Raya mengingat kejadian tragis yang baru saja menimpanya. Seketika rasa sesak menyeruak didadanya. Membuatnya nyaris tidak bisa bernafas.
Diiringi rasa sakit seolah tubuhnya remuk, Raya terduduk dan menangis histeris. Dia menjambak rambutnya, meratap kesakitan.“Ibu... aku sakit... Ibu... Tolong...” Ratap Raya pilu.Dia tak ingin mengeluh pada ibunya yang sudah meninggal dan membuat roh ibunya mungkin khawatir, tapi dia tidak tahu lagi bagaimana melampiaskan rasa sakitnya.“Ibu... Aku takut... Aku sakit.... Ibu... Aku ingin bertemu denganmu...” Ratapan Raya berubah menjadi rintihan yang menyayat hati.Tak lama kemudian rintihannya kembali berubah menjadi tangisan histeris. Raya menjerit, menjambak rambutnya, memukuli dadanya yang sesak, mencakar dan mengacak-acak hal-hal yang bisa dia jangkau demi melampiaskan rasa frustasinya. Dia merasa akan menjadi gila karena rasa marah, takut, benci dan semua emosi negatif melebur menjadi satu tanpa tempat untuk melampiaskan.Dia kesal pada kebodohannya sendiri yang terlalu mempercayai ucapan Soni. Dia menyesal kenapa dia tergiur oleh bujuk rayu Soni dan menandatangani kontrak dengan Bintang Murni. Perusahaan sampah yang menjualnya!Raya merasa sekarat karena berbagai emosi yang bercampur aduk dan terlalu intens.Lama kemudian, perlahan-lahan tangisan Raya mereda. Hanya tersisa sesenggukan samar sebelum benar-benar menjadi hening.Setelah terdiam lama, Raya dengan susah payah menyeret tubuhnya yang babak belur ke kamar mandi. Dia dengan jijik menggosok setiap inci kulitnya. Membenci rasa kotor dan rendah diri yang bergelayut dipikirannya.Selesai mandi, Raya mengumpulkan pakaiannya yang telah tercabik-cabik. Berusaha merapikannya namun gagal. Pakaiannya sudah sobek dimana-mana. Benar-benar tidak bisa digunakan tanpa mengekspos tubuhnya.“Bajingan! Brengsek! Matilah! Semoga dia mati tertabrak truk! Semoga dia mati masuk jurang! Semoga dia mati terlindas kontainer! Semoga dia mati...” Raya merapalkan rentetan kutukannya sambil terisak-isak.Gadis itu mencari ponselnya sambil berulang kali menghapus air matanya yang mengalir terus-menerus.Dia bertanya-tanya, mungkinkah perusahaan ini memang jenis penjahat yang menjual manusia? Jika tidak, kenapa Linda Mei bisa mengatakan hal-hal seperti itu? Jika iya, berapa banyak orang yang sudah dijual oleh Bintang Murni?“Kenapa aku harus bertemu Soni? Kenapa aku menandatangani kontrak? Kenapa perusahaan jahat semacam bisa berdiri?” Raya mengeluh dalam isakannya. Air matanya yang semula mulai surut kini menjadi deras lagi.Tepat saat dia menemukan ponselnya, pintu kamarnya terbuka. Raya yang sangat terkejut dan ketakutan segera mencengkeram erat-erat pakaiannya. Tanpa sadar, tubuhnya bergetar samar. Dia menatap orang yang masuk penuh waspada.“Raya, aku datang untuk membawamu pergi.”Soni yang muncul dibidang penglihatannya seketika membangkitkan kebencian dan amarah Raya. Namun, sebelum dia berteriak untuk melampiaskan, Soni lebih dulu melemparkan kantong berisi pakaian yang dibelinya.“Tuan Gin mengatakan pakaianmu rusak parah. Jadi aku datang membawakanmu pakaian. Cepat ganti dan kita akan pergi menandatangani kontrak drama,” ucap Soni tanpa tertarik dengan kondisi Raya.Pria itu tidak memandang rendah Raya, tidak juga memiliki belas kasihan. Dia hanya menatap Raya seolah tidak ada yang terjadi pada gadis itu. Benar-benar menatap seperti tanpa perasaan berarti.Raya membuka mulutnya siap membantah, melampiaskan kemarahan dan mencakar Soni. