Beranda / Romansa / Cahaya di Ujung Jalan / Langkah Awal Pemulihan

Share

Langkah Awal Pemulihan

Penulis: Fafafe 36
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 10:26:53

Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah.

"Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.

Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."

Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali kekuatanmu."

Sarah tersenyum tipis, berusaha menerima kata-kata penyemangat itu. Tidak lama kemudian, pintu ruang konsultasi terbuka dan seorang perawat memanggil namanya. Ana menepuk lengan Sarah dengan lembut. "Aku akan menunggumu di sini. Semangat ya."

Sarah masuk ke ruang konsultasi dan di sana berdiri seorang dokter muda dengan senyuman ramah di wajahnya. Dokter Fajar menyambutnya dengan hangat. Ia dikenal sebagai dokter yang baik hati dan sangat profesional. Meskipun baru bertemu beberapa kali, Sarah merasa ada kenyamanan tersendiri saat berbicara dengan dokter ini.

"Selamat pagi, Sarah. Bagaimana kabarmu hari ini?" Dokter Fajar membuka percakapan dengan nada penuh perhatian.

"Sedikit lebih baik, Dok. Tapi saya masih merasa sulit untuk bergerak bebas," jawab Sarah sambil duduk di kursi yang disediakan.

Dokter Fajar memeriksa kaki Sarah dengan cermat. Luka di kaki akibat kecelakaan itu sudah mulai sembuh, tetapi masih ada sedikit bengkak yang membuat Sarah kesulitan untuk berjalan tanpa rasa sakit. Ia mengetuk-ngetuk bagian kaki Sarah dengan lembut untuk memeriksa respons saraf.

"Pemulihanmu berjalan dengan baik. Namun, kamu harus tetap sabar, Sarah. Trauma seperti ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga mental. Apa kamu sudah berbicara dengan seseorang tentang apa yang kamu rasakan?"

Sarah ragu sejenak. Pertanyaan itu seperti membuka pintu yang sudah lama tertutup rapat. Selama ini, ia memang cenderung menyimpan perasaannya sendiri. Terlalu sibuk berpura-pura kuat, padahal dalam hatinya, ia merasa rapuh.

"Sebenarnya, belum banyak, Dok," jawab Sarah akhirnya. "Rasanya sulit untuk bercerita. Saya khawatir jika saya membuka diri, rasa sakit itu akan semakin nyata."

Dokter Fajar duduk di kursinya dengan tenang, memandang Sarah dengan penuh pengertian. "Saya mengerti. Trauma seperti ini seringkali membuat kita merasa takut untuk berbicara tentang apa yang terjadi. Tapi, Sarah, jangan lupakan bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari pemulihanmu. Menjaga fisik itu penting, tetapi kalau mentalmu tidak sehat, proses pemulihan fisik pun bisa terganggu."

Sarah menunduk, memikirkan kata-kata itu. Ia tahu bahwa ada kebenaran di dalamnya. Selama ini, ia mencoba menyembunyikan perasaannya dari semua orang, termasuk dari dirinya sendiri. Ia takut untuk menghadapi kenyataan bahwa kecelakaan itu telah mengubah hidupnya, dan mungkin, dirinya.

"Apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanya Sarah, suaranya penuh kebingungan.

"Langkah pertama adalah menerima perasaanmu. Jangan menyangkal apa yang kamu rasakan. Setelah itu, cobalah bicara dengan seseorang yang bisa mendengarkanmu, entah itu teman, keluarga, atau bahkan profesional. Jangan memaksa dirimu untuk selalu terlihat kuat. Proses pemulihan adalah perjalanan, bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam semalam."

Sarah terdiam sejenak. Kata-kata Dokter Fajar beresonansi dengan perasaannya yang terdalam. Ia tahu bahwa selama ini ia berusaha terlalu keras untuk kembali ke kehidupannya sebelum kecelakaan, tanpa mengakui bahwa ia sebenarnya belum siap.

"Terima kasih, Dok. Mungkin itu yang perlu saya dengar," kata Sarah pelan.

