Share

Dukungan

Author: Fafafe 36
last update Last Updated: 2024-10-02 07:49:23

Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"

Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.

Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."

Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.

Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."

Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik.

Dokter itu tersenyum hangat. "Dengan waktu, dan mungkin dengan bantuan orang-orang yang peduli pada Anda. Tidak ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh, Sarah. Kadang kita hanya butuh sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran.

Sarah terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, masih ada rasa sakit yang luar biasa, tapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasakan sesuatu yang lain, sedikit harapan. Harapan bahwa mungkin suatu hari nanti, meski tidak hari ini atau besok, dia akan bisa bangkit lagi.

"Terima kasih dokter, "

Setelah berkonsultasi, hari itu juga Sarah diperbolehkan pulang, dengan catatan 3 gari lagi harus kontrol kakinya yang harus mendapatkan perawatan ekstra.

***

Malam telah jatuh, menggelapkan langit dan mengisi dunia dengan keheningan. Di dalam apartemennya yang sunyi, Sarah duduk di sudut kamar dengan lampu yang redup, matanya kosong menatap dinding. Hatinya terasa begitu berat, seolah-olah hidupnya tidak memiliki tujuan lagi. Bayangan pengkhianatan Adam terus berputar di pikirannya, seperti luka yang terus-terusan disayat tanpa henti.

Rasanya seperti tak ada lagi yang bisa ia kejar. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dunia seolah-olah kehilangan warnanya.

Di depannya, sebotol pil tidur tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup botol itu, memandangi pil-pil kecil yang terjatuh ke telapak tangannya. Ia berpikir, mungkin inilah jalan keluarnya. Mungkin dengan cara ini, semua rasa sakit akan berhenti. Tidak ada lagi mimpi buruk, tidak ada lagi tangis yang tak terhenti setiap malam.

Air matanya mengalir deras, mengaburkan pandangannya saat dia mengangkat segenggam pil ke mulutnya. "Aku lelah," bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Aku hanya ingin semuanya berhenti."

Namun sebelum ia sempat menelan pil itu, pintu apartemennya terbuka keras, diikuti suara langkah kaki yang tergesa. Ana, teman sekaligus asisten Sarah yang selalu mendampinginya, bergegas masuk. Ia sudah mendengar kabar mengenai kondisi Sarah dan firasat buruk mengantarnya ke sini.

"Sarah! Apa yang kamu lakukan! Ana berteriak panik saat melihat pil di tangannya.

Sarah terkejut dan menoleh, air matanya masih berlinang. Ana dengan cepat berlari ke arahnya, meraih pil dari tangan Sarah sebelum gadis itu sempat bertindak lebih jauh. Ia membuang pil itu ke lantai, menghancurkannya dengan sepatunya, dan memegang bahu Sarah dengan lembut namun tegas.

"Kamu nggak boleh melakukan ini, Sarah!" Ana berkata dengan nada yang tegas tapi penuh kasih. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku tahu kamu sedang dalam keadaan sulit, tapi ini bukan solusinya!"

Sarah terisak, tubuhnya lemah dalam dekapan Ana. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, An. Aku merasa seperti… nggak ada yang tersisa. Semuanya hancur. Aku cuma mau rasa sakit ini berhenti.”

Ana menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Dia mengerti bahwa Sarah telah mengalami banyak hal, tetapi dia tidak bisa membiarkannya menyerah begitu saja. "Sarah," katanya pelan, "aku tahu ini berat. Aku tahu rasanya dunia seperti runtuh. Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini. Aku akan membantu kamu melewati semua ini."

Sarah memejamkan matanya, air mata masih mengalir deras. "Bagaimana caranya, An? Semua sudah hancur. Aku nggak bisa menghadapinya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku masih bisa merasa hidup lagi."

Ana menatap Sarah dengan tatapan yang penuh harapan. "Aku nggak punya jawaban instan, Sarah. Tapi aku tahu satu hal, kamu lebih kuat dari apa yang kamu kira. Rasa sakit ini, kesedihan ini… ini tidak akan bertahan selamanya. Ada harapan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun."

Sarah tetap diam, tapi dia bisa merasakan kehangatan dari kata-kata Ana meresap ke dalam dirinya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang menyelimutinya.

"Aku nggak akan biarkan kamu melewati ini sendirian," Ana melanjutkan, nadanya penuh ketulusan. "Aku akan ada di sini, di sampingmu. Setiap hari. Sampai kamu merasa lebih baik. Sampai kamu bisa menemukan alasan untuk bertahan lagi."

Sarah akhirnya menatap Ana, matanya yang bengkak dan merah mencoba mencari kejujuran di wajah gadis itu. Dan di sana, dia melihat harapan, sebuah harapan yang selama ini hilang darinya.