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan berputar dikepalanya, apakah dia akan terus mengikuti Soni?Jika Soni bisa menjualnya sekali, bukankah akan ada yang kedua, ketiga dan seterusnya?Apakah Raya rela? Tidak. Dia sangat tidak rela.Memikirkan lagi situasi tragisnya, rasa sakit mulai membuat dadanya sesak lagi. Nafasnya tersendat dalam isakan. Tapi kali ini dia tidak ingin terisak, tidak ingin merintih. Raya bahkan berusaha menghapus air matanya lebih kuat. Bertekad tidak akan menunjukkan sisi paling menyedihkannya kepada manajer bajingannya.Tanpa suara, Raya meraih kantong pakaian dan masuk ke kamar mandi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk keluar dalam keadaan rapi. Lebam ditubuhnya sudah tersembunyi, tapi yang diwajahnya tidak bisa dia sembunyikan begitu saja.Soni mengamati Raya dan berdecak kesal. “Wajahmu terlalu berantakan. Aku akan membawamu untuk merias wajahmu lebih dulu. Cepatlah, kita tak punya banyak waktu.”“Aku ingin memutuskan kontrak,” ucap Raya menghentikan langkah Soni yang akan keluar dari kamar hotel.“Apa kau bilang?!” Soni memastikan pendengarannya tidak salah.“Aku bilang, aku ingin memutuskan kontrak.” Tegas Raya.“Omong kosong! Apa kau gila?! Kau sudah seperti ini dan kau akan pergi begitu saja?! Kau akan membayar denda yang tinggi!” Kesal Soni.Biasanya, ketika calon aktris sudah dijual, bagaimanapun frustasinya, mereka hanya bisa menahannya karna tidak ingin semakin banyak kerugian jika memutuskan kontrak.Tapi apa yang dilakukan Raya? Dia bahkan sudah mengalami hal seperti itu tapi bertekad memutuskan kontrak? Apakah dia bodoh atau gila?“Aku akan membayarnya. Aku tidak membutuhkan komentar dan pendapatmu. Aku hanya memberitahumu,” ujar Raya tak goyah.“Lalu apa? Setelah memutuskan kontrak, apa kau akan melapor ke polisi? Kau pikir itu akan berguna?” ejek Soni.Tanpa Soni mengatakannya, Raya juga tahu bahwa itu tak berguna. Tapi itu adalah hal yang berbeda. Poin utamanya adalah jika dia terus bersama Soni, Raya tidak akan tahu berapa kali lagi dia akan dijual hanya demi peran-peran dalam sebuah drama. Hal itu sama sekali tidak mampu dia tanggung.“Itu bukan urusanmu.” Raya berucap sambil melewati Soni untuk keluar dari kamar hotel.“Raya! Kau serius?! Apa kau gila?!”Raya mengabaikan teriakan Soni dibelakangnya dan pergi tanpa menoleh.Jelas tubuh dan pikiran Raya sedang tidak sehat, tapi dia sama sekali tidak mau menunda pemutusan kontrak.Raya mengeluarkan semua tabungan yang dimilikinya, menjual semua properti dan tanah peninggalan orang tuanya. Kemudian bergegas pergi untuk memutuskan kontrak hanya seminggu kemudian.“Apa kau sudah memikirkannya matang-matang? Kau yakin?” tanya Beni, bos perusahaan saat Raya datang untuk memutuskan kontrak.“Aku yakin. Bahkan sangat yakin. Perusahaan sampah seperti ini harus ditinggalkan!” Sahut Raya tegas.Beni tertawa. Dia sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan kasar Raya. Dia justru membujuk Raya.“Bukankah itu merugikan dirimu sendiri? Sejak kau melayani tuan muda Gin, peran wanita ketiga dalam drama adalah milikmu. Apa kau rela membiarkan orang lain mengambilnya setelah kesulitan yang kau alami?” tanya Beni.