Share

Lamaran menyakitkan hati

~~~***~~~

Eh, kalian tahu gak sih? Irfan ninggalin Ayu buat nikah sama Desi. Kok bisa gitu ya? Padahal apa kurangnya Ayu daripada Desi?”

“Mereka kan tidak direstui orang tua masing-masing, jadi wajar saja berpisah.”

"Tapi katanya, selama pacaran, Ayu itu manja, gak menghargai Irfan sebagai laki laki. Sering nyuruh sesuka dia. Ngelunjak ."

"Iya, betul. Katanya pacaran sama Ayu mah main-main. Irfan cintanya sama Desi dari dulu."

"Selama pacaran, Ayu sering morotin, makanya orangtua Irfan gak setuju. Dan bla … bla …"

Langkah kaki Ayu terhenti didepan gardu. Didalam sana, teman-temannya sedang ramai menggosipkannya. Sepertinya mereka tak menyadari kehadirannya karena mereka masih asyik bergosip. Ayu meringis dalam hati, bagaimana bisa teman-temannya membicarakannya dibelakangnya padahal selama ini mereka sering nongkrong bareng. 

Suara bisikan yang menggosipkannya itu tiba-tiba berhenti, sepertinya kini mereka menyadari kehadiran Ayu. Wajah mereka berubah pucat meski senyum palsu terbit dibibir mereka.

"Eh Ayu, darimana? Nongkrong sini yuk, biar rame," celetuk Tia, tetangga belakang rumahnya.

Ayu tersenyum, getir," nanti aja. Mau makan baso dulu takut dingin. Duluan ya..!" 

Ayu pamit pergi tapi tak ada yang menyahutinya. Ayu tertawa pilu. Apa yang dia harapkan? Mereka berbalik simpati padanya, padahal mereka baru saja membicarakannya?

Langkah Ayu melambat saat melihat banyak para pedagang makanan berkumpul didepan rumah Desi yang sudah dihias seadanya. Jarak rumahnya dan rumah Desi yang terpisah lima rumah, meski rumah Desi berada dibalik tikungan, membuatnya bisa melihat jelas apapun yang terjadi disana. Kerumunan orang nyaris membanjiri jalanan, seakan sedang terjadi pembagian sembako saja disana. bahkan jumlah kendaraan yang parkir sampai ke rumah tetangganya, saking banyaknya kendaraan yang mengiringi acara lamaran. Karena tradisi masyrakat disini, apabila ada yang melamar, pasti banyak yang mengiringi dari pihak calon mempelai pria. Apalagi bila sang calon mempelai pria berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Yang mengiringi nyaris sekampung itu sendiri. Seperti Irfan ini, salah satu orang terkaya dan terkenal sebagai juragan kambing di kampungnya.

Ayu menggigit bibirnya, pahit. Seharusnya Ayu mengingat hari ini, hari dimana Irfan akan melamar Desi untuk menjadi pendamping hidupnya kelak. Bodoh sekali ia keluar rumah tadi. Gara-gara ingin membeli baso super pedas. Dan sekarang ia harus menelan pil pahit. Menjadi obyek gossip semua orang dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Irfan akan melamar teman dekatnya.

Tak tahan lagi, Ayu berlari memasuki rumahnya. Ia menutup pintu, jendela dan gorden rapat- rapat. Ia harap tak akan mendengar suara apapun diluar sana. Ayu memasuki dapur dan meletakkan basonya begitu saja. Ia sendiri membuka lemari pendingin dan meminum air dingin untuk menyegarkan isi otaknya yang ngebul. Pandangan matanya kosong menatap cicak-cicak di dinding. Emaknya yang sedang makan rengginang, menatap Ayu bingung.

“Loh, kok malah bengong? Bukannya dimakan tuh baso?”

“Buat Emak aja.”

Ayu menyodorkan basonya ke hadapan Emaknya, yang langsung diterima Emak dengan senang hati. Dari tadi dia menahan liurnya melihat bakso urat berwarna merah yang menggoda. Pasti pedas pisan. Ayu duduk memperhatikan emaknya menuang baso ke dalam mangkuk dengan wajah murung.

 "Jangan mikirin si Irfan lagi, dia udah mau jadi milik orang. Kayak gak ada cowok lain aja." Asih memukul lengan Ayu, membuat Ayu tersentak dari lamunannya.

“Siapa yang mikirin A Irfan? Ayu biasa aja.”

“Jangan bohong, Emak sudah hapal gelagat tubuhmu dari dulu. Kamu masih mikirin si Irfan itu kan? Buktinya dari tadi bengong aja. Lupain lah, pamali mikirin calon laki orang!”

Ayu hendak membantah tapi bapaknya tiba-tiba datang dari belakangnya, menyelanya.