Dokter Fajar tersenyum tipis. "Saya di sini untuk membantumu, Sarah. Jangan ragu untuk mencari pertolongan, baik untuk kesehatan fisik maupun mentalmu."

Setelah sesi kontrol selesai, Sarah kembali bertemu dengan Ana di ruang tunggu. Ana langsung menghampiri, memperhatikan ekspresi Sarah yang terlihat sedikit lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Bagaimana tadi, Sar?" tanya Ana sambil membantu Sarah berjalan pelan keluar dari klinik.

"Dokter Fajar bilang pemulihanku berjalan baik. Tapi dia juga mengingatkan aku bahwa aku perlu lebih fokus pada kesehatan mentalku," kata Sarah sambil merenung. "Aku terlalu sibuk berusaha kuat, padahal mungkin aku belum benar-benar siap untuk kembali ke dunia modeling."

Ana mengangguk pelan. "Itu wajar, Sarah. Kamu punya waktu untuk pulih, dan tidak ada yang memaksamu untuk kembali cepat-cepat. Tapi, jika kamu merasa sudah siap, aku tahu bahwa kamu pasti bisa melakukannya. Kamu adalah orang yang kuat, bahkan jika kamu tidak selalu merasa seperti itu."

Perjalanan pulang ke apartemen terasa lebih ringan bagi Sarah. Meskipun masih ada beban di hatinya, kata-kata Dokter Fajar dan dukungan Ana membuatnya merasa ada secercah harapan. Sesampainya di apartemen, mereka berdua duduk di ruang tamu. Ana segera menyuguhkan teh hangat, mencoba menciptakan suasana yang tenang.

Sarah memegang cangkir teh dengan kedua tangannya, merasakan hangatnya menjalar ke seluruh tubuh. "Aku sedang mempertimbangkan untuk kembali bekerja," ujarnya tiba-tiba.

Ana mengangkat alis, sedikit terkejut. "Benarkah? Itu berita bagus, tapi kamu yakin sudah siap?"

Sarah menatap Ana sejenak sebelum menjawab, "Aku belum yakin. Aku masih ragu-ragu, terutama dengan apa yang terjadi terakhir kali. Dunia modeling bukan hanya tentang penampilan fisik, tapi juga kekuatan mental. Dan aku masih merasa takut."

Ana tersenyum lembut. "Itu normal, Sar. Kamu telah melalui banyak hal. Tidak apa-apa jika kamu masih merasa ragu. Yang penting, kamu mendengarkan dirimu sendiri dan bergerak sesuai dengan kemampuanmu saat ini. Jika kamu butuh waktu, ambil waktu. Tidak ada yang mendesakmu."

Sarah merasa terhibur dengan kata-kata Ana. Meskipun jalannya masih panjang dan penuh tantangan, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dukungan dari orang-orang terdekatnya, seperti Ana dan bahkan Dokter Fajar, memberi Sarah kekuatan untuk perlahan-lahan menghadapi rasa takutnya.

"Mungkin aku akan memulai dengan hal-hal kecil dulu," kata Sarah, suaranya lebih tenang sekarang. "Seperti ikut pemotretan untuk katalog atau iklan kecil. Sesuatu yang tidak terlalu menekan, tapi cukup untuk membuatku merasa terhubung kembali dengan pekerjaan yang aku cintai."

Ana mengangguk setuju. "Itu bisa menjadi awal yang baik. Tidak perlu terburu-buru. Kamu bisa melakukannya dengan langkah-langkah kecil."

Sarah tersenyum. "Ya, mungkin itu yang aku butuhkan. Langkah-langkah kecil."

