Setiap detik yang berlalu itu semakin membuat hatinya merasa bersalah pada Vana yang telah dia tinggalkan, padahal dia yang berniat mengajak Vana melihat isi pondok itu, tapi justru dia pergi begitu saja, bukankah itu sungguh terlalu? Fandra memutuskan mempertahankan Vana, tapi dia malah bertemu mantannya hanya karena seseorang memberi tahu keberadaannya. Apakah itu artinya?
“Katakan apa yang ingin kau katakan, aku tak punya waktu untuk bicara panjang denganmu,” kata Fandra setelah duduk di sofa ruangannya. Wanita itu juga ikut duduk.
“Kau tak punya waktu, tapi terburu menemuiku, apa artinya itu?” Asheila membalas dengan sambil menatap Fandra penuh kemenangan. “Itu artinya, meskipun waktu berlalu lama, di dalam hatimu masih ada aku,” katanya dengan percaya diri.
Namun Fandra diam, seolah membenarkannya, meskipun memang ada, tapi tak sepenuhnya terisi olehnya. Dalam waktu beberapa bulan
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya. Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa. “Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan. Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis. “Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya. Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya. “Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil men
Brak! Prang! Duk! Bruk!Suara benda-benda yang berjatuhan terdengar begitu nyaring. Rumah yang tadinya rapi kini telah berserakan barang-barangnya bagai kapal pecah, tak lagi seindah di awal. Seorang wanita hanya bisa terduduk lemas di tempatnya dengan napas yang tak berarturan, air matanya jatuh dari pelupuk, menatap tajam pria yang memporak-porandakan seisi rumah makannya. Dia tak punya tenaga lagi untuk sekadar menyuarakan satu kata. Wajahnya bahkan merah di ujung sudut mata dan bibirnya terkena hantaman.“Apa kau lihat-lihat, hah? Kau seharusnya bayar tepat waktu maka aku tidak akan melakukan hal ini, sialan!” kata si ketua dari kelompok rentenir.“Bukankah aku sudah bilang itu bukan lagi urusanku, tapi urusannya!” balas wanita yang tak berdaya itu sebisa mungkin membalas.Ini bukan memang bukan salahnya, tapi kenapa dia yang harus menderita?Si ketua tertawa remeh, tak percaya mendengar apa yang di katakan wanita itu. Dia kembali berbalik, berjongkok di hadapan sang wanita dan
“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa denga
“Aaaargh!” jeritan terkejut dari arah depannya membuat Fandra berjengit.Bola matanya nyaris menggelinding dari cangkangnya ketika melihat sesosok gadis di hadapannya, si pelaku yang menjerit nyaring.“Siapa kau?”Suara keduanya beradu. Mereka berhadapan meskipun terdapat jarak sekitar lima meter. Tapi tidak ada benda apapun yang menjadi sekat antara mereka.“Ini rumahku. Kau yang siapa?” Suara Fandra terdengar dingin dan berat, memusatkan pandangannya pada sosok gadis itu yang berdiri di depan sebuah pintu. “Tunggu! Kamar itu … kau, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau siapa?” tanya pria itu tak sabar.“Ada apa ribut-ribut?” Terdengar langkah kaki mendekat, yang datang tak hanya seorang, melainkan nyaris seluruh penghuni rumah.Baik Fandra atau gadis itu sama-sama mengalihkan pandangan.“Dia ….” Lagi-lagi keduanya bersamaan angkat bicara membuat yang lain bingung.“Ah. Kami bisa menjelaskannya, Fandra,” ujar sang nenek setelah memahami situasinya.“Menjelaskan apa?” Fandra menatap