Memangnya apa yang bisa membuatmu lebih bahagia?
Kalau aku, cukup bersama orang yang juga mencintaiku, aku sudah bahagia.***
Henggar berjalan tergesa-gesa di koridor sekolah menuju parkiran. Bel pulang sudah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu namun lelaki itu baru keluar ketika waktu sudah sore. Sejak tadi, ia merenung di rooftop gedung dan pikiran lelaki itu sangat gelisah. Bagaimana tidak? Berita tentang Rehan yang bahkan sudah terjadi dua tahun silam dan kasus itu pun sudah ditutup, kini kembali terkuak. Kembali naik dan kini menjadi perbincangan seluruh siswa Grand Nusa. Apalagi dengan Rallin yang di percaya sebagai pelaku pembunuhan kakaknya sendiri. Hal itu benar-benar menguras pikirannya.
Bahkan Henggar dan Rallin belum bisa menemukan titik terangnya sejak dulu, tapi kini malah muncul permasalahan baru. Ini semua karena Ranti, mamanya. Kalau saja wanita itu tidak mengatakan hal tentang Rehan kepada Adelia, berita ini tidak akan tersebar.
Terlalu rumit untuk sekedar dipahami***Tepat pukul delapan malam, Nadiv sampai di halaman apartemen Henggar. Sesuai permintaan lelaki itu, Nadiv membawa gadis yang kini tengah duduk di boncengannya ke kediaman kakaknya.Nadiv melepaskan helmnya kemudian menoleh. Tersenyum tipis kala mendapati Rallin sudah terlelap. Untung saja selama perjalanan, lelaki itu menggenggam erat tangan Rallin yang melingkar di perutnya. Jadi gadis itu tidak jatuh.Nadiv bergerak untuk mengangkat gadis itu. Kemudian berjalan membawanya ke dalam gedung. Tepat ke apartemen Henggar.Sepanjang perjalanan, banyak pasang mata yang menatap mereka berdua. Bahkan para gadis pun menatap kagum ke arah Nadiv. Tidak lupa, bukan? Nadiv itu meskipun nakal, tapi parasnya bisa membuat para kaum hawa terpesona. Bukan tampan dengan lesung pipi, tapi lelaki itu tampak manis dengan gigi taringnya yang runcing. Ketika lelaki itu tersenyum lalu menampakkan giginya, kesan tampan benar-be
Rallin menggeliatkan badannya yang terasa pegal. Kedua tangannya saling terentang, meluruskan otot-ototnya. Ia merasa sudah tertidur cukup lama. Matanya menyipit saat sinar matahari menerobos masuk ke dalam retinanya.Gadis itu menguap lebar. Padahal kini waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sontak gadis itu membelalakkan matanya kaget."Gila!!" Pekiknya keras kemudian langsung beranjak turun dari ranjang dengan tergesa-gesa.Bahkan selimutnya pun sampai terlempar ke sudut ruangan. Rallin tidak peduli. Gadis itu sudah melesat ke kamar mandi. Tidak perlu berlama-lama, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, gadis itu sudah keluar lagi. Bodoh amat mau dikatain mandi bebek, yang jelas sekarang pikirannya adalah satu. Ia terlambat ke sekolah.Setelah selesai memakai seragam, gadis menggelung rambutnya asal. Bahkan tidak sempat menyisir rambutnya. Menyambar tas miliknya yang tergeletak di meja belajar.
Henggar duduk termenung di ruang tamu. Pikirannya berkelana, memikirkan cara untuk mencari bukti tentang kasus pembunuhan Rehan. Terakhir kali ia datang ke lokasi kejadian adalah satu bulan yang lalu. Bahkan lelaki itu sudah menelusuri setiap sudut lokasi kejadian. Berharap ia menemukan setitik bukti yang bisa ia gunakan untuk membersihkan nama Rallin. Terutama di hadapan kedua orang tuanya. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil kecewa karena tak kunjung menemukan bukti.Ia merasa ada yang janggal dengan kematian Rehan. Bahkan orang tuanya terkesan merahasiakan kasus ini dengan alasan tidak mau membuat Rallin masuk penjara. Sedikit masuk akal namun itu bukanlah langkah yang baik. Jika kasus itu terus diselidiki, Henggar yakin kalau Rallin terbukti tidak bersalah dan orang tuanya tidak akan terus menyalahkan gadis itu.Henggar memejamkan matanya, merasa penat dengan permasalahan yang menhantui kehidupannya. "Apa yang harus gue lakuin sekarang?" gumamnya pelan