"Bertahanlah, Sarah," Ana berkata pelan, menyeka air mata di pipi Sarah dengan lembut. "Aku janji, ini tidak akan bertahan selamanya. Ada cahaya di ujung jalan ini, dan aku akan memastikan kamu sampai ke sana."

Sarah hanya bisa mengangguk pelan, terlalu lemah untuk mengatakan apa pun. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ana. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa melewati semua ini dengan bantuan seseorang.

Malam itu, meski perasaan putus asa masih membayangi, Sarah menemukan sedikit kedamaian dalam kehadiran Ana. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terlihat, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan melalui semuanya sendirian. Ana telah memberinya secercah harapan, dan itu cukup untuk membuatnya terus bertahan, setidaknya untuk saat ini.

**Bab 2 (Lanjutan): Ketika Harapan Mulai Padam**

Hari-hari berlalu setelah malam yang kelam itu. Sarah perlahan-lahan mencoba untuk kembali menjalani hidupnya, meski setiap langkah terasa berat. Ana, seperti yang dia janjikan, selalu ada di sisinya. Ia datang hampir setiap hari, menghabiskan waktu bersama Sarah, baik itu hanya sekadar duduk dalam keheningan atau membicarakan hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang ia alami.

Namun, meski Ana telah menjadi sandaran yang kuat bagi Sarah, luka hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada saat-saat ketika malam terasa terlalu sunyi dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan Adam dan pengkhianatannya. Dalam kegelapan malam, rasa putus asa sering kali kembali menghantui.

Suatu sore, Sarah duduk di balkon apartemennya. Pandangannya kosong menatap langit yang mulai memudar, perlahan berubah dari biru menjadi jingga. Ia memegang secangkir teh hangat di tangannya, mencoba merasakan kehangatannya meresap, tetapi pikirannya tetap jauh, tersesat dalam kenangan yang menyakitkan.

Ana tiba di apartemen Sarah tepat ketika langit mulai menggelap. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum melangkah masuk, mengenakan senyum yang selalu ia bawa bersamanya. "Hey, aku bawa sesuatu untukmu," katanya ceria sambil mengangkat kantong berisi makanan favorit Sarah.

Sarah tersenyum kecil, tapi tetap lemah. "Terima kasih, An," ucapnya pelan. "Kamu selalu perhatian."

Ana duduk di sebelah Sarah di balkon, menatap langit yang sama. Ia menahan diri untuk tidak langsung membicarakan perasaan Sarah, memberinya ruang untuk bicara jika ia siap. Mereka berdua terdiam untuk sementara waktu, menikmati keheningan yang terasa damai.

Akhirnya, Ana memecah keheningan. "Sarah," katanya perlahan, "aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku harus mengatakannya. Apa yang kamu alami... aku nggak bisa membayangkan betapa sakitnya itu. Tapi satu hal yang aku tahu, kamu nggak boleh biarkan rasa sakit ini mendefinisikan hidupmu."

Sarah menatapnya sebentar sebelum kembali menunduk. "Aku tahu, An," jawabnya, suaranya serak. "Tapi sulit. Setiap kali aku berpikir aku bisa melangkah maju, semuanya kembali ke pikiranku. Seolah-olah aku terus-menerus ditarik kembali ke titik di mana semuanya hancur."

Ana mengangguk, memahami perasaan Sarah. "Aku paham, Sarah. Trauma memang begitu, itu tidak hilang begitu saja. Tapi kamu harus percaya bahwa perlahan-lahan, rasa sakit itu akan memudar. Dan pada saat itu tiba, kamu akan menyadari bahwa kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan sekarang."

Sarah menatap langit yang kini berwarna ungu kehitaman, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kadang aku merasa seperti… aku nggak pantas untuk bahagia lagi," katanya, suaranya gemetar. "Seolah-olah aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk hidup normal."

Ana meraih tangan Sarah dan menggenggamnya dengan lembut, memberikan sentuhan yang penuh dukungan. "Itu nggak benar, Sarah," katanya dengan tegas. "Kamu pantas untuk bahagia. Kamu pantas untuk menemukan kebahagiaanmu kembali, meskipun sekarang rasanya jauh dari jangkauan. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Bahkan kamu."

Sarah terdiam, merasakan kekuatan yang Ana berikan melalui genggamannya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang perlahan mulai terbangun. Mungkin, hanya mungkin, Ana benar. Mungkin ia masih bisa menemukan kebahagiaannya kembali, meski jalan yang harus ditempuh terasa panjang dan penuh rintangan.

"Aku nggak tahu apakah aku bisa, An," bisiknya, nyaris tak terdengar.

