"Tolong jangan kasih tau siapapun soal ini ya Bang," pinta Gendhis segera turun dari mobil Axel. Ia memang sengaja meminta Axel mengantarnya hingga Tasikmalaya, di titik penjemputan yang Doni minta. "Kalau Ketua tanya aku harus jawab gimana, Ndhis?" tanya Axel khawatir. "Bilang aja aku di rumah, nggak minta anter ke mana-mana," balas Gendhis. "Jemputanku udah dateng, udah dulu ya," katanya seraya melambai ringan dan berlari kecil ke seberang. Di parkir sebuah minimarket, Doni menunggu sambil mengisap rokoknya. Ia segera mematikan baranya saat melihat Gendhis datang mendekat, menegakkan punggungnya yang semula bersandar pada body mobil. "Sama siapa lo?" tanya Doni dengan mata yang masih mengamati ke arah mobil Axel. "Temen," balas Gendhis singkat."Nggak macem-macem kan dia?" "Kalau dia niat macem-macem, udah dari lama aku nggak akan nemuin Bos," desis Gendhis sabar. "Ya udah, masuk, kita jalan ke lokasi!" perintah Doni segera membukakan pintu kursi penumpang untuk Gendhis.Meli
Seperti yang Gendhis mau, meski sudah menggunakan pengaman, Rai tetap parkir di luar. Ia menghormati permintaan sang mantan istri, memahami betapa traumanya Gendhis saat harus melawan rasa sakit."Aku penerbangan pagi, nggak bisa nginep sini sampe besok," kata Rai seraya membelai surai rambut Gendhis yang berbaring di sebelahnya. "Iya, nggak pa-pa," jawab Gendhis. "Mau balik sekarang?" tanyanya. "Bentar lagi, masih pengin sama kamu," tandas Rai. "Kalau ada apa-apa kabarin aku ya Ndhis. Jangan pernah mikir buat ngatasin semua masalahmu sendirian. Ada aku yang siap bantu," ujarnya. "Iya. Kalau laper aku nanti hubungin kamu," cengir Gendhis sangat cantik. "Biar dimasakin?" tebak Rai gemas. Gendhis manggut-manggut manja, ia lalu menyusup di bawah ketiak Rai, memejamkan mata nyaman di sana. Teringat bahwa sebentar lagi ia juga harus melakukan perjalanan ke Tasikmalaya dan bertindak tanpa sepengetahuan Rai, rasa bersalah membayanginya. Bukan Gendhis tak mau jujur pada Rai, semua tindak
Terengah, Gendhis berusaha mengatur napasnya meski Rai masih memgecupi leher dan tulang selangkanya. Dalam pikiran Gendhis hanya ada bayangan mengenai bagaimana ia akan melalui dua hari ke depan dalam dekapan Mario tanpa sepengetahuan Rai. Jadi, ketika hari ini Rai menyentuhnya, Gendhis tak kuasa menolak. Hanya Rai yang memiliki akses bebas hambatan pada tubuh dan hatinya, seandainya nanti ia hancur di tangan Mario, setidaknya hari ini Rai sudah Gendhis ijinkan untuk menjamahnya. "Rai," erang Gendhis sengaja menarik Rai agar naik menatapnya lagi. "Ya?" dengan mata yang sudah sangat dikuasai gairah, Rai berusaha menahan diri sekuat tenaga. "Apapun yang bakalan terjadi nanti, apa kamu masih tetep bakalan menerimaku dan memintaku jadi istrimu lagi?" tanya Gendhis hati-hati. "Apapun itu Ndhis, sampai mati cuma kamu yang kumau," sahut Rai sangat yakin. "Kalau aku cacat? Kalau aku nggak bisa ngasih keturunan kayak Ann?" "Emang kamu kenapa bisa sampai cacat atau nggak bisa ngasih ketur
Hari Jumat, sehari sebelum keberangkatan Rai ke Makau, ia sempatkan untuk mengunjungi Gendhis lebih dulu ke rumahnya. Berdalih memastikan keamanan Gendhis, Rai memang sengaja datang untuk melepas rindu, mengobati rasa sakaunya dari Gendhis yang susah disembuhkan. "Sama siapa berangkat ke Makau jadinya?" tanya Gendhis seraya menyodorkan makanan ringan dan segelas kopi untuk Rai. "Sendiri, Bang Ardi kusuruh standby di sini, jaga-jaga kalau ada apa-apa," balas Rai. "Kamu kalau misal perlu bantuan apa-apa, hubungi Bang Ardi aja," tambahnya. "Oke," Gendhis mengangguk. "Kayaknya nggak akan perlu apa-apa juga. Akhir pekan, kemarin cuma janjian sama Mbak Mala buat ngobrolin soal sahamnya Papa yang berhasil diambil alih. Cuma belum tau jadi apa enggaknya," lapornya. "Oke," Rai tersenyum tampan. "Mau dibawain oleh-oleh?" tawarnya. "Kamu baik-baik aja dan balik Indo nggak kenapa-napa udah cukup Rai.""Pasti, Ndhis," kata Rai seraya menarik gelas kopinya. Ia seruput hati-hati kopi buatan san
"Akhir pekan aku harus ke Makau, pas nggak ada jadwal praktik juga," ucap Rai setelah menyelesaikan makan malamnya bersama Gendhis. "Ngurus kerjaan klan ya?" tebak Gendhis langsung nyambung. "Iya," balas Rai. "Kami pegang pusat kasino terbesar di sana, mau coba liat perputaran uangnya dulu, biar nanti bisa ngembangin yang dipegang sama Danisha di sini," terangnya. "Oke," ucap Gendhis manggut-manggut. "Kamu mau ikut?" tawar Rai tiba-tiba. "Hem?" kedua alis Gendhis terangkat. "Mau ngapain aku di sana? Nggak ah," tolaknya cepat. Selain ia memang enggan bepergian ke luar negeri, di akhir pekan, ia sudah ada janji untuk memenuhi hutangnya pada Mario. "Ya sekalian liburan, biar badan kamu bener-bener pulih," tandas Rai. "Mau ikut? Nanti biar diurus sama Bang Ardi," katanya sedikit memaksa. "Enggak ah Rai, lagian kamu juga cuma bentar doang kan di Makau. Biar aku di Indo aja, takutnya kalau ada kabar soal perusahaannya Papa," ujar Gendhis menemukan alasan yang lebih masuk akal. "Oke,
