Bab 4
Sore ini Klub Pencinta Alam di kampus akan mengadakan rapat untuk membahas tentang kegiatan mendaki. Aku dan teman-teman gengku sudah sepakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, nampak kakak senior sedang membimbing kami tentang peralatan apa yang harus disiapkan, bekal apa yang harus kami bawa dan tentu saja akomodasi apa yang akan kami gunakan nanti pada saat akan ke lokasi kegiatan.
Direncanakan kegiatan akan dilaksanakan pada hari Sabtu Minggu, berarti masih ada tiga hari untuk mempersiapkan semua bekal yang akan kami bawa mendaki.
Tidak terasa, akhirnya saat berangkat mendaki telah tiba segala bekal telah aku siapkan, dan bersiap-siap berangkat untuk kumpul dulu di kampus, tidak lupa aku pamitan dulu kepada Papa dan Mama untuk berangkat.
"Ma, Aya izin mau pergi mendaki bareng teman-teman kampus, doain Aya pulang dengan selamat yah, Ma." aku meminta izin kepada Mama.
"Mama izinkan sekalian Mama doain kamu balik dengan selamat, Nak," kata Mama sambil mengecup keningku.
"Pah, Aya berangkat dulu yah." sambil kuambil tangan papaku dan kucium punggung tangannya, Papa tersenyum dan menganggukkan kepala berarti beliau merestui aku pergi mendaki.
"Assalamualaikum," ujarku sambil mengangkat rangsel dan segera menuju ke pintu sembari menunggu teman-teman gengku yang berjanji akan menjemput karena bawaan kami yang lumayan banyak sehingga kami menyewa taksi online untuk membawa kami ke kampus.
Setiba di kampus, sudah terlihat kesibukan panitia pencinta alam menyiapkan segala sesuatunya, mobil bus yang akan mengantar kami menuju ke lokasi juga sudah siap.
"Ayo cepat, kita bergegas!" seru ketua rombongan, kami kemudian bergegas naik ke bus.
"Owh, my God," bisikku dalam hati. Ternyata kakak bermata dingin itu ikut juga dalam rombongan kami, dia yang memandu acara hiburan di atas bus. Setelah melakukan acara berdoa bersama, kakak bermata dinginku kemudian melanjutkan acara hiburan sehingga kami tidak bosan di perjalanan.
"Halo Kawan-kawan semua, senang sekali kita semua berkumpul disini, oh ya perkenalkan nama saya Adit, kalian boleh panggil Adit atau Kak Adit, sekarang kita akan isi perjalanan ini dengan hiburan dulu, yang ingin menyumbangkan suaranya silahkan maju kedepan," sapa Kak Adit kepada kami semua
"Oh namanya Kak Adit." terdengar suara riuh di atas bus saat Kak Adit memperkenalkan namanya.
"Semakin cakep saja Kak Adit, yah," kata Irma sembari melirik genit kepadaku.
"Iyalah, cakep, kalau nggak cakep mana mungkin si Aya mau," celetuk Lenny yang disambut dengan tawa dari teman-teman gengku.
Aku melirik Kak Adit dan dia melambaikan tangannya kepadaku, Aku cukup senang melihat lambaian itu setidaknya kakak bermata dingin menyapaku.
***
Akhirnya sampai juga di lokasi tujuan, kami tiba di sebuah desa di kaki Gunung Bawakaraeng yang akan kami daki, sebuah desa yang bernama Lembanna, terlebih dahulu kami ke Kantor Desa untuk melaporkan bahwa kami akan melakukan pendakian, ini memang harus dilakukan agar bila terjadi apa-apa yang tidak diinginkan, petugas di desa tersebut bisa kami hubungi untuk meminta pertolongan.Karena jam waktu setempat sudah jam tujuh malam, kayaknya Kakak-kakak senior memutuskan untuk mendaki besok pagi saja dan malam itu kami akan menginap di Kantor Desa, Pak Kepala Desa dengan senang hati mengizinkan kami untuk menginap.
Selain cuaca sudah gelap juga agak rawan untuk melakukan pendakian malam hari. Teman-teman menggelar tikar kemudian memutuskan untuk beristirahat.
Aku dan teman-teman gengku menggelar tikar kemudian kami duduk-duduk santai sambil mengeluarkan camilan yang kami bawa dari rumah, rasa sejuk di kaki pegunungan benar-benar berbeda dengan suasana kota yang hingar bingar ramai dan panas.