Sarah akhirnya merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Meski jalan pemulihan masih panjang, setidaknya ia telah mengambil langkah awal yang penting. Tidak hanya untuk kesehatannya, tetapi juga untuk masa depannya yang baru.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cahaya di Ujung Jalan   Cahaya di Ujung Cerita

    Waktu terasa berjalan lambat sejak kejadian malam itu. Sarah masih sering terbangun di tengah malam dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi dahinya. Fajar, yang selalu ada di sampingnya, akan menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan membisikkan kata-kata penenang. Namun, keduanya tahu bahwa selubung ancaman masih menggantung di atas mereka.Hari ini, Sarah duduk di teras rumah sambil memangku salah satu bayi kembarnya, Aisyah. Di dekatnya, Arfan tertidur di bouncer kecil. Mata Sarah terlihat kosong, pikirannya melayang pada sosok Raka, orang yang selama ini berada di balik semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya.Fajar keluar dari dalam rumah dengan membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Sarah dan memandang wajah istrinya dengan penuh kasih sayang."Kau harus istirahat, Sayang. Kau tak bisa terus memikirkan hal ini." ujar Fajar sambil menyerahkan secangkir teh.Sarah menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas Fajar. Tapi aku tidak akan merasa tenang samp

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kebenaran yang Terungkap

    Bab 58: Kebenaran yang TerungkapMalam itu, Sarah duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar sambil menatap layar ponselnya. Pesan singkat yang masuk beberapa menit lalu terasa seperti palu godam yang menghantam hatinya."Kau pasti tahu sekarang siapa di balik semua ini. Tapi berhati-hatilah, Sarah. Jangan gegabah jika kau ingin keluargamu selamat."Nama pengirim tidak ada, hanya nomor tak dikenal. Namun, Sarah tahu persis siapa yang dimaksud oleh pesan itu. Sebuah nama yang selama ini tak pernah ia duga, Raka, sepupu jauh Fajar, yang selama ini bersikap baik dan ramah di hadapannya.Sarah memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan napas yang tersengal. Ia tak pernah berpikir bahwa orang yang dikenal keluarga mereka dengan baik bisa melakukan hal sekeji ini. Dengan tangan bergetar, ia menggenggam ponsel lebih erat.Fajar yang baru saja pulang dari pertemuan dengan Jo, masuk ke rumah dan langsung melihat wajah pucat istrinya. "Sayang, ada apa? Kau terlihat ketakutan."Sarah menatap

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman

    Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya meski suara tangisan Arfan sesekali memecah keheningan. Sarah duduk di tepi ranjang dengan Arfan dalam gendongannya, wajahnya masih terlihat pucat dan matanya sembab akibat tangisan sepanjang malam. Fajar berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Siapa yang tega melakukan ini pada kita?" suara Sarah lirih namun penuh tuntutan jawaban.Fajar berbalik, matanya bertemu dengan mata istrinya yang penuh kecemasan. Ia mendekat dan duduk di samping Sarah, tangannya menggenggam tangan istrinya erat."Aku tidak bisa memberitahumu detailnya sekarang, Sayang. Tapi yang jelas, ini belum berakhir. Aku sudah membuat kesepakatan dengan mereka demi Arfan," ucap Fajar dengan suara bergetar.Sarah terdiam, napasnya tercekat. "Kesepakatan apa? Kau… kau tidak melakukan sesuatu yang membahayakan, kan?"Fajar menggeleng pelan. "Aku hanya diminta untuk melakukan operasi pada seseorang. Aku tidak tahu

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman dibalik Pisau

    Asap masih mengepul di sekitar dermaga tua ketika Fajar terduduk di papan kayu yang mulai retak. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar akibat luka dan kelelahan. Namun, di balik semua itu, satu hal memenuhi pikirannya, Arfan harus ditemukan.Sirene polisi semakin dekat. Beberapa petugas berlari menghampiri lokasi ledakan, namun Fajar sudah bangkit sebelum mereka sempat menanyakan apa pun."Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu polisi."Saya baik-baik saja. Tapi anak saya diculik, dan pelakunya ada di sini!" Fajar berseru dengan nada panik namun tegas.Polisi itu menatap Fajar dengan serius. "Kami akan menyisir area ini. Anda sebaiknya diperiksa di rumah sakit dulu, Pak.""Tidak!" Fajar menepis tangan polisi yang mencoba menahan bahunya. "Waktu saya tidak banyak. Setiap detik yang terbuang bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk anak saya."---Fajar kembali ke mobilnya dengan langkah tergesa. Ponselnya bergetar, Jo menelepon."Jar, aku sudah melacak sinyal terakhir dar

