SORRY, I’M BUSY.
EVA mengambil napas dalam-dalam sembari bersandar di pintu. Ia tidak habis pikir akan menemui Bruce di apartementnya. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika pria itu menuduhnya tidur dengan sembarang pria! Apa Bruce tidak tahu kalau dirinya tidak mungkin melakukan hal itu? Jika ayah dan ibunya tahu, mereka berdua tidak akan segan-segan mencabut kebebasannya di dunia modeling dan akan mengurungnya sampai ada seseorang yang meminangnya. Eva meringis membayangkan semua itu. Selama belasan tahun ia bekerja keras demi menjadi dirinya yang sekarang dan ia tidak mau usahanya sia-sia karena ia tidur dengan laki-laki yang baru saja ditemuinya. Astaga, ia tidak sebodoh itu! Siapa pun yang mengenalnya akan langsung menyadari semua itu, tapi memang dasar Bruce. Laki-laki itu tidak pernah mengenal dirinya. Jadi, wajar saja jika Bruce berpikir demikian.
Lama ia berdiri di sana. Setengah hatinya berharap Bruce menggedor pintu dan memaksa masuk untuk meminta maaf. Namun, setengahnya lagi ia berharap semoga pria itu segera pergi dari apartementnya dan meninggalkan dirinya seorang diri. Astaga, cinta memang rumit. Tidak, Eva tidak pernah jatuh cinta dengan Bruce atau bahkan tertarik dengan pria itu. Semua yang pernah mereka lewati hanyalah sebatas kenangan semasa kanak-kanak yang sulit dilupakan. Eva meyakinkan dirinya sendiri kalau ia tidak memiliki perasaan apa-pun terkait pria yang baru saja menuduhnya tidur dengan sembarang laki-laki.
Eva memegangi kepalanya yang sedikit pening. Kurang tidur adalah alasan terbesar kepalanya menjadi sangat berat dan ia menyadari semua itu. Ponselnya yang tergeletak di atas nakas berdering nyaring. Eva segera membawa kedua kakinya menuju benda tersebut dan melihat siapa yang menghubunginya. Payton, asisten pribadinya. Ia mengusap layar pada ponselnya, “Hallo…” katanya dengan nada frustasi.
“Kemana saja kau? Aku menghubungimu sejak semalam!” gerutu Payton dari seberang.
“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyanya sembari mendaratkan pantat di atas kasur.
Payton terdengar mendesah kecewa. “Tidak ada yang kau lewatkan sama sekali. Hanya saja, kurasa kau melewatkanku.”
“Payton, jangan berbelit-belit. Aku sama sekali tidak tahu maksudmu.” Katanya kesal.
“Kau tidak mengatakan padaku akan menikah dengan Smith? Kenapa kau menyembunyikan semua itu dariku? Apa aku melakukan kesalahan besar yang membuatmu jijik padaku? Atau-“
“Tunggu,” potong Eva cepat. “Jangan menuduhku sembarangan!” katanya pada sang asisten.
“Aku?” Payton tertawa miris mendengar ucapannya. “Aku tidak menuduhmu sembarangan, Sayang. Jadi, apa yang kulihat di laman berita online itu salah? Apa yang membuat media membicarakanmu dengan Mr. Smith? Api tidak akan berkobar jika tidak ada yang menyulutnya. Setidaknya itulah yang kutahu.”
Payton benar, sangat benar. Jika Bruce tidak mengatakan kepada wartawan mengenai pernikahan mereka, mungkin saat ini media tidak akan memberitakan tentang hubungannya mereka. Sayang, si bodoh Bruce semalam membuat pengakuan yang sama sekali tidak masuk akal. “Apa kau bisa datang ke tempatku sekarang? Kita harus bicara.” Katanya pada akhirnya.
“Tentu saja.” Ucap Payton lebih ramah.
“Baiklah. Aku menuggumu.”
“Okay.”
