Share

Ke Puncak Gunung Bawakaraeng

Bab 5

Udara dingin Gunung Bawakaraeng serta kabut yang masih tebal menyelimuti pendakian kami pagi itu.

"Len, lumayan dingin yah," kataku kepada Lenny sembari merapatkan jaketku sembari tidak sadar aku meraba perutku 

"Selamat menikmati pendakian ini anak, Sayang" bisikku dalam hati yang mulai merasakan adanya kedekatan dengan anak di rahimku ini. 

"Iya Aya, kabutnya juga masih tebal banget," tukas Lenny yang berjalan di depanku.

"Iya nih, untung aku sudah mandi tadi jadi hawa dinginnya ngga terlalu menusuk," tukasku sambil terus berjalan

Walaupun tas ransel dipunggungku isinya cuma mie instan dan air gelas tapi cukup menambah berat beban perjalananku. Tetapi entah kenapa aku merasakan ada tenaga yang mendorongku hingga aku dengan mudah mencapai puncak Gunung Bawakaraeng.

Kakak-kakak senior berjalan di depan kami, mereka sudah terbiasa mendaki di gunung ini, sehingga langkah mereka juga cepat karena sudah terbiasa. Kami sudah berjalan selama satu jam dan sudah memasuki Pos Empat, di mana ada Sembilan Pos yang harus kami lewati untuk sampai ke Puncak.

Kakak bermata dinginku berjalan paling belakang sembari membawa perlengkapan obat-obatan, untuk jaga-jaga siapa tahu ada teman-teman pendaki yang mengalami kecelakaan.

Walaupun Gunung Bawakaraeng ini adalah favorit para pendaki, tetapi sering juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang menimpa oleh para pendaki.

Seperti kejadian sebulan yang lalu di mana tiga orang pendaki dinyatakan hilang dan cuma dua orang yang berhasil ditemukan selamat sementara satu orang ditemukan sudah meninggal dunia. Hal itu biasanya disebabkan oleh cuaca dingin sehingga banyak pendaki yang mengalami penurunan suhu tubuh atau hipotermia.

"Haloo.. Assalamualaikum semuanya, sekarang kita berada di pertengahan Puncak Gunung Bawakaraeng kawan-kawan, tetap rapatkan barisan dan tetap semangat!"  salah seorang kakak senior yang memandu kami berteriak dengan lantang melalui pengeras suara.

Kami serentak menjawab "Siapppp kaak..!"

***

Setelah menempuh tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Puncak Gunung Bawakaraeng, udara dingin Kota Malino tempat Gunung Bawakaraeng ini bersemayam, hampir menyamai dinginnya suhu di dalam kulkas freezer walaupun matahari sudah memancarkan sinar cerahnya tidak mampu menghalau hawa dingin di Puncak Gunung Bawakaraeng ini.

"Kawan-kawan, kita mendirikan tenda disini saja," kata ketua rombongan kami.

Segera kami mengeluarkan segala peralatan tenda dan mulai mendirikan tenda kemudian aku dan teman-teman gengku mulai mengeluarkan peralatan masak dan bekal yang kami bawa.

Setelah kegiatan memasak selesai, aku dan teman-teman gengku pun kemudian makan dengan makanan seadanya yang kami bawa dari rumah di dalam sebuah tenda beralaskan tikar dan berdinding kabut tebal Puncak Gunung Bawakaraeng.

Selesai melahap semua makanan, aku dan teman-teman gengku kemudian berfoto-foto karena tentu saja kami ingin mengabadikan momen istimewa seperti ini, yang belum tentu kami akan mengunjungi Puncak Gunung Bawakaraeng ini lagi.

"Ayo genk, kita selfie di dekat Bunga Edelweis ini yuk," ajakku kepada teman-teman gengku saat melihat rimbunan bunga edelweis yang tumbuh subur di Puncak Gunung Bawakaraeng ini.

Bunga Edelweis atau biasa disebut dengan Bunga Keabadian ini banyak tumbuh di sekitar kami, bunga yang cuma bisa hidup di atas puncak gunung ini terlihat begitu indah memukau terhampar luas sejauh mata memandang.

"Halo Kawan-kawan semua, sekarang waktunya kita istirahat, silahkan kalian beristirahat karena acara akan dilanjutkan nanti malam setelah ba'da Isya." terdengar seruan dengan pengeras suara dari Kakak Senior.

Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok kakak bermata dinginku yang cuma tadi pagi aku bertemu dengannya saat membeli Bunga edelweis pada penjual souvernir di kaki gunung ini.

***

Malam jam delapan, kami semua mengelilingi api unggun, udara dingin Gunung Bawakaraeng sedikit berkurang dengan hangatnya bara api dari api unggun.

Kami menyanyikan lagu-lagu Kebangsaan setelah itu di lanjutkan dengan Lagu Mars Pecinta Alam sehinggaa suasana kegembiraan terasa sekali, membuat aku merasakan kedekatanku kepada Tuhan Pencipta Semesta Alam dan suatu kebanggaan buatku karena dengan kondisiku yang tengah hamil muda, tetapi aku bisa di sini malam ini menikmati indahnya Puncak Gunung Bawakaraeng bersama dengan teman-teman gengku, sungguh merupakan pengalaman yang tidak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.

