tidak menyebut nama di sini. Sebab tembok bisa bertelinga.”

“Lalu gue harus memanggil kalian apa?”

“Ah, supaya mudah, panggil saja gue nomor satu, si kurus ini, nomor dua, dia nomor tiga, nomor empat dan nomor lima,” kata si cewek. 

"Oh okay, berapa hari kira-kira kita akan aksi mogok makan?" tanya gue.

"Tentu saja, sampai tuntutan kita dikabulkan."

"Kalau tidak dikabulkan?"

"Kita mati." 

"Hah!" Gue membayangkan emak gue menangis tersedu-sedu, saat mendapati anaknya tidak bernyawa. Sudah capek-capek dikasih makan, belum menghasilkan sudah meninggal kayak si Ayuningsih. Waktu itu gue sampai nangis tiga hari tiga malam, menangisi ayam piaraan gue itu. Dari kejauhan terdengar sirene ambulans menambah kental atmosfer kematian.

"Tenang, ha...ha...ha...," si nomor satu tertawa, "Tidak mungkin bapak kepala sekolah akan membiarkan kita sampai celaka, karena itu akan membuat nama baiknya dan nama baik sekolah jadi jelek dengan insiden semacam ini. Kalau sampai kondisi kita dibiarkan memburuk, orang tua murid yang setiap hari lalu-lalang pasti akan mulai protes ke sekolah. Hanya ada dua pilihan bagi bapak kepsek, mengabulkan tuntutan kita atau menggagalkan aksi ini.”

"Nomor satu memang jenius, dialah dalang dari aksi ini," kata nomor tiga, "Tensai da kono ko!" (Jenius anak ini!) 

"Mengapa sih kalian mau bersusah-susah melakukan ini?" tanya gue. Terus terang gue sendiri tidak merasa ada yang istimewa dari diri gue, yang patut diperjuangkan seperti ini. Gue ini siapa? Gue bukan siapa-siapa. Malah gue ada perasaan bersalah membuat mereka berlima di posisi ini. 

Nomor lima mendekat, mengambil dompetnya, mengeluarkan sebuah foto, dan memperlihatkannya kepada gue. Di foto itu ada seorang gadis berambut panjang memegang payung di bawah pohon beringin, mengenakan dress ungu. 

"Saat saya melihat kakak menembak Bu Ervinah di lapangan menggunakan mikrofon di depan orang banyak. Hati saya bergetar, betapa saya ingin memiliki keberanian seperti orang itu. 

Saya berteman dengan cewek di foto ini selama tiga tahun. Walau lama-lama saya memiliki hati untuknya, tapi saya tak pernah berani mengungkapkan perasaan. 

Melihat aksi Kak Joni saya terinspirasi dan mendapatkan kekuatan untuk menembak dia. Kak Joni telah mengubah hidup saya. Terima kasih, kak. Oleh karena itu saya merasa tidak adil kalau Kak Joni harus dihukum sampai dikeluarkan dari sekolah."

"Ooo, jadi berkat gue, lo sekarang sudah tidak jomblo?"

Si nomor lima terdiam sepertinya ia bingung menjawab pertanyaan itu. 

"Sepertinya, sih..."

"Hah, sepertinya?"

"Mmm… orang bilang dia kena guna-guna. Karena ada yang tak senang dengan bapaknya. Sejak tiga tahun lalu setiap hari dia selalu berdiri di bawah pohon beringin itu sambil memegang payung. Hanya berdiri dengan pandangan kosong. Tanpa ekspresi. Tak pernah berkata sepatah kata pun. 

Tiga tahun yang lalu saya menjadikannya teman. Dia menjadi tempat curhat saya. Orang bilang saya gila karena terus-terusan berbicara dengannya. Tapi saya merasa nyaman bersamanya. 

Saya memutuskan untuk menembaknya. Untuk pertama kalinya dalam 3 tahun itu, saya melihatnya tersenyum. Walau hanya sebentar. Saya menganggap itu sebagai jawaban iya. Tapi…. tak tahu juga."