Kami benar-benar menikmati perjalanan ini, terlihat juga teman-teman yang lain melakukan hal yang sama, sepertinya malam ini akan kami gunakan untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga agar besok bisa mendaki dengan kondisi badan yang fit dan segar.
Besok paginya pukul 06:00 aku sudah terbangun, aku mengambil perlengkapan mandi kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mandi. Kamar mandi yang disediakan ternyata ada empat buah, mungkin sengaja disediakan khusus untuk rombongan pendaki yang sementara beristirahat di tempat ini.
Ada beberapa orang terlihat di tempat tersebut, mereka juga melakukan hal yang sama denganku. Selesai mandi aku merasa badanku terasa semakin segar. Aku berniat berjalan-jalan dulu di sekitar perkampungan ini, rumah-rumah penduduk desa terlihat cukup padat, walaupun Desa Lembanna ini kecil ternyata mempunyai penduduk yang lumayan banyak.
Mereka menjadikan ladang industri untuk para pendaki gunung yang datang ke sini. Ada yang berjualan souvernir, ada yang berjualan makanan tradisional setempat bahkan ada yang berjualan kembang-kembang khas pegunungan.
Aku tertarik dengan bunga kering edelweis yang dipajang, aku mencoba bertanya kepada penjualnya, bunga ini sangat cantik dan akan kubawa pulang ke rumah kalau harganya tidak terlalu mahal
"Bunga Edelweis ini berapaan pak?" tanyaku kepada penjualnya.
"Murah aja ini Mbak, cuma 25 ribu," jawab penjualnya dengan ramah.
"Wah, cantik sekali bunga ini, aku beli satu yah pak," kataku sambil menyodorkan uang 25 ribu.
"Ok Mbak, makasih yah," kata Bapak penjual itu.
"Ok Pak, makasih kembali," kataku sambil memilih Bunga Edelweis yang menurutku paling cantik.
Sambil mengamati Bunga Edelweis ditanganku, aku berbalik badan hendak kembali ke Kantor Desa, ternyata di belakangku sedang tersenyum kakak bermata dingin dan dia kemudian menyapaku.
" Hai, kamu kelihatan cantik hari ini, Sayang," kata kakak bermata dingin dengan penuh perhatian.
"Kok tumben panggil sayang, Kak?" tanyaku pura-pura merajuk.
"Kalau cuma kita berdua boleh dong aku panggil sayang " kata Kak Adit seraya menatapku dengan tatapan matanya yang dingin, membuat aku merasa semakin membeku di tengah udara dingin pegunungan yang berkabut tebal.
"Pagi-pagi sudah disini?" tanyanya memecah keheningan pagi itu.
"Iya nih kak, habis mandi tadi aku jalan-jalan ke sini, ternyata banyak penjual souvernir di sini," kataku seraya menunjukkan bunga edelweis yang sudah kubeli.
"Iya, memang di sini banyak penjual souvernir yang bagus-bagus dan murah-murah, iyakan?" tanya Kakak bermata dingin balik bertanya kepadaku.
"Iya kak, lumayan murah dan bagus, kalau di kota susah nyari bunga Edelweis sebagus dan semurah ini," jawabku dengan tersenyum bahagia karena hari ini aku melewatkan waktu yang lumayan lama dengan kekasihku ini.
"Ayo kita kembali ke Kantor Desa!" ajaknya dan kami terus berbincang-bincang hingga sampai kembali ke Kantor Desa.
"Oh ya, kamu kalau butuh bantuan atau butuh apa-apa kamu hubungi saya saja, saya tidak bisa menemani kamu terus karena saya harus mengawasi yang lain juga," kata kakak bermata dinginku sebelum kami berpisah dan aku bergabung kembali dengan teman-teman gengku.
"Baiklah kak, terima kasih," ucapku sambil tersenyum sebelum Kak Adit berlalu dari hadapanku.