Eva hendak menutup telepon saat tiba-tiba Payton menahannya. “Tunggu, sebelum kau mengakhiri panggilan ini. Tolong buka pintunya karena aku sudah di depan pintumu.”
“Ha?” katanya spontan karena masih belum mengerti apa yang asistennya itu katakan.
“Buka pintunya, Sayang.”
Dengan perasaan bingung, Eva membawa kedua kakinya menuju pintu. Ia lalu membuka pintu tersebut dan mendapati asistennya berdiri di depan pintu. “Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya ketus.
“Kau memintaku kemari, ingat?”
“Aku tahu, tapi kupikir tidak secepat itu. Masuklah!” titahnya.
Payton meletakkan tas tangannya di atas sofa dan berjalan menuju dapur tanpa perlu diminta. Ia lalu mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas, Eva mengawasinya dari ruang tamu.
Selama sesaat, keduanya hanya diam. Eva tidak suka topic pembahasan mereka kali ini, sedangkan Payton, ia juga tidak suka Eva menyembunyikan apa pun darinya. “Jadi…” ucap Payton sembari bersandar di tembok dan menyilangkan kedua tangan di depan dada layaknya bos besar. Astaga, di sini Eva bosnya. Bukan Payton.
“Semalam aku terjebak di pesta. Sean dan Stella pergi meninggalkan pesta… kau tahu apa yang mereka lakukan. Lalu Gale tiba-tiba datang, mencoba mendekatiku. Aku tidak tahu darimana datangnya Bruce, tapi dia ada di sana dan yah, menyelamatkanku dari Gale. Kau tahu Gale bukan tipeku.”
Payton menaikkan sebelah alisnya. “Gale bukan tipemu? Kurasa sejauh ini kau belum pernah mengatakan padaku tipe laki-laki yang kausukai. Dan Gale jelas tidak masuk dalam tipe apa pun.”
“Aku tahu.” Eva mengambil napas dalam-dalam. “Tolong jangan ingatkan aku tentang apa pun yang berkaitan dengan laki-laki.”
“Baiklah kalau begitu, bagaimana dengan Bruce Smith? Bagaimana kejadiannya sampai media berasumsi kalian akan menikah?”
“Bruce menyelamatkanku dari Gale lalu dia mengantarku ke ruang ganti dan saat kami keluar, wartawan sudah menunggu kami. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya.” Ucap Eva kesal.
Payton melangkah mendekati Eva. “Kau yakin hanya itu?”
“Tidak.” Eva berjalan menuju sofa dan duduk manis di sana, diikuti Payton. “Setelah kami keluar, Bruce mengatakan kalau aku dan dia akan segera menikah. Kau tahu hal itu memicu gossip yang tidak sedap.”
Untuk sesaat, Payton hanya bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Sedikit-banyak ia tahu apa yang dialami oleh Eva, tetapi ia tidak bisa menyimpulkan begitu saja. “Tapi, apa dia punya perasaan lebih padamu?”
Eva mengedikkan bahu. “Entah. Aku juga tidak tahu. Kalau aku sendiri sudah pasti tidak.”
“Hati-hati,” peringat Payton. “Jangan asal menyimpulkan sesuatu hanya karena kau tidak menyukainya. Saat ini kau mungkin tidak melikiki perasaan apa pun pada Bruce. Tapi besok? Siapa yang tahu.”
“Besok aku juga tidak akan jatuh cinta padamu.”
“Percaya diri seperti biasa.”
“Itulah aku!” tegas Eva.
Payton mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menekan tombol kecil di atas meja dan sedetik kemudian sebuah televisi turun dari langit-langit ruang tamu. Kamar Eva memang dilengkapi teknologi super canggih yang hanya dimiliki wanita itu. Semua teknologi tersebut didesain khusus untuknya, hadiah dari kedua orangtunya Eva saat ia pertama kali pindah ke apartement tersebut. “Kita lihat apakah ada perkembangan berita terbaru mengenai hubunganmu dengan Bruce di media.”