“kau tahu itu sulit! Sangat sulit! Aku diperkosa! Aku memiliki trauma dan mimpi buruk setiap malam! Kenapa kau memperlakukan artismu dengan buruk?!” Raung Raya penuh amarah.“Apa kau orang bar-bar yang hanya bisa berteriak? Tidak bisakah berdiskusi dengan baik?” cibir Soni yang berdiri dibelakangnya.“Setelah Apa yang aku alami, kau masih berharap aku berdiskusi dengan baik?! Kau gila! Aku ingin memutuskan kontrak!” sembur Raya. Matanya penuh kemarahan dan kebencian yang kuat ketika menatap Soni. Dia seperti binatang buas terluka yang siap menyerang kapan saja.“Oke, oke. Ruanganku tidak kedap suara. Jangan membuat keributan tidak masuk akal. Kau ingin membatalkan kontrak, maka bayar ganti rugi sepuluh kali lipat.” Beni dengan santai mengeluarkan berkas yang dibutuhkan._Suara lembut Kal yang membacakan dongeng untuk Noval menjadi lebih pelan. Kemudian, saat pria itu melirik si kecil yang meringkuk dipelukan Raya dengan mata terpejam dan nafas teratur, dia berhenti membaca.“Dia tertidur.” Gumam Kal lembut. Pria itu menundukkan kepalanya dan mencium puncak kepala Noval.“Ya. Karena kau pintar membacakan cerita dengan berbagai suara dan emosi.” Puji Raya sambil menggaruk lembut rambut Noval.Setelah mencium kepala Noval, Kal mendongak. Sehingga posisinya kini satu garis lurus dan ambigu dengan wajah Raya. Senyumnya mengembang main-main terutama saat melihat rona malu-malu Raya.“Karena kau ada disini sehingga membuatnya merasa aman. Raya, kau ibu yang baik.” Ucap Kal.Dia ingin memberi segala jenis pujian untuk wanitanya ini, sehingga Raya bisa penuh percaya diri dalam mengasuh putranya. Melepaskan apapun yang membelenggunya dan menghalangi kasih sayangnya untuk secara utuh diberikan kepada Noval.Mendengar ucapan Kal, senyum Raya menegang. Dia yang pa
Raya menggandeng Noval keluar dari bandara. Dia menghela nafas. Setelah lima tahun berlalu, akhirnya dia kembali ke sini. Tempat yang pernah dia tinggalkan dengan membawa luka.Dalam lima tahun, ada banyak tempat baru yang tidak Raya kenali. Namun tentu saja banyak tempat lama yang familiar bagi Raya.Setelah ragu-ragu sesaat, pada akhirnya Raya berkata pada teman Doni yang menyetir, “bisakah kita berputar melewati jalan S?”Meski Raya tidak begitu yakin tentang tujuan mereka, karena Kal telah meyakinkannya bahwa semua hal sudah diurus, maka dia tidak perlu memikirkan apapun lagi. Dengan begitu, pikirannya yang tidak sibuk memiliki waktu luang memikirkan masa lalu.Tentu saja masa lalu ini dia pilah. Hanya kenangan bahagianya saja yang dia pikirkan.“Oke.” Sahut Hari, supir yang dikirim Kal menjemput Raya yang juga merangkap sebagai salah satu bodyguard Raya kedepannya.Sebenarnya Raya agak tidak nyaman dengan pria-pria baru yang Kal tempatkan disekitarnya. Bersama Doni, dia sedang be
“Aku menyarankan untuk memberikan buket anyelir. Itu melambangkan penghormatan. Bagaimana menurutmu?” Ucap Raya berusaha ramah meski kesannya pada Hans sudah jatuh ke titik terendah sejak Hani mengakan pria ini mungkin menyukainya.“Itu bagus. Buat saja sesuai rekomendasimu.” Ucap Hans dengan senyum ramah. “Kudengar, karyawan disini memiliki libur sesuai tanggal. Apakah benar?”“Itu benar.” Raya mengangguk sambil memilih bunga anyelir.“Lalu tanggal berapa biasanya hari liburmu?” Tanya Hans.Gerakan Raya terhenti saat mendengar pertanyaan Hans. Matanya menyipit tajam. Seolah dia akan meremas bunga cantik ditangannya karena marah. Ya, Raya tidak suka jika ada pria yang tidak dia kehendaki memberikan perhatian ekstra padanya. Dia tidak ingin disukai oleh orang yang tidak dia sukai. “Raya?” panggil Hans dengan ragu.Mengingat saat ini dia sedang bekerja, Raya menahan semua ketidaksenangannya dan menatap Hans dengan senyum kaku.“Tunggu sebentar, aku akan memberikan pita dan buketnya se