Gue agak melongo mendengar cerita si nomor lima. Wibu memang abnormal. Tapi setidaknya masih mending ia memiliki ketertarikan dengan manusia sungguhan dan bukan bantal panjang bergambar tokoh anime cewek seksi. Gue manggut-manggut mendengar cerita cinta supranatural itu. 

Tiba-tiba datang beberapa orang tak dikenal grasak-grusuk membawa kompor masak, meja, peralatan dapur, bumbu-bumbu, botol kecap, sayuran, daging dan nasi sebakul tepat di depan tenda kami.

Ada apa ini?

Bapak kepsek muncul dengan tersenyum. "Lihat siapa yang bapak bawa...” Satu sosok wanita paruh baya datang menyusul, memanggul wok masak tembaga selebar punggung dan spatula. Dari cara jalannya saja orang bisa merasakan tekanan wibawa seorang juru masak yang agung. Dia adalah….

“Ibu Serojah!” seru kami bersama-sama. 

Ibu Serojah, penjual Nasi Goreng Tapak Api legendaris di sekolah ini. Lezat masakannya tiada banding. Kiosnya selalu ramai diserbu anak-anak sekolah. Sedikit membuat iri penjual lain dan bergosip dia pakai penglaris. Saking enaknya, komandan polisi, para pejabat hingga presiden pun datang berkunjung untuk mencicipi. Buktinya ada di foto-foto yang terpajang di kiosnya. 

Orang bilang dia eks juru masak pribadi Sultan Keraton Yogyakarta. Ada juga yang bilang ahli silat yang banting stir jadi koki. Ada juga yang berkata dia eks BIN yang menemukan passion di kuliner akibat terlalu sering menyamar jadi tukang masak. Masih ada lagi katanya, katanya yang simpang siur. 

Pakaian Ibu Serojah sangat khas, lengan panjang di kanan dan lengan buntung di kiri, memamerkan lengan kirinya yang terlihat sangat berotot dan lebih besar dari tangan kanannya. 

Ibu Serojah berdiri di depan kompor. Dia berkata, “Maaf, ya anak-anak. Bapak kepsek memaksa ibu melakukan ini, jika tidak, katanya ibu tidak boleh berjualan lagi di sekolah.”

"Betul," timpal bapak kepsek, "Dan ibu telah turut andil dalam menegakkan kedisiplinan di sekolah ini. Dengan kehebatan Ibu Serojah mereka pasti akan menyerah membangkang aturan sekolah."

Huh, penyalahgunaan wewenang. 

Gas dibuka. Api biru kompor yang panas menyala tinggi hingga sekepala. Tangan kiri berotot itu menaruh wajan besar di atasnya. "Klang!" Dari bunyi nya saja sudah terdengar betapa berat wok tembaga itu. Api dengan cepat menggeluti dan memanaskan permukaannya. Hawa panas mencakar hingga radius satu meter. Julukan Tapak Api memang pantas disandang nasi goreng buatannya. Minyak dituang, dibiarkan hingga panas, setelah itu bumbu-bumbu rahasia masuk ke dalam. Cssssssss…. hemmm harum sekali aromanya. Liur terkumpul di mulut tak dapat berhenti, bocor di sudut bibir. Perut gue langsung bergemuruh. Kalau perut gue Gunung Krakatau, ini sudah masuk level waspada. 

Ibu Serojah memasak dengan sangat piawai. Gerakannya seperti orang menari Saman atau tarian 1000 tangan. Memotong-motong sayur dan daging, mengoseng-oseng, memasukkan bumbu seakan dilakukan hampir secara bersamaan. Gerakannya mengalir seperti air, semuanya berkesinambungan. 

Nasi pulen satu bakul besar masuk ke dalam kuali. Kecap hitam kacang kedelai murni kental tertuang membaluri permukaannya. Asap putih mengepul hebat. Kalau orang biasa yang masak itu artinya gosong. Tapi berbeda kalau Ibu Serojah, artinya masakan itu sedang bermetamorfosis menjadi masakan bercita rasa dewa. 

