Share

Bab 3 Lari dari pernikahan

"Sudah hampir sore, acara akan segera berakhir. Mungkin saya akan terlambat masuk ke kamar ini, kamu istirahatlah dulu." ucap Akbar, setelah dapat menstabilkan gejolak tubuhnya.

Perhatiannya tak lepas dari wajah cantik Puteri.

Merasa terus diperhatikan, Puteri langsung pergi kekamar mandi, tanpa ucapan apapun.

"Hhuuuhhhh..ya Allah, jantungku rasanya mau copot. Tolong hamba ya Allah, hamba takut. Dia seperti harimau." guman Puteri dan terdengar lirih.

Begitu melihat wajahnya dipantulan cermin dikamar mandi, Puteri baru tersadar kalau dia sudah tidak menggunakan hijab sejak tadi.

" Mati aku, pak Akbar melihat rambutku yang kucel ini.malunya..? segera Puteri membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket dan gerah.

Hari mulai gelap, tamu- tamu undangan sudah pada berpulangan. Pak Akbar baru saja selesai melaksanakan solat magrib di kamar hotel tempat istri pertamanya.

"Kenapa mama tidak solat ?" Tanya pak Akbar lembut.

Melangkah menghampiri istrinya yang sedang duduk diatas pembaringan.

"Kenapa papa bisa membuat keputusan sendiri, untuk menikahinya ?" tanya Bu Nova, yang sudah mulai menangis.

"Keadaan terdesak ma, aku harus bertanggung jawab atas perbuatan Rizal putera kita,"

"Tapi pernikahan bisa dibatalkan, kalau salah satu mempelai tidak ada, pa."

" Dan itu ide kalian kan ? Kalau tidak mau, kenapa tidak dari sebulan yang lalu, membatalkannya." tutur pak Akbar yang sudah mulai emosi.

Emosi dan malu yang tertahan, belum lagi tanggung jawab kepada wanita muda yang Soleha yang baik. Yang telah ditinggalkan Rizal.

" Kalau mama tidak membantunya, ini tidak akan terjadi, mama sendiri yang mempermalukan papa, kelakuan mama sendiri yang buat papa melakukan keputusan ini." Dengan nada tinggi dan kecewa pak Akbar meluapkan isi hatinya.

"Oo, baru satu hari papa menikahinya, aku sudah papa sudutkan seperti ini." ujar Bu Nova dengan wajah dendam dan benci

" Perempuan seperti itu yang papa bilang akhlaknya baik, tidak dapat anaknya, ayahnya pun jadi. Dasar munafik."

"Sifat mama yang satu inilah yang tidak bisa diubah, suka menilai kejelekan orang, tanpa melihat kelakuan sendiri. Karena itu Rizal jadi keterlaluan, dan hidup suka- suka. Mama lebih suka melihat Rizal ber zina dengan perempuan diluaran sana, dari pada Rizal menikah dengan perempuan baik-baik.

"Kenapa mama membantu dan menyarankan Rizal untuk pergi ma,?" tanya pak Akbar sekali lagi.

Menunggu istrinya untuk menjawab, pak Akbar membuka layar ponselnya, mencoba kembali untuk menghubungi puteranya.

"Aku tidak menyukai perempuan itu, aku yakin dia hanya mau harta Rizal saja." ujar Bu Nova.

" Hanya itu ?" tanya Akbar kembali.

"Semuanya, aku tidak menyukainya ?" Bu Nova setengah menjerit mengucapkan kata-katanya.

"Sekarang bukan lagi untuk menghabiskan harta anakku, dia pasti akan menghabiskan hartamu, pa ?

Dengan wajah cantiknya yang pura- pura lugu.

Akbar menggeleng tak habis fikir, dengan ucapan istrinya. Dia tidak bisa melanjutkan kata nasehatnya, karena percuma saja.

Orang yang sudah membenci, dia akan tetap membenci walaupun ada kebaikan dari seseorang yang dibencinya itu. untuk itu pak Akbar diam.

"Papa mau kemana ?" tanya Bu Nova, yang melihat  suaminya seperti akan keluar.

"Papa mau melihat Puteri, walau bagaimanapun dia istriku sekarang ma."

Dengan cekatan Bu Nova langsung menahan pintu hotel agar pak Akbar tidak keluar.

" Aku gak izin pa ? Aku gak ikhlas berbagi, aku gak ikhlas kalau papa menyentuhnya." tutur Bu Nova dengan suara bergetar.