Eva hanya mengangguk setuju. Ia memusatkan pandangannya pada layar televisi yang cukup besar di hadapan mereka. Setelah mengganti beberapa saluran televisi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan penampakan… “Bruce?” ucapnya tidak percaya. “Apa itu benar-benar Bruce?” ia menoleh pada Payton yang juga tampak terkejut.
Payton mengangguk samar, keningnya mengkerut seiring dengan wajah yang cukup familiar selama beberapa jam terkahir ini. “Dengar apa yang dia katakan.” Katanya pada Eva.
“Persiapan pernikahan kami sudah hampir 80%. Untuk hari dan tanggalnya masih menjadi rahasia. Begitu juga dengan tempat resepsinyai.” Ucap Bruce penuh percaya diri.
“Lihat, Payton! Dia hanya mengada-ada!” seru Eva dengan nada tinggi.
“Kau tidak tahu tentang hal ini?” tanya Payton ragu.
“Demi Tuhan aku sama sekali tidak tahu. Bruce hanya mengada-ada! Aku bahkan tidak pernah mengatakan akan menikah dengannya!”
“Kapan tepatnya hubungan kalian dimulai?” tanya salah satu wartawan.
Bruce melempar senyum penuh dosa ke arah wartawan tersebut. “Orangtua kami bersahabat sebelum mereka menikah dan kebetulan kami sudah sering bersama sejak masih anak-anak. Aku tidak begitu ingat kapan tepatnya hubungan ini dimulai. Entah saat aku dan Eva masih bayi atau setelah kita beranjak remaja. Satu hal yang pasti, hubungan kami sudah beranjak menjadi fase yang lebih serius.” Terangnya panjang lebar.
“Apakah semalam Anda menginap di sini?” tanya wartawan lain.
Bruce mengedikkan bahu dengan entengnya. “Seperti yang kalian lihat.” Jawabnya ringan.
Detik itu juga, Eva dan Payton menyadari satu hal. Bruce dan semua wartawan itu ada di area apartmentnya. Keduanya lalu beranjak dari kursi dan berjalan menuju jendela yang langsung mengarah di bawah. Mereka melongok ke bawah dan mendapati Bruce bersama para wartawan yang tadi menunggunya. “Dia masih di sana?” tanyanya pada Payton.
“Aku sempat melihat wartawan itu sekilas. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau Bruce berani berbuat senekat itu.”
“Ayo kita lihat lebih dekat.” Eva beralih menuju balkon, berdiri sambil mengamati Bruce lebih dekat, diikuti Payton. “Astaga, kenapa tidak terpikirkan olehku!”
“Ada apa?” tanya Payton penasaran.
“Para wartawan itu tidak akan tinggal diam sebelum mereka mendapatkan informasi tentang kami. Semalam Bruce memang menginap di sini. Dan saat aku mengusirnya pergi, aku tidak memikirkan tentang para wartawan itu. Astaga, bodohnya aku!” gerutunya pada diri sendiri.
“Bruce? Menginap di sini? Tunggu, kalian-“
“Tidak.” potong Eva cepat. “Begini kronologinya. Bruce mengantarku pulang dan aku memintanya untuk menurunkanku di club. Aku berbohong padanya dan mengatakan kalau club itu adalah apartement teman Ava. Dia percaya begitu saja. Kau tidak tahu betapa kunonya Bruce. Setelah itu, aku pulang bersama seorang laki-laki bernama Alex. Ini pertama kalinya aku bertemu pria tersebut dan aku menginap di hotelnya. Jadi, Bruce tidur di sini sendiri dan aku tidur di hotel Alex.”
“Kau tidur dengan Alex?” tanya Payton penasaran.
Eva memutar bola matanya. Jika ia tidak menjawab pertanyaan Payton satu per satu, asistennya itu tidak akan berhenti bertanya. “Tidak. Aku tidur di ranjang dan Alex di sofa. Kami tidak melakukan apa pun seperti yang kaupikirkan.”
“Oh, begitu.” Ucap Payton sembari mengangguk-anggukan kepala. “Jadi semalam kau tidak tidur dengan Bruce maupun Alex?”