Ibu Serojah mengangkat gagang kayu woknya dengan tangan kiri. Otot-otot lengannya berkontraksi membesar. Ia melempar-lempar semua isinya tinggi ke udara. Butiran nasi, sayur, daging dan bumbu berakrobat dengan indahnya, bercampur aduk jadi satu. Nasi putih itu kini berubah coklat keemasan, berkilau memukau.

Pertunjukkan sudah hampir mencapai puncak. Ibu Serojah menyiapkan lima piring dan menuangkan isinya ke masing-masing piring. Lalu ia taburkan bawang goreng, toping kerupuk serta sesendok acar ke atasnya. Wanginya makin kuat menusuk hidung, membuat gila.

Akibatnya gue jadi seperti anjing penjaga pintu neraka, Kerberos yang lupa dikasih makan selama sebulan oleh raja neraka, Hades. Gue kalap dan berdiri dengan cepat hendak menyantap nasi goreng ternikmat sedunia itu.

"Semuanya tahan kak Joni!" komando nomor satu.

Para nakama segera melompat mencegah gue. Ada yang memeluk kaki, menarik kerah, menarik tangan, menahan pinggang. Mereka sampai terseret-seret seperti tim adu tarik tambang yang hampir kalah. Mata gue melotot. Lidah gue menjulur keluar, menggapai-gapai ke arah nasi goreng itu.

"Lepasin gue, mau makan! Lapaaaar!"

"Jangan kak Joni, plis!" 

Bapak kepsek tertawa terbahak-bahak melihat gue yang tak kuasa menahan lapar. “Ayo, kemari, makanlah sepuasnya. Tambah jika perlu!” 

Suara nakama terasa menjauh. Dari awal gue merasa sebagai mata rantai terlemah. Benar juga kata ibu, gue tak cocok melakukan aksi mogok makan. Sungguh ia mengenal gue.

Gue ingat, semuanya bermula ketika gue masih kecil. Keluarga kami terbilang kurang secara ekonomi. Oleh karena itu bapak suka lembur tiba-tiba jika ada kesempatan. Sebagai konsekuensinya, masakan ibu sering jadi sia-sia. Di meja makan gue sering melihat ibu sedih dan muram. Gue jadi ikut sedih. Oleh karena itu gue bilang, "Ibu jangan sedih, biar Joni yang makan semua masakan ibu." Lalu gue lahap lah semua yang ada di meja makan. Ibu mencegah gue, "Jangan, sudah cukup, Joni." "Gak bu, Woni masih wapar," jawab gue sambil terus mengunyah. Padahal perut sudah sangat kekenyangan. Jadilah gue tumbuh menjadi anak yang kelebihan gizi, gendut dan bulat dengan kebiasaan makan yang banyak hingga sekarang.

“Kak Joni sadar….” Sayup-sayup terdengar suara si nomor satu.  Ia sudah berdiri di depan gue. Ia memutar tubuh atasnya ke belakang, jari-jari telapaknya mengembang bak sayap rajawali, lalu terbang melesat cepat dan menampar pipi gue. “Plak!” (bergema: plak…! plak…! plak…!)  Semuanya terasa bergerak secara lambat. Anehnya gue tak merasa perih sedikit pun. Hanya ada satu di otak gue. “La...lapaaar…” Pandangan gue tetap terkunci ke Nasi Goreng Tapak Api legendaris. Aromanya masih terus memanggil gue, “Joooni….. JOOoonii…...sentuh aku Jonii, aku menginginkanmu..., aku membutuhkanmu… sudah sebulan kau abaikan aku.” “Oh, a..aku segera datang, sayanghh…” 

"Kak Joni tahan… jangan menyerah!" Si nomor satu mengangkat Topeng Dalinya sehidung, menyingkap sepasang bibir feminim berwarna pink sakura, terpoles lip balm mengkilap. Kemudian dia melakukan sesuatu yang mengguncang alam semesta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status