Menjelang tengah malam, acara api unggun berakhir dan kami kembali ke tenda masing-masing untuk tidur dan beristirahat menyiapkan tenaga untuk kegiatan di keesokan harinya.

Jam 06:00 pagi, alarm  berbunyi, suaranya menggelegar di tengah kabut dan hamparan tenda-tenda pendaki, alarm ini menandakan bahwa kami harus berkemas-kemas untuk persiapan pulang.

Aku segera terbangun dan segera pergi membasuh mukaku dengan air gelas yang hampir membeku,.saking dinginnya suhu di Puncak Gunung Bawakaraeng ini, membuat aku sontak menggigil kedinginan.

Lenny dan Indri juga sudah bangun dan mulai berkemas. Setelah selesai mencuci muka kami membereskan semua perlengkapan masak kami masukkan kembali ke dalam ransel.

"Haloo... Perhatian-perhatian kepada semua anggota Klub Pecinta Alam dari Kampus *** Makassar, harap berkemas karena kita akan bersiap-siap untuk pulang, harap lokasi tenda dibersihkan kembali seperti sedia kala dan setelah semua tenda dilipat, diharapkan untuk segera berkumpul di lapangan!" terdengar suara Kakak Senior memberikan instruksi dari pengeras suara.

Setelah mendengar instruksi tersebut kami melanjutkan membuka tenda kemudian membersihkan lingkungan sekitar tempat kami berkemah semalam. 

Sampah-sampah plastik dan yang lainnya kami kumpulkan kemudian kami bakar, setelah selesai semua sesuai instruksi Kakak Senior kami kemudian menuju ke lapangan yang tidak jauh dari area perkemahan.

"Assalamualaikum warahmatullahi, Puji dan Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena semua kegiatan acara kita ini berjalan lancar dan sukses, dan sekarang kita akan bersiap-siap untuk turun gunung dan mari kita berdoa bersama, semoga diperjalanan kita sebentar ini juga berjalan aman dan lancar, mari berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing, doa di mulai!"

Kami semua menundukkan kepala kemudian berdoa dalam hati. "Ya Allah terima kasih engkau telah melindungi kami selama perjalanan ini, dan semoga perjalanan kami pulang sebentar juga tetap dalam lindunganMu amin." bisikku dalam hati.

"Aaargghhh ..ampuunnn...!" Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara teriakan yang sangat keras dari kejauhan tapi terdengar jelas di lapangan tempat kami berkumpul, sontak kami mencari asal suara tersebut yang rupanya berasal dari perkemahan lain yang berdekatan dengan lokasi perkemahan kami.

Salah seorang kakak senior, aku lihat berlari mengejar sumber suara tersebut diikuti oleh teman-teman yang lain.

"Apakah kita akan ikut mencari sumber suara itu?" tanyaku kepada teman-teman gengku.

"Ayo kita lihat kesana, aku penasaran ingin tahu apa yang terjadi," kata Indri diikuti anggukan kepala teman-teman yang lain.

"Baiklah, ayo!" seru Irma dan kami pun berlari ke asal suara tersebut.

Tak jauh dari tempat perkemahan kami, terlihat sudah banyak kerumunan orang yang penasaran juga ingin mengetahui apa yang terjadi, kami mendekati dan mencoba melihat ada seorang perempuan tengah pingsan sedang dibantu dengan alat pernapasan.

Aku mencoba bertanya kepada salah seorang yang ada disitu "Kenapa dia, Kak?" tanyaku.

"Dia tiba-tiba pingsan, dia sempat berteriak tadi terus kemudian pingsan," jawab orang yang aku tanyakan.

"Mungkin dia ada melihat sesuatu sehingga tiba-tiba berteriak dan pingsan," tambah orang itu lagi.

Aku terdiam dan mundur kebelakang saat mendengar penjelasan orang tersebut, biar bagaimanapun aku juga takut bila kejadian seperti ini menimpa kepadaku.

"Entah makhluk apa yang sudah dilihat tadi sehingga adik ini berteriak dan kemudian pingsan," kata Lenny sembari menarik tanganku.

"Ayo Aya, kita pergi saja dari sini," kata Lenny dan akupun mengikuti menjauhi tempat itu.

"Ayolah kita pergi saja, biar bagaimana  juga tidak bisa memberikan pertolongan apa-apa," kata Irma menuruti ajakan Lenny untuk menjauh dari tempat itu.

"Kejadian seperti ini sudah sering kali terjadi menimpa para pendaki yang datang ke Gunung Bawakaraeng ini," kata Indri menjelaskan saat kami berjalan kembali ke lapangan tempat kami berkumpul tadi.

"Mungkin dia ditegur oleh penghuni halus di sini sehingga mereka menampakkan diri dan adik yang pingsan ini sangat kaget melihatnya sehingga berteriak dan pingsan." Tebak Lenny seperti juga yang melintas di pikiranku.

"Kemana semua kakak-kakak senior yah? Kita jadi pulang nggak nih?" tanya Lenny masih agak gugup dengan kejadian barusan.