“Tidak. Nah, kenapa sekarang si bodoh Bruce itu justru menyebar hoax dan berkata yang tidak-tidak?” tanpa ia sadari, Eva menunjuk ke kerumunan di bawah mereka, tepatnya ke hadapan Bruce dan para wartawan yang tengah berkumpul dan sedang membicarakan dirinya. Sebelum kesadarannya benar-benar pulih, tiba-tiba ia mendengar sorakan dari bawah. Ia menjatuhkan pandangan pada sorakan tersebut dan mendapati Bruce tengah tersenyum penuh dosa ke arahnya. “Sial!” gumamnya lebih kepada diri sendiri.
“Lambaikan tanganmu!” titah Payton.
“Apa?” tanyanya seraya menatap Payton penuh tanda tanya.
“Pencitraan, Eva. Kau tidak mau melihat mereka berpikir kau adalah salah satu publik figure yang sombong, bukan?”
“Astaga! Menyebalkan sekali!” gerutunya sambil melambaikan tangan ke bawah. “Sekarang apalagi?”
“Tunggu sebentar lagi. Kurasa Bruce ingin mengucapkan sesuatu.” Payton kembali melihat ke bawah. Kali ini mereka hanya melihat Bruce melambaikan tangan dan melempar sebuah ciuman yang ditunjukkan untuk Eva.
“Astaga, aku mau muntah rasanya.”
“Kau boleh berkata apa pun sesuka hatimu. Mereka yang tengah berada di bawah tidak akan mendengar kita.”
“Aku tahu…” ucap Eva sembari memutar bola matanya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Lambaikan tanganmu pada Bruce dan media lalu setelah itu kita masuk.”
“Baiklah.” Eva menuruti perkataan asisten pribadinya. Setelah melakukan hal itu, ia lalu kembali ke dalam unit apartementnya bersama Payton. Sesampainya mereka di dalam, ia mendengar ponselnya meraung, itu artinya ada panggilan telepon dari seseorang.
Eva dan Payton berlajan menghampiri benda pipih tersebut. Hal pertama yang mereka lihat di layar ponsel Eva adalah nama yang tak asing untuk keduanya. “Dad…” gumam Eva.
Sebelum memutuskan apakah ia akan menerima panggilan tersebut atau tidak, tiba-tiba ponsel Payton ikut berdering keras. Wanita itu bergegas mengambil ponselnya di atas nakas dan melihat siapa yang menghubunginya. “Ava.” Katanya sambil melempar tatapan ngeri ke arah Eva.
“Mereka pasti bertanya-tanya mengenai kabar pernikahanku dan Bruce.” Eva melempar kembali ponselnya ke sofa. “Jangan, Payton! Jangan diangkat!” katanya sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Astaga, apa yang harus kulakukan! Bruce! Si bodoh itu benar-benar membuatku muak!”
“Tapi kita tidak bisa mengabaikan mereka terus-menerus.” Ucap Payton yang kini mulai panik. “Media, pers, teman-teman dan keluargamu butuh klarifikasi. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kalau kau bertanya padaku, lantas aku harus bertanya pada siapa, hah!” bentaknya. “Aku juga tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini! Kenapa juga Bruce harus mengarang berita murahan seperti itu!”
Sama seperti Eva, Payton juga ikut merasakan kecemasan akibat ulah Bruce. Ia ikut mondar-mandir di ruangan tersebut untuk beberapa lama hingga keduanya bertabrakan dan otomatis jatuh di atas lantai bersamaaan. “Astaga, Payton! Apa yang kaulakukan!”
“Aku… panik!” serunya sambil berdiri. Ia lalu mengulurkan tangan dan membantu Eva berdiri. “Apa yang harus kita lakukan sekarang.”
“Entah!” ucap Eva ketus. Ia melihat ponselnya berdering lagi dan menghampirinya. Kali ini sebuah nomor baru yang tidak disimpan di ponselnya tetapi ia masih ingat betul pemilik nomor telephon tersebut. Bruce.