Ada rasa kasihan dihati pak Akbar melihat kondisi istrinya, tapi tidak mungkin juga dia menceraikan Puteri. Terlalu banyak masalah rumah sakit yang harus dia tangani. Belum lagi kepergian Rizal, pasti meninggalkan segudang masalah.

"Jangan egois ma, kamu sendiri yang menyalakan api dalam masalah ini, karena cintaku yang terlalu padamu, menjadikan dirimu seperti imam ku saja."

Setelah berucap demikian, pak Akbar membaringkan tubuhnya diatas sofa, memejamkan mata, mencoba untuk mengistirahatkan tubuh dan fikirannya.

Bu Nova yang melihat suaminya, terbaring diatas sofa, mendekat dan memperhatikan sosok pria gagah yang sangat menyayanginya itu, ada rasa sesal dihati karena mengikuti kemauan Rizal.

Tak terlintas sedikitpun kalau suaminya, akan mengambil keputusan untuk membagi cinta. nasi telah menjadi bubur, yang ada dihatinya kini, hanya dendam dan benci yang terlalu pada Puteri yang sekarang telah menjadi madunya.

Sementara di kamar pengantin hotel, Puteri baru menyelesaikan solat isya.

Berniat untuk menghubungi sang ayah, Puteri segera naik keatas tempat tidur pengantin, yang sudah disulap dengan indah. Namun tidak seindah nasibnya.

"Assalamualaikum, hallo ayah ?" sapa Puteri lembut dari sambungan ponselnya.

"Waalaikum salam, sayang." Jawab sang ayah.

"Ayah dimana, sampai rumah jam berapa, sudah makan ?" Puteri bertanya tanpa jeda, membuat orang diseberang sana tersenyum dengar pertanyannya.

"Ayah dirumah kita sayang, tadi sore jam lima sampai rumah, ayah sudah makan." Jawab pak Yusuf, ada rasa hati yang sulit dijabarkannya.

Sifat anaknya yang selalu menerima apapun tentang kehidupannya, tidak pernah menuntut ini dan itu kepadanya, hingga masalah cita dan cintapun dia meminta keputusan sang ayah.

Permintaan Puteri sangat sederhana, dia mau ayahnya bahagia dan tidak banyak beban fikiran, cukuplah kepergian sang ibu menghadap sang Khalid, membuat ayahnya hampir putus asa kala itu.

Selebihnya, setelah mempunyai semangat hidup kembali, Puteri ingin  ayahnya bahagia dengan menuruti semua kehendak sang ayah, tentang hati, hati Puteri hanya untuk ayah dan ibunya.

"Kamu sudah makan nak ?" Panggil pak Yusuf kepada sang anak, yang tiba-tiba tiba diam dari balik ponsel masing-masing.

"Tadi sore sudah ayah, Puteri masih kenyang." jawab Puteri.

"Ayah, boleh Puteri minta tolong ?"

" Tolong apa sayang," pak Yusuf bertanya balik.

"Katakan pada kawan ayah itu, Puteri ingin terus bekerja, Puteri gak mau duduk diam dirumah."

"Ikuti kata suamimu sayang, ayah tidak mau ikut campur pada semua keputusan tentang hidupmu." ujar pak Yusuf mencoba menjadi orang tengah terhadap anak dan menantunya.

" Ya sudah, kalau begitu, nanti Puteri mau ngomong sendiri dengan kawan ayah itu," ujar Puteri pelan.

"Ayah istirahatlah, sudah malam. puteri tutup dulu ya yah, Assalamulikum.?"

"Waalaikum salam," jawab sang ayah dari seberang.

Sadar dengan banyaknya kelopak bunga, dan hiasan diatas tempat tidur. Puteri segera memindahkan semua dekorasi yang membuatnya sumpek.

"Sudah lapang dan bersih, waktunya untuk tidurrr,"

ucap Puteri pelan.

Mencari posisi ternyaman, beberapa kali Puteri membolak balikkan tubuhnya, hingga akhirnya dia tertidur. Melupakan sejenak masalah yang akan segera memburunya.

Beberapa saat kemudian, suara handle pintu yang dikunci dari dalam terbuka.

Muncul seseorang pria gagah yang masih kelihatan tampan dan yang pasti beribawa, perawakan tinggi besar dengan brewok tipis yang selalu menghias dipipi, adalah ciri khas dari seorang Akbar Firdaus.

Orang terpenting dalam dunia kesehatan, telah  menjadi suami sah dari Adriani Puteri, yang hanya bekerja sebagai pegawai kesehatan di bahagian gizi dirumah sakit miliknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status