Share

5 - Siluman Babi

Sedetik setelah Bu Ervinah memberikan jawabannya. Nafas gue terasa berat, seberat nafas pasien Covid-19 fase ketiga. Ada sekitar 2 menit gue berdiri memroses ucapannya, sebelum gue berbalik menghadap ke lautan siswa-siswi. Gue menatap mereka, mereka menatap gue. Kami saling bertatapan seperti penagih pinjol dan nasabah tertagih. Semua terdiam. Hening yang kikuk. Lalu gue tersenyum berseri. Dua tangan terangkat ke udara, kemudian menghentak ke samping pinggang, seraya berteriak, “YES!” Seketika itu juga semua anak di lapangan berteriak heboh, melompat-lompat. “WUOOOOOOHHH! WUOOOOOH!” 

Gue berlari ke arah mereka dengan lengan terbuka. Demikian juga mereka berlari menyambut gue bak striker yang baru saja membobol gawang lawan dan memenangkan liga kampiun. Badan gue mereka angkat ke atas kepala mereka. Tangan-tangan di bawah mengarak gue ke sana-kemari. “Joni! Joni!” Nama itu menggema di udara. Gue melejit menjadi pria terdahsyat, sebagai seorang siswa yang berhasil merebut hati guru tercantik di sekolah.

Hanya satu hal yang mereka tak tahu…….., yaitu jawaban Bu Ervinah yang sesungguhnya. 

Hari itu.... setelah anak-anak kembali ke kelas, gue mengendap-endap, menyelinap pulang ke rumah. Gue bolos. Jujur, gue gak tahu apakah gue bisa kembali ke sekolah itu lagi. 

Di kamar di depan laptop gue mewek. Jari-jari gue mengetik dengan cepat, inspirasi mengalir sederas sungai kala banjir, namun bukan tentang mahadaya cinta, lebih tepatnya akan kebodohan cinta, sakitnya cinta, dan malunya cinta. Ohohohoho….  “Ya Allah, begini amat rasanya.”

Sesungguhnya inilah yang terjadi. Tadi siang setelah gue tembak, Bu Ervinah menunduk malu, tapi bukan karena senang atau hatinya berdebar-debar, melainkan lebih kepada marah dan merasa telah dipermalukan di depan umum. Tatapannya begitu dingin di bawah nol, terasa menusuk hingga ke sumsum tulang belakang. Beliau bilang,  “Dasar gendut, ibu benci kamu!” Mental gue terguncang. Akh! Gue tak pernah menyangka, kalau drama tragedi bisa dirangkum dalam lima kata. 

Tiba-tiba punggung gue merasakan tekanan sejuta tatapan. Gue menoleh ke belakang. Tangan gue dingin dan berkeringat. Kalau sampai mereka tahu jawaban Bu Ervinah, bagaimana gue bisa hidup setelah ini? Detik itu juga otak gue berkata, “Berakting lah! Bersandiwara lah seperti topeng monyet bila perlu.” Melihat tak ada jalan keluar lain, gue berpura-pura seolah Bu Ervinah menerima cinta gue. Gue pasang ekspresi bahagia, dan berteriak YES! untuk menyembunyikan malu. 

Ah, paling sebelum jam pulang sekolah, anak-anak akan tahu kebenarannya. Bangkai tak bisa lama-lama ditutupi. Nama gue memang akan diingat, tidak hanya oleh tiga angkatan, tapi juga sampai angkatan ke bawah-bawah. Hanya saja bukan sebagai jawara cinta, melainkan sebagai seorang pembohong dan pecundang, cowok tergoblok sepanjang masa. 

Ah, apakah jabatan menteri pendidikan sedang lowong? Rasanya gue ingin melamar, supaya bisa menambah jumlah jam pelajaran matematika buat kalian. 

Efek kata-kata Bu Ervinah bagai mantra sakti penggugur mantra pengasih. Tidak, tidak bahkan lebih berat dari itu, mampu mengubah pangeran tampan menjadi seekor katak. Tidak, lebih buruk dari itu, seekor babi. 

Gue tarik sebuah timbangan di depan kaca. Jarumnya bergerak melesat melebihi ekspektasi, tahu-tahu sudah menunjuk angka 110. Gue tatap kaca, di saat itu juga self image positif gue yang ganteng bak artis Korea, hancur. Tak ada lagi mahakarya Michelangelo. Yang ada berubah menjadi siluman babi, Cu Pat Kai. Jangan-jangan gue adalah Laksamana Tian Feng yang dihukum kaisar langit untuk menjalani 1000 reinkarnasi sebagai siluman dan dalam setiap kehidupannya harus merasakan penderitaan cinta. 

“Ah, dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir…”

Mungkin karena suratan takdir, maka jimat pun tak mampu menolong. Seperti Cu Pat Kay yang tak bisa berbuat apa-apa saat Chang E, dewi bulan yang ditaksirnya, jatuh dari bulan ke pelukan laki-laki lain. Berapa kali pun ia memutar Roda Waktu, ia tidak bisa mengubah nasib. Atau jangan-jangan Mang Oja berbohong sama gue. Jimat kuning itu tak lebih hanya kertas biasa. Entahlah. 

Buntut dari insiden itu pihak sekolah menelpon ke rumah. Gegerlah pecinan, eh orang tua gue. Alhasil nyokap mendobrak pintu kamar, sambil membawa kemoceng bulu ayam dan mengejar-ngejar gue. “Anak durhaka! Anak tak tahu diri!” Melompat lah gua mencari selamat, menghindar ke kiri dan ke kanan, menempel, memanjat tembok bagai cicak dikejar emak-emak. “Jangan menghindaaaar!” teriak ibu gemas.