“Siapa?” tanya Payton saat melihat ekspresi Eva mengeras.
“Bruce.” katanya kesal. Keduanya hanya memandangi ponsel Eva hingga deringnya berakhir. “Menurutmu, apa yang dia rencanakan?”
“Aku tidak tahu.” Payton mengedikkan bahunya. “Tapi kita tidak boleh kalah begitu saja.”
“Apa kau puya rencana?”
“Tidak.” jawab Payton polos.
Eva menepuk jidatnya. “Kalau kita tidak punya rencana, bagaimana kita akan menghadapinya?”
Hening. Payton hanya bisa menggeleng sambil tersenyum tipis. Ia tidak punya ide sama sekali. “Bagaimana kalau kau menghubungi Bruce dan bertanya apa tujuannya melakukan semua ini.”
“Itukah yang kaupikirkan?”
Payton mengangguk. “Ya. Kita harus tahu modus Bruce melakukan semua ini lalu kita bisa mengambil tindakan.”
Eva kembali memikirkan kata-kata Payton. Ia tidak punya pilihan bagus saat ini. Dan sepertinya ide Payton boleh dicoba. “Baiklah. Aku akan menghubunginya sekarang. Semoga panggilan ini tidak berakhir bencana.”
“Amiin.” Payton hanya bisa meringis saat mengucapkannya. Ia melihat Eva mengambil ponselnya dan menekan nomor Bruce. Setelah sesaat, panggilan tersambung.
“Hallo, Bruce. Kurasa kita perlu bicara.”
“Hallo, Eva. Maaf aku sibuk.”
Dan panggilan terputus… Tut… tut… tut…
A PRANK.BRUCE masih menggenggam erat tangan Eva saat mereka hampir sampai di townhouse. Yang akan mereka hadapi setelah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saat ini hubungan keduanya bukan hanya tentang Peri Hutan dan Pangeran Pongky. Lebih dari itu, ada keluarga yang setia memisahkan mereka Bruce dan Eva dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah perjodohan. Tenggorokan Bruce tercekat mengingat fakta itu. Ia masih tidak percaya di era seperti sekarang masih saja ada orangtua kolot seperti ayah dan ibunya. Benar-benar menyebalkan!Eva beringsut dari duduknya. “Kau melamun.” Gumam wanita itu.Antara iya dan tidak. Bruce tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok yang amat sangat ia puja di sisinya. Namun di sisi lain, ia juga memikirkan perjodohan sialan itu. Haruskah ia mengatakan kepada Eva apa yang sebenarnya direncakan oleh keluarganya?“Pongky…” Eva memaksa
OUR PARENTS.BRUCE menatap gadis anggun berambut pirang yang saat ini duduk di atas punggung Romeo. Dia, Eva dan Romeo sama-sama tidak percaya kalau kemenangan mereka ternyata hanya akan bertahan beberapa menit saja. Semula Bruce yakin bisa membawa Andrew kembali ke rumahnya di New York dan mempermalukan pria itu. Atau bahkan menyiksa Andrew sebelum mengembalikan pria itu kepada keluarganya. Sayang, sepertinya kali ini Dewi Fortuna tidak memihak kelompoknya. Terlebih saat gadis itu berkata, “Aku telah membunuh Christoper. Kurasa melenyapkannya tidak akan butuh waktu lama. Aku hanya perlu menarik pelatuk ini dan… kalian semua tahu apa yang akan terjadi.”Pernyataan yang terlalu terang-terangan itu menimbulkan kepanikan yang cukup besar di dalam kepala Bruce. Jika memang itu yang terjadi, dan sepertinya ucapan gadis itu bukanlah sebuah kebohongan. Gadis tanpa itu berkata jujur, terlihat dari keyakin