"Bener banget. Neng tahu gak, si Irfan dinikahin sama si Desi soalnya si Dicky sewot dombanya kalah terus. Sengaja dia milih Desi biar kamu sakit hati trus gila. Balas dendamnya ke bapak lewat kamu. Karena kalau kamu stress, bapak juga bakal stress. Ngerti gak, Neng?"

"Lagian bapak kenapa sih berantem mulu sama uwa Dicky? Jadinya Neng gak bisa nikah sama a Irfan?”

 "Kamu pikir Bapak seneng berantem sama dia, gitu? Bapak mah suka ngalah, tanya aja ke orang-orang. Itu sih Dicky-nya aja yang dendaman soalnya domba jalunya kalah terus. Udah tahu gak pernah menang ngelawan si Asep, tapi nantangin mulu."

"Tapi Bapak juga respon terus. Buktinya ditantang adu domba malah ngeiyain bukannya menghindar, giliran kalah, musuhan. Efeknya ke hubungan Ayu sama Irfan. seolah-olah Ayu ditinggalin nikah karena pertikaian kalian."

"Biarin aja orang ngomong apa. Yang penting kalian tidak jadi nikah. Keluarganya itu panasan, gak bisa lihat Bapak sukses dikit langsung nantangain aja. Bapak mah sebenarnya suka menghindar. Dianya yang suka deketin karena pengen ngalahin bapak. Bapak merespon cuman bela diri, buat ngejaga harkat martabat kita. Bisa abis kita ditindas orang kalau ngalah terus mah."

"Tapi ..." Ucapan Ayu diputus emaknya.

"Kayak gak ada cowok laen aja, belain si Irfan terus. Emang dia ngapain kamu sampe segitunya dibelain terus. Udah lupain, cari yang lebih ganteng, lebih kaya, trus sayang ke Emak Bapak. "

Ayu merengut, menahan airmatanya yang nyaris  terjatuh.” Siapa juga yang masih inget Irfan? Bodo amat. Dia udah mau jadi suami orang ini,"  beda bibirnya yang berkata tak ingat Irfan lagi, hatinya meraung-raung tak terima Irfan meninggalkannya.

"Tuh nyadar, kirain saking cintanya mau ngerusak rumahtangga orang. Awas aja kalau sampai kamu jadi pelakor. Emak gak terima anak Emak murahan kayak gitu.” 

"Ih, apaan sih. Ayu mah cewek baik-baik, gak mungkin ngelakuin itu. Udah ah jangan bahas dia terus. Bikin nafsu makan Ayu ilang aja,"

Ayu bergegas masuk kamar, meninggalkan kedua orangtuanya yang berebut makan bakso. Ayu menaiki kasurnya, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Sayang, segimanapun logikanya ikhlas melepas Irfan, tapi hatinya mengatakan sebaliknya. Ia tak rela!

***

Sementara itu di rumah Desi, acara pertunangan Desi dan Irfan berlangsung lancar meski Irfan lebih banyak terlihat diam. Kedua orangtua kedua belah pihak tampak bahagia karena akhirnya mereka bisa saling besanan.

"Akhirnya kita bisa besanan. Bukan gitu?" Kata Emaknya Desi bahagia.

"Iya. Coba dari dulu dia begini. Gak bakal jadi bujang lapuk dia."

Terdengar suara tawa orang-orang mendengar lelucon ayah Irfan. Semua juga tahu Irfan masih muda, 25 tahun mah belum lapuk alias lagi panas-panasnya. Sementara Irfan yang menjadi obyek pembicaraan memilih diam saja. Ia mengeluarkan ponselnya karena terdengar bunyi suara pesan masuk. Dalam sekejap, ia seperti melupakan acara penting malam ini dan memilih hanyut dengan ponselnya, satu-satunya pelipur lara kesedihannya. Sungguh, sikap yang tidak sopan!

Desi yang duduk disampingnya, menahan dongkol dalam hati karena Irfan lebih memilih bercumbu dengan benda mati itu daripada mengobrol dengannya. Padahal ini kan acara lamarannya, hari special mereka dimana mereka selangkah lagi akan menjadi suami istri. Seharusnya Irfan memfokuskan perhatiannya hanya padanya, bukan pada kotak tipis warna hitam itu.

Diluar awan cerah. Senja beranjak malam tapi suasana di halaman rumah Desi yang besar dan luas itu masih tampak ramai. Si empunya hajat dibantu sanak saudara mengeluarkan makan malam di luar ruangan supaya bisa makan bersama-sama dengan para tamu pengantar. Begitulah, bila acara lamaran, maka pihak keluarga perempuan akan menyuguhkan makanan berat dan ringan. Yang dilanjut makan malam bersama.