"Iya nih, aku juga mulai takut, aku mau pulang saja," sergah Indri, wajahnya menampakan raut ketakutan.

"Aku juga kaget tadi mendengar suaranya, bukan seperti suara manusia tadi suaranya keras dan nyaring, mirip auman serigala," kataku masih mengingat suara lengkingan itu.

"Heii... Itu Kak Adit!" seru Indri sambil memanggil Kak Adit yang berdiri tidak jauh dari kami.

"Kakkk Adiittt!" teriak Indri Kak Adit nampak menoleh dan berjalan ke arah kami.

"Kalian tidak apa-apa?" tanyanya begitu sampai di dekat kami.

"Kami mau pulang saja, Kak," kata Indri.

"Kalian ketakutan yah?  Anaknya sudah di bawa turun oleh Tim SAR, kok. Ayo kita juga turun!" ajak Kak Adit,.kami langsung bergegas menuju jalan yang kemarin kami lalui dengan Kak Adit sebagai penunjuk jalan kami.

Sambil berjalan kakak bermata dingin menceritakan tentang mitos yang berkembang mengenai Gunung Bawakaraeng ini dan  mendengarkan ceritanya sembari terus berjalan.

"Kalian sudah tahu belum, mitos yang berkembang tentang Gunung Bawakaraeng ini?" tanya kakak bermata dingin atau Kak Adit 

"Belum tahu kak!" seru Irma.

"Oh ya, kalian mau dengar tidak nih mitosnya?" tanya Kak Adit lagi.

"Iyah maulah Kak," kata kami serentak lagi.

"Baiklah, begini cerita mitosnya, konon di Gunung Bawakaraeng ini yang merupakan Gunung tertinggi kelima di Sulawesi ini mempunyai cerita mistis dan mitos yang dipercaya oleh semua masyarakat sekitar tempat gunung ini, bahwa Gunung Bawakaraeng ini diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan oleh masyarakat sekitar, masyarakat setempat meyakini bahwa Gunung ini merupakan tempat pertemuan para Wali yang naik ke puncak pada bulan Dzulhijjah tepatnya tanggal 10, mereka juga melakukan Sholat Idul Adha di sana atau di Puncak Gunung Bawakaraeng ini," jelas Kak Adit yang berhenti sebentar.

"Masyarakat disini masih menjaga budaya leluhur setempat, salah satunya setiap tahun masyarakat kaki gunung beramai-ramai mendaki hingga puncak untuk melaksanakan Sholat Idul Adha atau ritual 1 Muharram dengan membawa hasil panen dan ternak berupa ayam dan kambing." Kak Adit menghela nafas sejenak kemudian melanjutkan lagi, "Di atas puncak hewan itu dilepas kemudian jadi rebutan warga lainnya, ritual ini biasanya di gelar setiap tanggal 1 Muharram setiap tahunnya."

"Bahkan masyarakat setempat meyakini bahwa jika seseorang telah mencapai Puncak Gunung Bawakaraeng pada saat Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Haji, sama halnya sudah menunaikan Ibadah Haji, mereka percaya bisa berhaji seperti halnya menunaikan Haji di Tanah Suci Mekkah, maka jangan heran bila saat Hari Raya Idul Adha banyak masyarakat Sulsel bahkan dari luar Sulsel yang datang mendaki ke Gunung Bawakaraeng ini."

Tak terasa perjalanan kami memasuki Pos Tiga dan Kakak bermata dingin menunjuk ke sebuah pohon besar di tempat itu.

"Ada mitos juga yang mengatakan kalau ada hantu perempuan yang sangat cantik bernama Noni yang mengakhiri hidupnya di pohon besar itu." kata Kak Adit membuat kami semua menengok ke pohon tersebut tetapi tetap memasang telinga untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

"Noni ini katanya sering menampakkan diri di saat bulan purnama, menurut cerita Penduduk Lembanna, nama sebuah desa di kaki gunung ini, apabila bulan purnama tiba, lalu angin tak berhembus kencang dan terdengar suara lolongan anjing sebaiknya jangan mendaki atau keluar tenda dulu, karena bisa bertemu dengan Noni yang tiba-tiba menampakkan diri, tetapi Hantu Noni ini kabarnya sering kali membantu para pendaki yang kesulitan misalnya mereka tersesat, kelelahan hebat atau kehabisan bekal, bahkan ada cerita bahwa Noni sering menemani, membuat makanan, sampai menuntun pendaki yang tersesat sampai ke desa terdekat di kaki Gunung Bawakaraeng ini." 

Kak Adit kemudian mengakhiri ceritanya saat kami telah sampai di Kantor Desa Lembanna dan langsung naik ke bus yang akan membawa kami pulang ke Makassar dengan membawa sejuta kenangan tentang Gunung Bawakaraeng.

Kenangan selama berada di Gunung Bawakaraeng ini sejenak mampu mengalihkan aku dari kegelisahan akan perutku, namun masalah besar ini masih menungguku sementara Kak Adit sendiri belum memberikan jalan keluar seperti yang dia janjikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status