  • Cahaya di Ujung Jalan   Jejak yang Hilang

    Pagi itu, mentari menyinari halaman kecil di belakang rumah Fajar dan Sarah. Kedua bayi kembar mereka, Aisyah dan Arfan, sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi di dalam keranjang bayi masing-masing. Sarah duduk di dekat mereka sambil mengawasi dengan senyum lembut di wajahnya."Mbak, aku masuk sebentar ya, ambil jus buat kita," ujar Sarah pada pengasuh bayi mereka, Mbak Rina, yang sedang sibuk melipat selimut di samping keranjang.Mbak Rina mengangguk. "Iya, Bu Sarah, biar saya yang jaga di sini."Sarah bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil jus segar di dapur. Namun, beberapa menit kemudian, suara jeritan Mbak Rina terdengar memecah keheningan."Bu Sarah! Bu Sarah! Arfan hilang! Arfan hilang!"Sarah berlari secepat mungkin ke halaman belakang. Matanya membelalak melihat salah satu keranjang bayi kosong, Arfan tidak ada di sana. Mbak Rina tampak gemetar dan menangis di samping keranjang yang kosong itu."Apa yang terjadi? Di mana Arfan?!" suara Sarah bergetar, matanya mul

  • Cahaya di Ujung Jalan   Momen Manis di Tengah Ketegangan

    Pagi itu, sinar matahari hangat menyinari halaman rumah kecil keluarga Fajar dan Sarah. Suara tawa kecil bayi kembar, Aisyah dan Arfan, memecah keheningan di taman kecil tempat mereka menggelar tikar piknik. Fajar dengan cekatan menyiapkan tempat duduk nyaman untuk Sarah dan memastikan kedua bayi mereka terlindungi dari sinar matahari langsung."Mas, ini pertama kalinya kita piknik lagi sejak bayi-bayi lahir," ujar Sarah sambil merapikan kerudungnya dan tersenyum lembut ke arah suaminya.Fajar mengangguk sambil menuangkan jus jeruk ke gelas kecil untuk Sarah. "Iya, Sayang. Aku pikir kita butuh momen seperti ini. Jauh dari keramaian, hanya kita berempat."Meski senyumnya lebar, Sarah bisa menangkap ada sesuatu di balik mata suaminya, kewaspadaan yang terus-menerus. Fajar selalu melirik ke sekeliling mereka, memastikan tak ada hal mencurigakan yang mendekati keluarga kecilnya."Mari kita nikmati momen ini, Mas. Aku ingin lihat senyum yang benar-benar lega dari kamu," kata Sarah sambil m

  • Cahaya di Ujung Jalan   Syukuran Pemberian Nama

    Matahari pagi menyinari halaman rumah Fajar dan Sarah, yang hari ini dipenuhi dengan dekorasi sederhana dan elegan. Nuansa putih dan emas mendominasi, dengan bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut ruangan. Hari ini adalah momen spesial syukuran pemberian nama untuk bayi kembar mereka. Sarah sibuk memastikan semua persiapan sudah sempurna. Dengan balutan gamis berwarna lembut, ia terlihat anggun meski lingkaran kecil di bawah matanya menandakan kurang tidur karena merawat si kembar. Di sisi lain, Fajar membantu para tamu yang mulai berdatangan dengan senyum ramah. "Sayang, jangan terlalu capek. Duduk dulu, biar aku yang urus sisanya," ujar Fajar lembut sambil memegang bahu Sarah. Sarah tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Mas. Aku cuma ingin memastikan semuanya berjalan lancar." Acara dimulai dengan lantunan doa yang dipimpin oleh seorang ustadz yang dihormati oleh keluarga mereka. Para tamu duduk dengan khidmat, menyimak setiap doa yang dipanjatkan untuk kesehatan dan kebaha

  • Cahaya di Ujung Jalan   Hari yang Penuh Cinta

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara

  • Cahaya di Ujung Jalan   Masa Lalu yang Lain

    Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status