Nasi sudah menjadi bubur. Aib sudah tercoreng. Gilotin telah diasah, menanti leher terdakwa. 

Gue dan ortu diminta menghadap kepala sekolah keesokan harinya. Jikalau seorang murid harus pergi menemui orang nomor satu di sekolah itu bersama ortu, bisa kebayang beratnya permasalahan ini.

Di sekolah, ibu gue nangis-nangis persis kala di pengadilan agama. Bapak berusaha menenangkannya. Kalian tidak tahu rasanya pergi ke sekolah hari itu, rasanya lebih menakutkan daripada pulang ke kandang singa.

Sejak dari gerbang sekolah waktu bergerak sangat lambat. Semua orang memandang ke arah gue dan mencibir. Gue menengok kiri dan kanan, berharap ada pejabat korup berjaket oranye KPK di sekitar gue. Ternyata tidak ada. Semua itu ditujukan ke gue. 

Sebuah telur mentah melayang dan pecah di belakang kepala. Prak! Rambut gue jadi lengket dan amis. Mau marah? Ah sudahlah ini hukuman yang pantas buat gue. Gue telah berbohong ke mereka. Bersihkan saja ke toilet. Setidak telur masih bisa dibersihkan, tidak seperti nama.   

Sesudah itu, kami lanjut menuju ke ruangan kepala sekolah. Di dalam ruangan itu telah menanti bapak kepala sekolah dan Ibu Ervinah. Wanita itu duduk dengan tegak, bahasa tubuhnya terkontrol. Dengan baju seragam,  jilbab kuning dan blouse batik biru, membuatnya seperti merak yang anggun. Ia melirik kedatangan gue dari sudut mata, tak sudi memandang.

Bapak berbisik kepada ibu, “Itu guru yang ditembak Joni?”

“Sepertinya,” jawab ibu. 

“Wah, memang cantik sih.” 

Komentar bapak membuat ibu cemberut. Sepertinya dia panas. “Jaga matamu!”  

Selanjutnya ibu menghampiri Bu Ervinah dengan wajah tak enak hati dan berkata, "Ibu Ervinah, ya? Aduuuh maafkan lah anak saya, maafkan lah dia. Dia memang kurang ajar, anak tidak tahu diri. Suka berbuat yang aneh-aneh. Kalau bisa mau saya jual saja anak itu. Keterlaluan memang dia."

“Joni, minta maaf kepada Bu Ervinah!” perintah bapak. 

Gue menurut, menghampiri Bu Ervinah dan menjulurkan tangan gue terbungkuk-bungkuk, “Bu, maaf…” Tapi tangan gue tak digubrisnya. Gue menengok ke bapak ibu. Mereka hanya menghela nafas panjang.

“Silahkan duduk,” kata bapak kepala sekolah.

Di ruangan itu gua habis disidang oleh bapak kepala sekolah mengenai sopan santun, etika, cara bersikap, menghormati guru dan sebagainya. Ditambah Bu Ervinah yang juga menumpahkan uneg-unegnya (tapi ia tetap cantik walau lagi marah). Gue gunakan jurus membantu dan Telinga Tai Chi. Namun kali ini kedua ilmu ini tak kuat menghadapi gempuran sekuat Tsunami. Apalagi ketika bapak kepala sekolah melancarkan satu serangan mematikan, yaitu, “Jadi demi menjaga marwah sekolah, Ibu Ervinah, dan staf guru dengan sangat berat hati, bapak harus mengeluarkanmu dari sekolah.”

Gue lemas. Kenapa hukumannya seperti siswa pengguna narkoba? 

Ibu gue histeris mendengar vonis sidang itu. Ia menjerit ke bapak,"Pak, anak kita, pak!" ia mengguncang-guncang tubuh bapak, “Lakukan sesuatu, pak!” 

Bapak menjawab, "Mau bagaimana lagi?"

Ibu melompat dari bangku, bergegas ke sebelah bapak kepala sekolah, gantian mengguncangnya. "Bapak kepala sekolah, jangan keluarkan anak saya," mohon ibu, “Beri dia kesempatan.”

"Maaf, keputusan sudah diambil," jawabnya dengan suara bergetar.

Ibu beralih ke Bu Ervinah, dan giliran ibu mengguncang-guncangnya, "Saya yang salah sebagai orang tua, tak bisa mendidik anak. Maafkan anak saya… Hukum saya saja…, hukum saya saja, Bu Ervinah."

Ibu Ervinah diam saja, ia tampak bingung juga menghadapi reaksi ibu. 

Bapak segera berdiri, menghampiri ibu, berusaha menenangkannya dan mengajaknya kembali duduk. "Sudah, sudah, jangan bikin malu."

“Anak kita, pak….”

“Sudah….”

Setelah ibu agak tenang, bapak kepala sekolah kembali bicara. “Baiklah terhitung mulai hari ini, Joni bukan lagi siswa sekolah ini."

Gue pasrah mendengar keputusan itu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang dari arah pintu, "Kami menolak keputusan bapak!"

Lima anak berseragam SMA masuk ke dalam ruangan mengenakan Topeng Dali. Sebuah topeng yang berciri khas kumis panjang melengkung ke atas. Di pergelangan lengan kiri mereka terikat kain merah.

Salvador Dali, pelukis legendaris dari Spanyol. Seniman yang boleh disejajarkan selevel Pablo Picasso, seorang pionir bergaya surealis. Aliran lukisannya menggambarkan pemberontakan kepada definisi seni yang baku pada masanya. Oleh karenanya ia sering dianggap melambangkan perlawanan. 

"Joni adalah seorang pahlawan. Kami ingin dia tetap berada di sekolah ini," kata salah satu dari mereka yang mengenakan rok, sementara empat lainnya memakai celana panjang. 

Siapa kelima murid ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status