LADY OF THE WOODS.ROMEO menepuk pundak Bruce dan meremasnya. Sebagai sahabat yang baik, ia ingin memberi sedikit kekuatan pada pria itu. Keduanya telah gagal menyelamatkan Eva. Bruce terduduk sambil menangis tersedu. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain meratapi kepergian Eva. Di tengah isak tangis Bruce, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Keduanya langsung waspada. Bruce bangkit hanya untuk mendengar sekali lagi apakah dia salah dengar atau itu hanya imajinasinya semata.“Aku mendengarnya, Bruce. Kurasa orang itu membawa Eva ke dalam hutan.” Romeo berkata dengan amarah yang tersirat dalam suara pria itu. “Sebaiknya kita menyusu mereka.”“Kau yakin?” Bruce bangkit, pria itu menyeka air matanya.“Apakah menurutmu jeritan itu bukan pertanda kalau Eva sedang memberi kita kode agar kita bisa menemukannya?” tanya Rome
HOPELESS.BRUCE melihat mobil Christoper keluar dari pintu gerbang istana. Ia segera memberi kode kepada Romeo untuk mengikuti Christoper sebelum pria itu bersembunyi dan menunggu Eva. Setelah berhasil mengejar sang dokter muda, Romeo menghentikan mobilnya tepat di sisi Christoper. “Aku akan turun dan menemuinya.”Romeo mengangguk dan mengawasi Bruce dari kejauhan. Bagaimana pun, mereka berdua tidak tahu apakah Christoper layak di jadikan teman atau tidak.Perlahan, Bruce mengetuk jendela mobil Christoper. Ia menunggu beberapa saat hingga pria itu bersedia membuka jendelan untuknya. “Hai,” sapa Bruce.Sebelah alis Christoper terangkat, tak lama setelah itu ia membuka mulut. “Maaf, ada yang bisa kubantu?”“Tentu. Bisa kita bicara?” pinta Bruce. “Kau tidak perlu turun dari mobil dan perlu kujelaskan kalau aku tidak berniat buruk padamu.”
CHRISTOPER.ANDREW melangkah keluar dari mobil dengan menggendong Eva ala bridal style. Ia menatap wajah damai gadis itu, ujung bibirnya terangkat mendapati keberadaan mereka di Glamis Castle. Mereka hanya perlu melangkah lebih dalam ke kastil tersebut, mengeluarkan microchip dan semuanya selesai. Perang yang sudah ia mulai sejak berhari-hari yang lalu akhirnya dimenangkan oleh dirinya berkat Julliet dan ayah mereka. Tiba-tiba ia rasa sayang terhadap keluarganya meningkat dua kali lipat. Dalam hati Andrew berjanji tidak akan mengabaikan keluarganya lagi setelah ini.“Sebaiknya kita masuk sekarang.” Suara Julliet memaksa Andrew keluar dari lamunannya.Andrew mendongak, menatap adiknya penuh penghargaan. “Baiklah.” Ujarnya parau. Ia lalu membawa kedua kakinya menuju bangunan kastil tua itu. Sekilas Andrew melihat batapa indahnya Glamis Castle. Tamannya yang hijau dan luas mem
THE GLAMIS CASTLE.BRUCE mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Kepalanya yang masih berdenyut membuat ia nyaris tersungkur. Untungnya seseorang membantunya bangkit sebelum ia tubuhnya benar-benar ambruk ke lantai. “Astaga, apa yang kau lakukan di sini!” gerutu sebuah suara yang sangat dikenali oleh Bruce.Ujung bibir Bruce terangkat hingga membentuk sebuah senyuman getir. “Apa yang kaulakukan di sini?” bisiknya pada Romeo.Romeo mendesah sembari membantu Bruce berdiri dengan baik. “Mencarimu, memmastikan kau baik-baik saja. Kau pikir apa? Aku tahu sesuatu padamu.”“Aku tertidur, Romeo. Tidak ada yang terjadi padaku.”“Kau pingsan.” Ralat Romeo. “Kita tidak perlu berbisik-bisik. Tidak aka nada yang mendengar kita di sini.”Bruce melihat sekeliling, mereka berada di tengah salah satu sudut kastil yang dibungkus