"Kamu bisa," jawab Ana dengan mantap. "Dan aku akan ada di sini untuk membantumu setiap langkahnya. Kita akan melakukannya bersama."

Sarah menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Ia menatap Ana dengan mata yang penuh air mata namun penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, An. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini."

Ana tersenyum lembut, memandang Sarah dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu mengucapkan terima kasih, Sarah. Aku di sini karena aku peduli padamu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."

Untuk pertama kalinya sejak malam tragis itu, Sarah merasakan secercah kelegaan. Meski rasa sakit masih ada, meski perasaannya masih campur aduk, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya untuk tetap bertahan.

Di malam yang gelap itu, dengan kehangatan dari dukungan Ana, Sarah menemukan bahwa mungkin, di suatu tempat di masa depan, ada harapan untuk kebahagiaan yang baru. Langkah-langkah kecil, meskipun perlahan, akan membawanya menuju kehidupan yang berbeda, kehidupan yang tidak lagi didefinisikan oleh masa lalunya yang menyakitkan, tetapi oleh kekuatannya untuk bertahan dan melanjutkan hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cahaya di Ujung Jalan   Cahaya di Ujung Cerita

    Waktu terasa berjalan lambat sejak kejadian malam itu. Sarah masih sering terbangun di tengah malam dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi dahinya. Fajar, yang selalu ada di sampingnya, akan menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan membisikkan kata-kata penenang. Namun, keduanya tahu bahwa selubung ancaman masih menggantung di atas mereka.Hari ini, Sarah duduk di teras rumah sambil memangku salah satu bayi kembarnya, Aisyah. Di dekatnya, Arfan tertidur di bouncer kecil. Mata Sarah terlihat kosong, pikirannya melayang pada sosok Raka, orang yang selama ini berada di balik semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya.Fajar keluar dari dalam rumah dengan membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Sarah dan memandang wajah istrinya dengan penuh kasih sayang."Kau harus istirahat, Sayang. Kau tak bisa terus memikirkan hal ini." ujar Fajar sambil menyerahkan secangkir teh.Sarah menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas Fajar. Tapi aku tidak akan merasa tenang samp

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kebenaran yang Terungkap

    Bab 58: Kebenaran yang TerungkapMalam itu, Sarah duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar sambil menatap layar ponselnya. Pesan singkat yang masuk beberapa menit lalu terasa seperti palu godam yang menghantam hatinya."Kau pasti tahu sekarang siapa di balik semua ini. Tapi berhati-hatilah, Sarah. Jangan gegabah jika kau ingin keluargamu selamat."Nama pengirim tidak ada, hanya nomor tak dikenal. Namun, Sarah tahu persis siapa yang dimaksud oleh pesan itu. Sebuah nama yang selama ini tak pernah ia duga, Raka, sepupu jauh Fajar, yang selama ini bersikap baik dan ramah di hadapannya.Sarah memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan napas yang tersengal. Ia tak pernah berpikir bahwa orang yang dikenal keluarga mereka dengan baik bisa melakukan hal sekeji ini. Dengan tangan bergetar, ia menggenggam ponsel lebih erat.Fajar yang baru saja pulang dari pertemuan dengan Jo, masuk ke rumah dan langsung melihat wajah pucat istrinya. "Sayang, ada apa? Kau terlihat ketakutan."Sarah menatap

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman

    Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya meski suara tangisan Arfan sesekali memecah keheningan. Sarah duduk di tepi ranjang dengan Arfan dalam gendongannya, wajahnya masih terlihat pucat dan matanya sembab akibat tangisan sepanjang malam. Fajar berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Siapa yang tega melakukan ini pada kita?" suara Sarah lirih namun penuh tuntutan jawaban.Fajar berbalik, matanya bertemu dengan mata istrinya yang penuh kecemasan. Ia mendekat dan duduk di samping Sarah, tangannya menggenggam tangan istrinya erat."Aku tidak bisa memberitahumu detailnya sekarang, Sayang. Tapi yang jelas, ini belum berakhir. Aku sudah membuat kesepakatan dengan mereka demi Arfan," ucap Fajar dengan suara bergetar.Sarah terdiam, napasnya tercekat. "Kesepakatan apa? Kau… kau tidak melakukan sesuatu yang membahayakan, kan?"Fajar menggeleng pelan. "Aku hanya diminta untuk melakukan operasi pada seseorang. Aku tidak tahu