Desi mengambilkan Irfan makanan dan mengulurkanya depan Irfan yang masih saja memainkan ponselnya. Desi menahan kedongkolannya dalam hati. Ia sungguh marah, tapi ia benar-benar tak berkutik. Ia tak mungkin, kan, memarahi Irfan dihari penting ini? 

"Makan sama soto aja, gak papa, kan?" Tanya Desi sambil tersenyum manis. Ia harap Irfan senyumnya bisa mengalihkan focus Irfan.

Hari ini Desi mengenakan baju tunic berwarna merah dan celana hitam, ditunjang make up yang sesuai membuat penampilannya*manglingi. Ia memang sudah ke salon dari jauh-jauh hari supaya hari ini ia bisa tampil memukau banyak orang. Hasilnya tidak mengecewakan. Semua orang memujinya cantik. Sayang, disaat yang lain ramai memujinya, Irfan diam saja membuatnya dongkol.

 *beda, mempesona

"Terserah,"

Irfan masih acuh padanya. Desi merapalkan kata sabar dalam hatinya berpuluh-puluh kali. Ia mesti sabar menghadapi Irfan saat ini. Mungkin ia masih patah hati karena meninggalkan Ayu. Seiring waktu ia yakin bisa meraih hati Irfan. Toh dulu, setiap Ayu berhalangan menemani Irfan, ia yang menggantikan. Dan Irfan selalu senang saat bersamanya. Ini hanya masalah waktu.

"Simpan dulu ponselnya. Makan dulu, ya! Mau aku suapin?" Desi berkata lagi. Ia pegal dari tadi memegangi piring nasi untuk Irfan tapi Irfan tak jua mengambilnya.

"Diem aja, bisa kan? Aku udah gak nafsu makan lagi denger suara kamu!" Irfan menjawab ketus tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel membuat kesabaran Desi hilang. Ia meletakkan piring ditangannya ke lantai disamping makanan lainnya.

"Ya udah kalau gak mau makan, gpp ko." Desi menyahutinya dengan senyum manis. Berbanding terbalik dengan hatinya yang berteriak marah tak terima Irfan memperlakukannya seperti itu.

Sikap kedua calon pengantin itu tak luput dari pengamatan orang-orang. Desi mulai gelisah saat beberapa orang tamu melihatnya dan Irfan dengan tatapan menyelidik. Siapa yang tidak merasa penasaran. Di acara lamaran yang penting ini, dimana seharusnya kedua calon saling tersenyum bahagia. Ini malah sebaliknya. Yang lelaki sibuk memainkan ponselnya, yang perempuan duduk disampingnya, gelisah sendiri. Harusnya di acara sepenting ini, sang lelaki menunda dulu memainkan ponselnya dan focus dengan pasangannya.

Memang sesibuk apa urusannya sampai di acara lamaran pun tidak bisa ditunda.

Sadar pandangan penasaran orang-orang pada mereka semakin bertambah, Desi pun menggenggam jemari Irfan yang satu lagi. Seolah-olah ingin mengatakan kalau ia dan Irfan baik-baik saja. Untungnya Irfan pun tak marah dengan kelakuannya.

Lagi hubungin siapa sih, Ai? Sibuk pisan?" Desi senyum-senyum manja. Ia malah sengaja memepetkan badannya ke lengan Irfan, sehingga buah dadanya menempel di lengan Irfan. Untunglah Irfan tidak menepisnya, kalau tidak, Desi memilih pergi ke kamarnya saja. Ia malu!

Desi bersandar dilengan Irfan sambil berusaha mengintip isi chat Irfan namun Irfan mematikan ponselnya, sehingga Desi tidak bisa melihat isi pesan itu.

"Bukan siapa-siapa. Cuman calon pembeli kambing !" Irfan menyahut ketus membuat Desi lagi-lagi menggeram dalam hati.

Sabar … sabar! Harus sabar biar cepet jadi orang kaya.

Sepanjang acara itu, Desi terus merapalkan kata sabar beribu-ribu kali didalam hatinya menghadapi sikap ketus Irfan. Sebenarnya ia ingin mengamuk karena tak suka diperlakukan seperti ini tapi ia menahannya. Gak lucu kan kalau diacara lamarannya ini, ia malah bertengkar dengan calon suami. Bisa-bisa pernikahannya terancam batal. Jadi yang bisa ia lakukan sekarang adalah berpura-pura tersenyum bahagia. Meski tak ada yang menyadari dibalik senyum bahagianya, hatinya mendidih membayangkan Irfan dan Ayu bisa saja sedang berkomunikasi berdua.

 Kalau sampai kamu masih menghubungi Irfan, awas kamu, Yu!

~~~***~~~

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
kalau pengen kaya kenapa gak nikah sama Bill Gates ja 🤭🤭🤭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status