Se connecterPupil mata Inggrit membesar, bibirnya bergetar tanpa suara. Langkahnya mundur setengah tapak, seolah lantai di bawah kakinya mendadak runtuh.
“Mas …,” napasnya tercekat. “A-apa maksud kamu?”Radja hanya menatapnya—diam, tajam, dan terlalu tenang.“Maksud saya jelas. Kalau kurang jelas, berarti ada yang salah sama kamu,” jawab Radja dingin.Inggrit menyeringai tipis. “Aku lagi mempermasalahkan kebaikan kamu ke Djiwa, Mas. Bisa-bisanya kamu mengalihkan perhatian dengan nuduh kalau Anggita bukan anak kandung kamu.”“Kenyataannya memang begitu, kan?” sebelah alis Radja terangkat tipis.Inggrit menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. “Jadi gini ya, kalau orang pemakai. Ngomongnya suka ngalur-ngidul. Anak sendiri dibilangnya bukan anak kandung.”“Pemakai? Apa maksud kamu?” kedua tangan Radja terlipat di dada.“Aku tahu, Mas, kalau kamu ...,” kedua tangan Inggrit mengepal erat di samping tubuhnya“Kamu tahu, sayang. Aku udah siapin nama buat anak kita,” ungkap Kaisar penuh semangat. Siang itu, dia dan Fairish makan siang bersama seperti biasa saat jam makan siang di kantor masing-masing. Dan keduanya memilih makan siang di restoran mewah. “Baru juga bentuk zigot, udah siapin nama aja,” ucap Fairish dengan nada ketus. Kaisar terkekeh pelan mendengarnya. “Ya gak apa-apa. Jujur, aku udah siap banget mau jadi ayah. Makanya aku udah siapin dari sekarang.” Mata Fairish menyipit dingin. “Ngomong-ngomong, kamu masih gak mau jelasin ke aku kenapa akhir-akhir ini kamu baik ke Djiwa? Sengaja banget ya, bikin aku cemburu?” Kaisar menghela napas panjang. “Bukannya aku udah bilang, gak usah pikirin itu. Intinya, cinta aku ke kamu itu nyata, Rish.” “Ya, tapi aku penasaran aja. Gimana bisa kamu baik ke dia setelah sekian lama ini? Aneh tahu, gak?” Fairish meletakkan sendoknya ke atas piring, mendadak tidak nafsu makan. “Dengerin aku, ya?” Kaisar meraih satu tangan Fairish, mengg
“Makasih ya, Pak,” ucap Djiwa sembari menerima paket makanan yang dia pesan dari aplikasi. “Sama-sama, Mbak,” balas kurir makanan tersebut. Djiwa kemudian kembali masuk ke dalam kantor, menaiki lift menuju lantai empat puluh sembilan—di mana lantai Isandro berada. Kantor masuk setengah jam lagi, masih ada waktu untuk Radja sarapan. Tanpa diberitahu, Djiwa sudah menduga kalau pria itu belum makan sejak tiba di perusahaan. Meski sebelumnya Radja menolak. Djiwa tetap membeli makanan untuk sarapan pria itu, agar Radja tidak sakit kalau sampai telat makan. “Mas, makan dulu, ya?” ujar Djiwa begitu melangkah masuk ke ruang kerja Radja. Pria itu masih duduk di balik meja, menatap kosong ke depan sambil menghela napas panjang. Keras kepala sekali, pikir Radja. Padahal sejak tadi dia sudah menolak sarapan—bukan karena sibuk, melainkan karena benar-benar tak berselera. Tanpa menunggu jawaban, Djiwa melangkah ke sofa. Ia duduk tenang, membuka wadah makanan yang dibelinya. Aroma
Pupil mata Inggrit membesar, bibirnya bergetar tanpa suara. Langkahnya mundur setengah tapak, seolah lantai di bawah kakinya mendadak runtuh. “Mas …,” napasnya tercekat. “A-apa maksud kamu?” Radja hanya menatapnya—diam, tajam, dan terlalu tenang. “Maksud saya jelas. Kalau kurang jelas, berarti ada yang salah sama kamu,” jawab Radja dingin. Inggrit menyeringai tipis. “Aku lagi mempermasalahkan kebaikan kamu ke Djiwa, Mas. Bisa-bisanya kamu mengalihkan perhatian dengan nuduh kalau Anggita bukan anak kandung kamu.” “Kenyataannya memang begitu, kan?” sebelah alis Radja terangkat tipis. Inggrit menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya. “Jadi gini ya, kalau orang pemakai. Ngomongnya suka ngalur-ngidul. Anak sendiri dibilangnya bukan anak kandung.” “Pemakai? Apa maksud kamu?” kedua tangan Radja terlipat di dada. “Aku tahu, Mas, kalau kamu ...,” kedua tangan Inggrit mengepal erat di samping tubuhnya