Raya melambaikan tangannya pada Noval dan Yasnuar yang pergi ke sekolah. Setelah keduanya tidak terlihat lagi, dia masuk dan mulai berganti pakaian, siap-siap pergi bekerja.Juleha yang baru menghabiskan sarapannya menoleh saat melihat Raya masuk. “Mereka sudah berangkat?” tanyanya.“Ya. Apa kegiatanmu hari ini?” Raya balik bertanya sambil masuk ke dalam kamarnya.Berbicara agak keras, Juleha menyahut, “Aku akan menyelesaikan pembayaran tempat calon cafenya.”“Berapa sewanya setahun?” “Raffa bilang lebih hemat membelinya saja. Jadi aku membelinya.” Ucap Juleha sambil beranjak ke dapur untuk mencuci piring bekas sarapannya.Raya terdiam. Baiklah, otaknya masih berpikir sesuai standarnya sendiri yang sama sekali tidak berlaku untuk Juleha. Selesai bersiap, Raya keluar dan mendapati Juleha sudah duduk manis disofa, menggeser-geser layar ponselnya.“Jam berapa kau pergi?” “Masih jam sepuluh nanti. Raya, suamimu mendepak Niana dari kru film.” Ucap Juleha tiba-tiba.“Berhenti bicara sem
“Dikeluarkan dari kru?!” Tanya Zaki dengan suara yang semakin suram. “Ya, hari ini baru saja aku bersiap untuk syuting namun asisten sutradara menyampaikan pemutusan kontrak dan penggantian kerugian. Jika aku tidak mau meninggalkan kru secara sukarela, mereka mengatakan bahwa aku pada akhirnya akan pergi tanpa uang ganti rugi sepeserpun! Mereka mengancamku! Beraninya mereka mengancamku! Kakak lakukan sesuatu untukku!” Niana berkata dengan marah. Dia sangat marah sampai-sampai merasa kepalanya akan meledak karena terlalu mendidih.Zaki terdiam. Dengan apa yang terjadi pada Niana, sudah dipastikan bahwa semua skandal yang meledak adalah ulah Kal. Pria itu marah padanya karena sesuatu yang berhubungan dengan Niana.“Aaggh! Kal bajingan!” raung Zaki sambil melemparkan ponsel ditangannya sebagai luapan dari kekesalannya yang seolah banjir bandang. Meluluh lantakkan pikiran dan moodnya.Dia membuka laci lainnya dan meraih ponsel cadangan. Setelah mengutak-atik sebentar, dia menghubungi ora
“Apa yang kau inginkan dengan menjemputku secara pribadi?” tanya Kal dingin pada Seno.“Bos, biarkan aku yang menangani Zaki? Aku sudah gatal karena terlalu lama tidak membuat masalah.” Gerutu Seno sembari menginjak pedal gas meninggalkan bandara dan menuju lokasi syuting.Tiwi yang duduk dengan tenang dikursi paling belakang hanya bisa membatin, berapa banyak didunia ini orang yang ingin hidup tenang? Tapi Seno justru pusing karena hidup tenang. Sangat diluar kebiasaan.“Tidak diperlukan. Kali ini bukan untuk membuatnya tidak bisa bangkit. Hanya sedikit mencederainya saja.” Gumam Kal tanpa fluktuasi sembari sibuk dengan ponselnya. Omong-omong dia perlu melapor pada pacar tercintanya.[Aku sudah keluar bandara dan hampir sampai ke lokasi syuting. Apa yang sedang kau lakukan?]Tidak terlalu lama balasan Raya datang.[Membereskan mainan Nono yang hampir tidak memiliki tempat untuk meletakkannya. Tadi, aku sedikit berdiskusi dengan Juleha tentang calon cafenya.]“Lalu kapan kau akan menj