Bab 5 Udara dingin Gunung Bawakaraeng serta kabut yang masih tebal menyelimuti pendakian kami pagi itu. "Len, lumayan dingin yah," kataku kepada Lenny sembari merapatkan jaketku sembari tidak sadar aku meraba perutku "Selamat menikmati pendakian ini anak, Sayang" bisikku dalam hati yang mulai merasakan adanya kedekatan dengan anak di rahimku ini. "Iya Aya, kabutnya juga masih tebal banget," tukas Lenny yang berjalan di depanku. "Iya nih, untung aku sudah mandi tadi jadi hawa dinginnya ngga terlalu menusuk," tukasku sambil terus berjalan Walaupun tas ransel dipunggungku isinya cuma mie instan dan air gelas tapi cukup menambah berat beban perjalananku. Tetapi entah kenapa aku merasakan ada tenaga yang mendorongku hingga aku dengan mudah mencapai puncak Gunung Bawakaraeng. Kakak-kakak senior berjalan di depan kami,
Bab 6 Jam sembilan malam, suasana Pantai Losari sudah sangat ramai. Pantai Favorit anak-anak muda Kota Makassar ini setiap malam Minggu pasti sangat ramai oleh pengunjung.Kami kemudian mencari tempat parkir yang sudah penuh sesak.Aku mengambil ponselku ingin menelfon Indri ingin menanyakan lokasi nongkrong mereka "Halo Indri kalian dimana? Aku sudah di Panlos ini sama Kak Adit" kataku begitu ponselku tersambung "Aku di tempat biasa kita nongki, di Lego-lego yang paling ujung, Aya" kata Indri menyebutkan tempatnya. "Oh okey baiklah, aku menuju kesana" jawabku seraya mengajak Kak Adit "Kak, mereka di Lego-lego yang paling ujung, kita jalan-jalan saja kesana yuk" dan kami menyusuri Panlos menuju pantai terapung Lego-Lego sembari berbincang-bincang Kak Adit menanyakan keadaanku "Aya, gimana keadaanmu? Maksudku apa kamu tidak mengalami morning sick atau mual di pagi hari sejak sebulan ini kamu gak haid lagi?
Bab 7 "Emang dia sudah punya pacar?" Indri bertanya kepadaku "Dia pernah bilang kalau pacarnya anak Unhas" kataku "Iya sih aku juga pernah dengar dia punya pacar anak Unhas" kata Indri sambil menatapku lekat , dia kemudian melanjutkan "Tapi aku tak yakin mereka masih pacaran deh, sudah dua malam mingguan ini kalian jalan kan? Berarti mereka mungkin sudah tidak pacaran lagi Aya!" Tebak Indri. "Itulah Indri, aku juga bingung, sebenarnya perasaan Kak Adit itu seperti apa kepadaku, aku juga masih bingung!" kataku sambil memainkan handphone ditanganku seraya berfikir apakah kuceritakan saja kepada Indri tentang kehamilanku ini? Tapi tiba-tiba berdering ponsel Indri membuat aku mengurungkan niatku untuk bercerita tentang kehamilanku. "Telfon dari Lenny, katanya hari ini dia izin karena pesanan katering Mamanya lagi banyak" kata Indri begitu selesai berbicara di telepon. "Oh pantesan dia nggak masuk
Bab 8 Jam 7:00 malam, aku dan Kak Adit masih berada di kosan Indri, tugas ketikanku sudah selesai kukerjakan, dengan bantuan kakak terdahsyatku yang jago mengetik sepuluh jari membuat tugas ketikanku cepat selesai. "Capek juga yah, habis ini jalan cuci mata, yuk" ajak Indri. "Aku sih okey aja," jawabku cepat. "Kalau aku kayaknya gak bisa deh, soalnya masih ada tugas Lab malam ini," Kak Adit menjawab "Yah gitu deh, Kak Adit sibuk banget," kata Indri kemudian "Gimana dong,emang kayaknya gitu tugasnya," Kak Adit menjawab kemudian tersenyum "Iyadeh gak papa kalau Kak Adit gak bisa ikut, kita berdua aja Indri, aku juga mau tinta printer ini" kataku kepada Indri. "Iya kalian jalan berdua aja yah, nnti aja kita jalan lagi" Kata Kak Adit kepada ku. "Baiklah kak, siapp!" Kataku kepada Kak Adit. "Ayuh deh kalau Kakak mau pulang, aku antar dulu yuk" kataku kepada Kak Adit "Ayuh, Indri aku pul