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman dibalik Pisau

    Asap masih mengepul di sekitar dermaga tua ketika Fajar terduduk di papan kayu yang mulai retak. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar akibat luka dan kelelahan. Namun, di balik semua itu, satu hal memenuhi pikirannya, Arfan harus ditemukan.Sirene polisi semakin dekat. Beberapa petugas berlari menghampiri lokasi ledakan, namun Fajar sudah bangkit sebelum mereka sempat menanyakan apa pun."Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu polisi."Saya baik-baik saja. Tapi anak saya diculik, dan pelakunya ada di sini!" Fajar berseru dengan nada panik namun tegas.Polisi itu menatap Fajar dengan serius. "Kami akan menyisir area ini. Anda sebaiknya diperiksa di rumah sakit dulu, Pak.""Tidak!" Fajar menepis tangan polisi yang mencoba menahan bahunya. "Waktu saya tidak banyak. Setiap detik yang terbuang bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk anak saya."---Fajar kembali ke mobilnya dengan langkah tergesa. Ponselnya bergetar, Jo menelepon."Jar, aku sudah melacak sinyal terakhir dar

  • Cahaya di Ujung Jalan   Jejak yang Hilang

    Pagi itu, mentari menyinari halaman kecil di belakang rumah Fajar dan Sarah. Kedua bayi kembar mereka, Aisyah dan Arfan, sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi di dalam keranjang bayi masing-masing. Sarah duduk di dekat mereka sambil mengawasi dengan senyum lembut di wajahnya."Mbak, aku masuk sebentar ya, ambil jus buat kita," ujar Sarah pada pengasuh bayi mereka, Mbak Rina, yang sedang sibuk melipat selimut di samping keranjang.Mbak Rina mengangguk. "Iya, Bu Sarah, biar saya yang jaga di sini."Sarah bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil jus segar di dapur. Namun, beberapa menit kemudian, suara jeritan Mbak Rina terdengar memecah keheningan."Bu Sarah! Bu Sarah! Arfan hilang! Arfan hilang!"Sarah berlari secepat mungkin ke halaman belakang. Matanya membelalak melihat salah satu keranjang bayi kosong, Arfan tidak ada di sana. Mbak Rina tampak gemetar dan menangis di samping keranjang yang kosong itu."Apa yang terjadi? Di mana Arfan?!" suara Sarah bergetar, matanya mul

  • Cahaya di Ujung Jalan   Momen Manis di Tengah Ketegangan

    Pagi itu, sinar matahari hangat menyinari halaman rumah kecil keluarga Fajar dan Sarah. Suara tawa kecil bayi kembar, Aisyah dan Arfan, memecah keheningan di taman kecil tempat mereka menggelar tikar piknik. Fajar dengan cekatan menyiapkan tempat duduk nyaman untuk Sarah dan memastikan kedua bayi mereka terlindungi dari sinar matahari langsung."Mas, ini pertama kalinya kita piknik lagi sejak bayi-bayi lahir," ujar Sarah sambil merapikan kerudungnya dan tersenyum lembut ke arah suaminya.Fajar mengangguk sambil menuangkan jus jeruk ke gelas kecil untuk Sarah. "Iya, Sayang. Aku pikir kita butuh momen seperti ini. Jauh dari keramaian, hanya kita berempat."Meski senyumnya lebar, Sarah bisa menangkap ada sesuatu di balik mata suaminya, kewaspadaan yang terus-menerus. Fajar selalu melirik ke sekeliling mereka, memastikan tak ada hal mencurigakan yang mendekati keluarga kecilnya."Mari kita nikmati momen ini, Mas. Aku ingin lihat senyum yang benar-benar lega dari kamu," kata Sarah sambil m

  • Cahaya di Ujung Jalan   Syukuran Pemberian Nama

    Matahari pagi menyinari halaman rumah Fajar dan Sarah, yang hari ini dipenuhi dengan dekorasi sederhana dan elegan. Nuansa putih dan emas mendominasi, dengan bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut ruangan. Hari ini adalah momen spesial syukuran pemberian nama untuk bayi kembar mereka. Sarah sibuk memastikan semua persiapan sudah sempurna. Dengan balutan gamis berwarna lembut, ia terlihat anggun meski lingkaran kecil di bawah matanya menandakan kurang tidur karena merawat si kembar. Di sisi lain, Fajar membantu para tamu yang mulai berdatangan dengan senyum ramah. "Sayang, jangan terlalu capek. Duduk dulu, biar aku yang urus sisanya," ujar Fajar lembut sambil memegang bahu Sarah. Sarah tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Mas. Aku cuma ingin memastikan semuanya berjalan lancar." Acara dimulai dengan lantunan doa yang dipimpin oleh seorang ustadz yang dihormati oleh keluarga mereka. Para tamu duduk dengan khidmat, menyimak setiap doa yang dipanjatkan untuk kesehatan dan kebaha

  • Cahaya di Ujung Jalan   Hari yang Penuh Cinta

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara

  • Cahaya di Ujung Jalan   Masa Lalu yang Lain

    Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status