Hari yang buruk. Begitulah Rallin mengatakannya. Seharusnya hari ini menjadi hari yang menyenangkan karena bisa menghabiskan waktu bersama Nadiv. Tapi ada saja pengganggunya.Huft!Gadis itu menghela nafasnya pelan. Ia sudah sampai apartemen sejak 30 menit yang lalu dan tidak mendapati Henggar di sini. Kemana lelaki itu? Biasanya Henggar akan memberitahunya kalau ia ingin berpergian. Tapi ini tidak sama sekali. Membuat Rallin kelimpungan sendiri. Bahkan ponsel lelaki itu tidak aktif sama sekali saat ia mencoba menghubunginya. Ia pun mencoba menghubungi seseorang."Hallo, Dan. Lo lagi sama Henggar nggak?" Tanya Rallin.Terdengar suara tawa di seberang sana. "Udah punya Nadiv masih aja nanyain Henggar. Gue nggak sama dia, Lin."Rallin mencebik. Didan belum tahu saja kalau Hengggar itu kakaknya. "oh, yaudah. Thanks, ya." Kemudian Rallin pun menutup teleponnya.Pikirannya menerawang, menebak dimana lelaki itu berada. Biasanya tempat yang sering
Rallin tersentak karena kaget. Bahkan buku yang dipegangnya pun terjatuh. Matanya membola melihat keberadaan Herman yang sudah menatapnya seperti singa lapar. Aura kemarahan menguar jelas dari wajah lelaki itu.Tangan Rallin bergetar hebat saat Herman mulai berjalan menghampirinya. Ia perlahan bangkit dari duduknya.“Pa…” lirihnya.Plak!Wajah Rallin tertoleh ke samping saat tangan besar Herman mendarat dengan sempurna di pipinya. Meninggalkan bekas kemerahan di sana. Rasa panas menjalar dengan cepat. Membuat Rallin harus memejamkan matanya menahan rasa sakit. Bulir Kristal di matanya sudah lolos begitu saja.“Lancang! Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke kamar ini?!” Bentak Herman membuat Rallin terlonjak kaget.“Maaf, Pa. Aku cuma kangen sama kak Rehan,” cicit Rallin. Kepalanya tertunduk tak berani menatap langsung mata Herman.“Saya sudah pernah bilang tidak ada yang boleh masu
Rallin berjalan tertatih sambil dituntun oleh Sendi. Tangannya mencengkeram erat tangan Sendi yang merengkuh pinggangnya. Sesekali ia meringis kecil karena menahan sakit. Tak tega melihat Rallin yang kesakitan, Sendi memutuskan untuk menggendong gadis itu.“Eh?” Rallin terperanjat. Tangannya langsung melingkar di leher Sendi.Sendi menunduk, memperhatikan wajah Rallin.”Nggak tega gue liat lo kesakitan,” ujarnya.Seharusnya tadi Sendi membawa gadis itu ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Namun gadis itu menolak dengan alasan ia tidak apa-apa dan luka itu akan segera sembuh. Tak mau memaksa, Sendi pun menuruti keinginan gadis itu dan membawanya ke apartemen milik Henggar.Rallin membantu Sendi untuk membukakan password apartemen itu. Pintu pun terbuka. Tampak Henggar yang tengah duduk di ruang tamu itu segera bangkit menghampiri Rallin. Rasa khawatir langsung terpancar di wajah lelaki itu.“Lo kenapa? Kenapa, sih, ng
Pukul delapan pagi. Waktu yang begitu siang untuk ukuran anak sekolah. Mereka akan kalang kabut karena terlambat. Namun rasanya hal itu tidak berlaku untuk Nadiv Dirgantara. Lelaki nakal yang selalu berangkat terlambat sampai membuat bu Neni, si guru BK yang mendapat julukan sebagai pacarnya itu bingung harus memberikan hukuman apa untuk Nadiv.Bu Neni tampak menghela nafasnya lelah. Ditatapnya anak nakal yang kini tengah berdiri di depannya sambil cengengesan. Benar-benar tidak memiliki rasa bersalah ataupun menyesal sedikitpun. Ah, iya, dia lupa tidak ada kata menyesal karena melanggar aturan sekolah dalam kamus hidup Nadiv.“Sekarang terserah kamu deh, ibu udah cape,” ujar bu Neni sambil menatap Nadiv malas. Ditambah lagi dengan penampilan pakaian seragam Nadiv yang selalu jauh dari kata rapi. Membuat mata bu Neni merasa ngantuk.Sementara itu, Nadiv yang tengah berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuhnya, membentuk posisi istirahat di
Rallin berdiri sembari termenung memandangi pemandangan dari ketinggian lantai 15 itu. Matanya menatap ke hamparan rumah-rumah penduduk yang tampak kecil. Pandangannya menatap kosong. Pikirannya berkelana. Bohong kalau ia tidak kecewa setelah melihat foto yang dikirim oleh nomor tidak dikenal itu.Foto Nadiv dan Adelia tengah berciuman.Rallin tersenyum sinis. Bolehkah ia marah? Bukankah Nadiv sudah berjanji akan selalu bersamanya. Lalu ini apa? Sekali lagi, bolehkah Rallin marah pada Nadiv di saat mereka tidak memiliki hubungan khusus? Atau haruskah Rallin marah pada dirinya sendiri karena terlalu tinggi menaruh harapan pada Nadiv?Bagaimanapun juga, Adelia adalah mantan yang begitu dicintai Nadiv. Mungkin akan sulit bagi Nadiv untuk melupakan gadis itu. Lalu dengan percaya dirinya Rallin yakin kalau Nadiv sudah move on dari Adelia dan akan selalu menjadi miliknya. Damn it!Sekarang ia harus menelan pil kecewa karena Nadiv untuk kesekian kalinya. Begitu