Gendhis mematung di ujung tangga seraya memegangi perutnya yang masih terasa mual sejak tadi pagi. Ia menghela nafas panjang, sesekali menengadah untuk menghalau keinginan muntah yang tiba-tiba. Berjarak sektitar 2 meter darinya, Eriska duduk nyaman di sofa tamu, tersenyum sangat sinis. "Ketua yang mengundangku datang," kata Eriska seakan perlu memberi Gendhis penjelasan. "Ini kediaman Takahashi, rumahku, aku nyonya rumahnya, Bu Eriska," desis Gendhis enggan menyebut Eriska dengan embel-embel Mami seperti Rai. "Jadi aku berhak ngusir siapa aja tamu tak diundang yang datang di waktu yang salah," ujarnya ketus. "Jangan mentang-mentang posisimu adalah Ane-san, bicaramu bisa asal-asalan. Kamu nggak akan bisa melawan Ketua, andai dia membelot ke Adhyaksa dan mempertanyakan bayi siapa yang ada di perutmu, kamu bisa dengan mudah ditendang dari rumah ini kapan aja!" tegas Eriska merasa menang posisi karena kedatangan Rai ke kediaman Adhyaksa tempo hari. "Bayi siapa? Aku nggak perlu ngasih
Gendhis memilih untuk diam dan tak lagi menanggapi ucapan Rai perihal jenis kelamin sang janin. Kendati Rai tak menampilkan ekspresi wajah memaksa dan mendominasi, Gendhis tahu, Rai menginginkan bayi laki-laki sebagai anak pertama mereka. "Katanya tadi pengin rujak, giliran udah jadi malah dianggurin," gumam Rai heran. Gendhis tersenyum sekenanya, "Iya, tadi rasanya pengin banget, giliran udah jadi, kok malah nggak pengin lagi," katanya. "Terus ini siapa yang mau makan?" "Kamu aja, Rai," jawab Gendhis tanpa semangat. "Kenapa? Soal anak cowok apa cewek dulu tadi kah?" tebak Rai tepat sasaran. Gendhis diam. Ia tak bersuara, memilih untuk meraih gelas air putihnya, meneguknya bernafsu. Kendati ia tidak sepakat dengan pandangan sang suami, ia tak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya. "Hei, aku bercanda," ucap Rai lagi, meraih lengan istrinya agar Gendhis mau menoleh menatapnya. "Beneran nggak mau anak cewek kalau nanti dia lahirnya cewek?" tanya Gendhis, jemarinya lembut
"Kayak perkiraan, Mami nggak langsung percaya," desis Rai. Ia paham bahwa Gendhis yang menyambut kedatangannya di pintu pasti khawatir. "Udah kutebak kan, mana mungkin langsung percaya, orang terakhir kali kamu ketemu dia, kamu belain aku mati-matian kok," gumam Gendhis. "Tadi aku bilang kamu lagi hamil, dan jadi ngerasa bersalah banget karena aku pura-pura nuduh itu janinnya Mario. Maaf ya Ane-san," sesal Rai. "Hem," Gendhis seketika mencembikkan bibirnya. "Iya deh," tukasnya mengangguk. "Sebagai permintaan maaf, kita ngerujak yok!" ajaknya tak terduga. "Hah?" Rai melongo bingung, ia menurut saja saat lengannya ditarik ke dapur oleh sang istri. Tadi pagi, Gendhis sempat mengeluhkan perutnya yang terasa mual, kepalanya sedikit pusing. Namun, sepertinya mual dan pusing yang Gendhis rasakan sebelumnya sudah sedikit berkurang. "Rena dateng tadi bawa buah pesenannya. Dia semangat banget nyariin yang kuminta, lengkap nih. Katanya turun ke pasar langsung, ada mangga muda, nanas
Setelah obrolan singkat bersama sang istri di kamar tempo hari, Rai akhirnya benar-benar datang mengunjungi Eriska si kediamannya. Bukan hanya meminta persetujuan sang istri, seluruh anggota keluarga Takahashi mengetahui rencana gila Rai ini. Demi menuntut balas untuk istrinya, Rai berpura-pura untuk kembali pada keluarga kandungnya. "Kenapa?" tanya Eriska tanpa membuang waktu, straight to the point. "Karena Mami keluarga kandungku, nggak boleh aku pulang?" gumam Rai santai. "Berbanding balik banget kayak omongan kamu sebelumnya. Main trik apalagi kamu, hem?" Eriska nampak curiga. "Trik apaan? Kalau aku nggak diterima di sini, aku bisa balik lagi ke keluarga Takahashi. Toh aku udah jadi ketua, Mi. Di manapun aku bakalan diterima. Pulang ke sini adalah bentuk baktiku ke Adhyaksa," terang Rai tampak tenang dan sangat meyakinkan. "Istri pelacurmu itu tau?" gumam Eriska melirik dengan seringai. "Tau," sahut Rai. "Dia nggak akan berani ngelawan mauku. Lagian dia hamil sekarang,
"Kamu nggak ada praktik poli hari ini?" tanya Gendhis keesokan harinya, tepat saat sang suami selesai mandi dan hanya mengenakan setelan santai. "Enggak, pengin libur dulu. Semua reservasi kuminta mundur besok," jawab Rai, ia berbaring di sebelah istrinya. "Nggak ngurus perusahaan?" "Udah di-handle sama Bang Ardi, aku tinggal nunggu laporan aja." "Ketua yang ini rada santai ya? Perasaan Ben sibuk urus bisnis deh sebelum kasih posisi ketua ke kamu, Rai," desis Gendhis. Sesekali ia meringis karena rasa mual yang memenuhi perutnya. "Kan udah ada kerjasama ke perusahaan punya kamu, jadi aman aja, Benji sama Bastian udah bisa diandelin. Persaingan bisnis sekarang udah sehat, nggak kayak jaman dulu. Bisnis logistik sama kargo udah aman, semua tinggal terima laporan," sebut Rai. "Ann sama Ben bener-bener mempersiapkan masa depan kamu dengan maksimal," ucap Gendhis. "Kamu dipersiapkan buat jadi dokter profesional tanpa harus terganggu samu urusan bisnis keluarga," tandasnya.
"Baru pulang?" sambut Gendhis saat Rai masuk melalui pintu samping, seusai memarkir mobilnya di garasi. "Iya, ada cito tadi pas udah mau jalan pulang," sebut Rai langsung mengecup kening istrinya sebagai obat lelah. "Kamu udah makan?" tanyanya. Gendhis langsung memberi gelengan pada Rai, "Aku nungguin kamu. Pengin ramen kuah, Ketua," pintanya manja. "Ya Tuhan," Rai seketika memeluk kepala istrinya dan membawanya ke bawah ketiaknya, "mau kupesenin?" "Ketua nggak bisa masakin?" "Kalau aku yang masak, seadanya bahan, Ane-san," ucap Rai. "Mau?" "Mau," kata Gendhis. "Kamu bersih-bersih dulu nggak pa-pa," katanya. "Nggak kelamaan? Masih bisa nunggu?" "Nggak pa-pa." Rai mengangguk, ia letakkan slingbag miliknya di atas nakas ruang tamu. Lantas, diiringi Gendhis ia masuk ke dalam kamar dan langsung menuju ke kamar mandi. Seperti sudah hafal kebiasaan sang suami, Gendhis membantu menyiapkan baju ganti. "Cepet amat mandinya, Rai?" tegur Gendhis saat suaminya keluar d