Bab 9 Sejak Kakak Bermata Dingin bermalam minggu bersamaku saat syukuran ulang tahun Indri di Pantai Losari Lego-lego, setiap malam Minggu pasti aku akan menjemput Kakak Bermata Dingin di Kampus kemudian kami akan jalan untuk bermalam minggu berdua. Entah kami hanya sekedar nongkrong di Pantai Losari, atau hanya sekedar keluar makan kemudian pulang. Aku merasakan Kakak Bermata Dingin mulai menaruh perhatian kepada ku. Tentu saja aku bahagia dengan keadaan ini, tapi juga aku masih di liputi keraguan, bukanlah Kak Adit pernah mengatakan kalau dia sudah punya pacar? Lantas hubungan dengan aku, apa dong? Apakah hubungan kami bisa dikatakan pacaran? Sementara dia belum pernah mengatakan menyukai ku? "Halo, Kak Adit lagi dimana?" Aku menelepon Kak Adit. "Aku ada di Kampus,Aya. Kamu sendiri dimana?" Balik tanya Kak Adit. "Aku di kosan Indri ini Kak, Kakak kalau ada waktu kosong, Kakak kemari yah?" Sahutku kemudia
Hari ini aku bersemangat sekali mau ke kampus karena ada kuliah praktek sebentar, automatis akan bertemu dengan Kakak Bermata Dingin lagi di Laboratorium Sebelum berangkat aku mematut diriku di depan cermin dan memperhatikan perutku yang masih datar dan kemudian aku pamitan ke Mama "Ma, Aya berangkat dulu Mah!" Kataku sambil mencium tangan Mama. "Okey sayang, hati-hati di jalan yah!" Kata Mama sambil mencium pipiku. Aku mengangguk dan tersenyum kemudian ke Papa dan mencium tangannya juga " Aya berangkat dulu Pa!" "Oke sayang, hati-hati di jalan yah!" Kata Papa sambil mengelus rambutku. "Okey Assalamualaikum!" Jawabku sambil menuju keluar untuk mengambil motor dan langsung gas menuju ke kampus. Sesampai di kampus, aku langsung berjalan menuju ke lantai tiga tempat ruangan Lab Komputer. Sampai di atas ternyata ruangan Lab K
Ayo dong Lenny, jangan menangis, mari fikirkan bersama masalah mu ini!" Ujarku mencoba menghibur Lenny. "Gimana aku nggak sedih Aya, sudah 3 tahun aku gak bertemu Papaku, dan sekarang beliau sakit keras, apakah aku tega sebagai anak untuk tidak pergi menengoknya?" Kata Lenny lirih. "Kamu pergi aja nengok Papamu Len, kalau kamu gak pergi nanti kamu juga akan kepikiran, gimana dong?" Indri memberikan solusi. "Iya Len, kamu berangkat aja, gimana kalau kamu berangkat dengan aku? Aku kepengen lihat kampung, soalnya kampungku jauh sihh!" Aku tiba-tiba saja pengen ke kampung nya Lenny. "Beneran Aya kamu mau ke kampung aku?" Tanya Lenny gak percaya. "Iya bener Len, aku pengen ke kampung kamu, bentar kita izin dulu di kampus kalau kita mau izin 2 hari, gimana?" "Okeylah Aya, kalau aku mah seneng aja kalau kamu ikut, aku ada temen di perjalanan" sahut Lenny dengan gembira. "Iya Len, Insya Allah, semoga Mama dan Papaku juga mengizin
Oke baiklah, kamu siapkan semua yang mau kamu bawa, entar Papa panggil kalau Papa sudah mau berangkat, ok!" "Oke Pah, Aya siap-siap dulu yah!" Kataku sambil berlari ke kamar ku, dan memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas ransel yang akan aku bawa. Tiba-tiba Handphone ku berdering, aku lihat ada panggilan masuk dari Lenny "Halo Aya, gimana? Jadi nggak kamu?" Kata Lenny di telfon "Iya Len, jadilah. Papa dan Mama sudah ngizinin kok, ntar aku ke rumahmu sama Papa yah!" Kataku ke Lenny. "Oh syukurlah Aya, aku tunggu yah!" Kata Lenny kemudian. "Okey Len, sipp!" Kataku sambil menutup telfon. Akhirnya aku sudah siap berangkat, aku menuju ke teras untuk menunggu Papa yang lagi berpakaian mau ke kantor nya. Tidak lama kemudian Papa muncul "Ayo kita berangkat!" "Ayoh Pah, Mah Aya berangkat dulu yah!" Kataku sambil mencium tangan Mama. "Okey sayang, hati-hati di jalan yah!" Kata Mama sa