“Kalau bisa hamil dua-duanya kenapa tidak?” Radja membuka suara, membuat semua yang di meja makan menoleh ke arahnya. Pria itu dengan tenang meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, lalu beralih menatap Sekar. “Belum tentu Fairish hamil anak laki-laki.” “Belum tentu juga, kan, Djiwa yang hamil anak laki-laki, Mas,” Inggrit menimpali, nada bicaranya dingin—begitu pula tatapannya. “Harusnya kamu berdoa aja, semoga laki-laki.” Tatapan Inggrit beralih ke semua anggota keluarga di meja makan. “Sultan, Kaisar, semuanya—doain semoga anak Fairish laki-laki. Karena kalau mau dijadikan pewaris, anak dia lebih pantes.” Radja menyeringai miring mendengar kalimat Inggrit, tatapannya menusuk pada sang istri. “Jelaskan pada saya, dimana letak ketidakpantasannya Djiwa hamil anak laki-laki?” Kedua tangan Radja terlipat di dada, tatapannya lurus pada sang istri. Begitu pula dengan semua yang di meja makan, beralih menatap keduanya secara bergant
“Mi, apa itu tadi ciri-ciri dari pengguna obat-obatan terlarang?” tanya Inggrit pelan namun jelas, suaranya terdengar seperti bisikan yang ditarik rasa cemas. Ia bertanya tepat setelah Radja meninggalkan ruang tengah. Djiwa yang masih berdiri di sana refleks menoleh. Namun tatapan Sekar tajam, mengulitinya—membuat Djiwa buru-buru menunduk. “Djiwa permisi dulu, Mi,” ucapnya, hampir seperti melarikan diri. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya. Sekar menghela napas berat, tatapannya kembali pada Inggrit. “Gimana?” Inggrit duduk, tapi perhatiannya teralih pada Anggita yang masih berdiri mematung, wajahnya bingung dengan percakapan orang dewasa yang baru saja ia dengar. “Kamu langsung masuk kamar aja, Gi. Mama masih mau ngobrol sama Nenek kamu,” ujar Inggrit lembut namun tegas, setidaknya di hadapan Sekar. Anggita mengangguk cepat, seperti diberi izin untuk lari dari ketegangan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti. Ia bergegas naik ke lantai dua,
Sepuluh hari setelah liburan mereka di Rotterdam, private jet keluarga Reinard akhirnya mendarat mulus di landasan Bandara Indonesia. Begitu roda pesawat berhenti sempurna, pramugara membuka pintu kabin. Udara Jakarta yang hangat langsung menyergap masuk, kontras dengan dinginnya musim dingin Belanda yang masih menempel di kulit mereka. Radja bangkit lebih dulu, meraih mantel tipisnya. Ia menoleh ke belakang, menatap Djiwa yang masih melepaskan seatbelt yang melingkari pinggangnya. “Ayo,” ucapnya pelan. “Kita sudah sampai.” Djiwa berdiri, menata rambutnya yang sedikit kusut karena tidur selama perjalanan panjang. Ia mengikuti Radja menuju pintu keluar, dan ketika menjejak lantai tangga pesawat, aroma khas kota Indonesia langsung menyambutnya. Hangat, lembap, dan rumah. Begitu keduanya menuruni tangga, seorang supir keluarga Reinard sudah menunggu di bawah dengan membungkuk hormat. “Selamat datang kembali, Tuan Radja,” sambutnya. Radja mengangguk, kemudian menoleh pada Djiwa.