"Dari mana?" Saat Gendhis tiba di rumahnya, Rai sudah menunggu di teras, wajahnya tampak panik. Ia berdiri spontan begitu mobil Axel terparkir di halaman, diamatinya tubuh Gendhis dari atas hingga bawah. "Ada apa Rai?" Gendhis balik bertanya, mengulur waktu untuk mencari jawaban, tak mungkin jujur mengenai tempat yang ia kunjungi sebelumnya."Kutelepon nggak aktif, di WA nggak ada balasan," ucap Rai, sedikit ngambek. "Ah, tadi dianter Bang Axel ke bank, ngurus uang," balas Gendhis sengaja menoleh Axel yang baru akan turun dari mobil, membungkuk hormat pada Rai. "Iya kan Bang?" katanya memberi kode dengan kedipan mata. "Iya, Ketua," ucap Axel membenarkan jawaban Gendhis. "Kenapa nggak aktif nomor hapemu?" cecar Rai masih belum puas dengan jawaban Gendhis."Nggak tau, eror kali sinyalnya di bank. Ini nyala kok hapeku juga," jawab Gendhis mengangkat ponselnya yang memang menyala normal, lebih tepatnya sudah ia nyalakan di perjalanan pulang. "Aku khawatir, Ndhis," ujar Rai jujur. "X
"Kamu tunggu di sini aja, Bang," pinta Gendhis pada Axel yang mengantarnya ke sebuah bar. Tadi malam, datang pesan dari Doni, asisten Mario. Gendhis sudah menebak, saat-saat seperti ini pasti akan tiba. Saat di mana Mario meminta balas atas bantuan yang diberinya pada Gendhis demi menekan pihak keluarga Wildan Suharjo. Maka, saat hampir tengah malam undangan untuk datang ke bar eksklusif itu masuk ke dalam ponselnya, Gendhis tidak bisa mengelak. Lalu, di sinilah kini ia, diantar oleh Axel yang tahu segala seluk-beluk bar dan bagaimana Mario sengaja membantu Gendhis mengekspos tindakan money laundry yang Wildan lakukan. "Bos udah di dalam?" tanya Gendhis saat Doni menjemputnya di pintu masuk. "Udah," sahut Doni singkat. Tanpa sepengetahuan Rai dan keluarga besar Takahashi yang lainnya, Gendhis datang tak berbekal apa-apa. Ia hanya yakin bahwa Mario tak mungkin meminta langsung imbalannya saat itu juga. Menguak sebuah pintu besar di bagian ujung bar yang sepi, Doni mempersilakan Gen
"Terakhir kali aku ke sini adalah pas pemakaman Papa, itu pun aku nggak ngedeket," desis Gendhis menyusut air matanya. "Percaya atau nggak, kematian Papa jadi hal yang cukup membahagiakan buatku waktu itu, aku serasa lepas dari beban hidup meski aku sadar aku udah terlanjur terjerumus dan berkubang di dunia pelacuran," lirihnya mengenang. Langit mendung seperti sore biasanya, membuat suasana di sekitar pemakaman makin syahdu dan pilu oleh air mata Gendhis. Tak ada yang bisa menolong hati seorang anak perempuan tunggal, ia tersiksa lahir dan batinnya sejak muda, hidup sebagai jaminan hutang orang tuanya dan berakhir menderita sebagai pelacur. Kini, di saat semua tabir itu terungkap, rasa sakit Gendhis kembali membayang. "Papa kamu pasti udah senyum lega sekarang, kamu tau kenyataan soal sikap abussive-nya beliau dulu," ucap Rai meremas kedua pundak Gendhis, menguatkannya. "Tapi aku tetep nggak bisa maafin sikap Papa yang ngejual aku ke rumah bordil. Itu jahanam banget Rai," desis Ge
Gendhis menoleh penolongnya dan Rai sudah berdiri sangat angker di sebelahnya. Tangan Rai yang masih menggenggam pergelangan tangan Wildan itu bergetar hebat, ia meremas pergelangan tangan itu sekuat tenaga, menyakiti lawannya. "Brengsek!" umpat Wildan baru sadar dari rasa terkejutnya. "Jadi kalian bawa gengster ke sini," desisnya melirik, meremehkan Rai. "Dia perlu perlindungan dari pengkhianat sampah kayak Om," balas Rai sengit. "Hampir 10 tahun perusahaan ini dipimpin oleh orang korup dan bangsat kayak Wildan Suharjo, saya bawa laporan korupnya beserta semua aset yang dia gelapkan termasuk semua perbuatan jahatnya pada keluarga Robby Januar!" serunya lantang. Terdengar gumaman riuh seisi ruangan. Kini, Wildan yang menjadi pusat perhatian, beberapa pemilik saham lainnya membenarkan ucapan Rai, sifat Wildan memang tak sebaik pamor yang terbangun. "Ini hanya sebagian yang diselundupkan melalui bank luar negeri, lainnya banyak dilakukan money laundry pada tanah dan properti atas n