Share

Bab 4

Author: Lyla Veil
last update Huling Na-update: 2025-12-12 13:07:05

Dinara masih terdiam di sana ketika salah satu dari karyawan tersebut berkata, “Hus! Itu gosip lama!”

Kemudian kedua karyawan itu bergegas pergi. Sementara itu, Dinara mematung sejenak sebelum ikut berpaling. 

Selingkuh…?

Dinara memang belum pernah bicara banyak dengan Karin, hanya sebatas menyapa sopan. Namun beberapa kali melihat Karin ketika ia sedang datang ke kantor, Dinara selalu melihatnya menyapa para karyawan dengan ramah. Karin juga kerap membelikan makanan atau minuman untuk para karyawan. 

Selain itu… Karin terlihat begitu serasi bersama Elang. Cincin yang masih disematkan di jari manis keduanya cukup menjadi bukti kuat bagi Dinara. Maka, Dinara cepat-cepat menyingkirkan omongan dua karyawan tadi. 

Ia pikir, ini hanya gosip semata. Lagipula, Julia juga pernah bilang bahwa sudah biasa ketika ada gosip mengudara di kantor ini. Dinara harus pintar-pintar mengabaikannya agar tidak terseret. Jadi, Dinara cepat mengabaikan pikirannya. 

*

Keesokan paginya, kantor SHG sama sibuknya seperti hari-hari kemarin. Semua orang bicara cepat, telepon berdering tanpa henti, dan email beruntun masuk ke laptop Dinara.

Dinara baru saja selesai mencetak revisi laporan ketika telepon di meja berbunyi.

“Mbak Din, Bu Karin... sedang naik.”

Dinara mengangguk. “Baik, terima kasih.”

Dinara beranjak, mengetuk pintu, dan langsung masuk ke ruangan Elang. “Permisi, Pak. Ibu Karin sedang menuju ke sini.”

Elang berhenti mengetik, namun tidak langsung menanggapi. Ia melirik Dinara sesaat, kemudian mengangguk.

Dinara mengambil isyarat itu. “Saya... permisi dulu, Pak.”

Baru ia berbalik, sosok elegan dengan wangi parfum mahal sudah muncul di ambang pintu.

Karin Wicaksana.

Rambut hitamnya bergelombang, ia mengenakan dress berkilau yang mahal, dengan senyum manis yang ditempel. Di tangannya, ada dua paperbag kopi premium dan satu kotak makanan.

Matanya berbinar saat melihat Dinara.

“Dinara! Apa kabar kamu?”

Dinara tersenyum sopan. “Baik, Bu.”

“Aduh, makin cantik aja kamu!” Karin meraih lengannya ringan, terlalu ringan dan terlalu akrab. 

Dinara hanya bisa tersenyum canggung. “Saya? Ah biasa aja, Bu...”

“Beneran lho Din, kamu itu…” Karin menatap sambil menunjuk Dinara dari atas sampai bawah, “...keren.”

Dinara mengangguk sedikit, “Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu ya, Bu Karin.”

Karin mengangguk sambil tersenyum. Senyumnya terlihat tulus, membuat Dinara cepat melupakan gosip yang ia dengar kemarin. 

Dinara sempat melirik Elang yang jelas tidak menunjukkan reaksi apa pun. Rautnya tak terbaca. Bahkan seolah tidak nyaman dengan kedatangan itu.

Karin mengangkat kotak makanan penuh gaya. Sambil berjalan anggun menuju suaminya. “Sayang, hari ini aku bawain makanan kesukaan kamu!”

Dinara hanya memperhatikan dari jauh. Dinara pikir, Karin begitu perhatian dengan Elang, sebab ini bukan kali pertama Karin datang untuk membawakan bekal makanan. 

Elang menoleh, tatapannya datar, hampir seperti menahan nafas.

“Tinggalkan saja di atas meja,” suaranya datar, jauh dari hangat.

Saat Dinara hendak menutup pintu, ia masih sempat melihat Elang bersandar di kursinya, wajahnya terlihat tidak senang. Sama sekali. Pintu kemudian ia tutup rapat sebelum berpaling.

Jawaban Elang tadi terdengar begitu dingin. Namun Dinara tidak berpikir macam-macam, sebab ia tahu bahwa bosnya memang selalu dingin. Dinara pun kembali ke bilik kerja di luar ruangan itu.

Tak lama kemudian Karin keluar, masih tersenyum manis. “Saya pamit dulu ya, Din…”

“Lho, kok cepat Bu?” tanya Dinara polos.

Karin tertawa kecil. “Pak Elang memang begitu. Kalau lagi sibuk, saya pun nggak bisa ganggu. Nantilah nyambung di rumah lagi!”

“Saya mengerti, Bu. Jadwal Bapak memang padat.”

Karin mengangguk dan tersenyum, namun tak terbaca oleh Dinara. “Kalau gitu, saya duluan, Din.”

“Baik, Bu.”

Karin pun berpaling, melambaikan tangan lalu masuk lift.

Beberapa menit setelah Karin pergi, interkom di meja Dinara berbunyi.

“Dinara,” suara Elang terdengar rendah. “Masuk.”

Dinara segera beranjak. Saat membuka pintu ruangan CEO, hal pertama yang ia lihat adalah kotak makanan dan dua kopi premium dari Karin yang masih utuh. 

‘Tidak dimakan sama sekali…?’ batin Dinara.

“Dinara.” suara Elang memecah lamunannya. 

Dinara mengangguk sopan. Ia bersiap mengiyakan apapun yang akan Elang katakan. Namun, entah bagaimana suasana ruangannya terasa berbeda lebih berat, lebih  sunyi.

“Apa jadwal saya untuk besok?” tanya Elang.

“Jadwal Bapak…,” Dinara mencoba mengingat-ingat. Ia lupa membawa tablet berisi jadwal lengkap Elang di luar. “Ma-maaf, Pak. Sebentar, saya ambil tablet dahulu.”

Elang menatap tajam Dinara. Tatapannya lagi-lagi tak terbaca. 

Dinara segera melangkah cepat ke luar dan kembali dengan tablet di tangan. “Bapak punya jadwal viewing villa di Puncak besok,” kata Dinara sedikit terengah. 

“Saya tahu itu,” ucap Elang. “Jadwal lain?”

Dalam hatinya, Dinara bersungut-sungut. Atasannya ini terkadang membuatnya seperti dipermainkan! Setelah direndahkan di proses wawancara dua bulan lalu, sekarang Elang juga masih memperlakukannya seperti itu. 

Namun, Dinara harus tetap sabar. “Ada meeting untuk proyek Villa Adikara, Pak,” lanjut Dinara.

Elang mengangguk cepat. “Siapkan berkasnya.”

Dinara mengangguk. Ia pun mulai menyiapkan berkas yang diperlukan, yang kebetulan ada di ruangan Elang. Mereka bekerja dalam diam. Seisi ruangan hanya dipenuhi suara ketik dari laptop dan lembaran kertas yang bergesekkan. 

Dengan teliti, Dinara memastikan berkas-berkas yang harus diurus. Ia menyusun berkas-berkas tersebut menjadi satu dalam satu map. 

Setelah selesai, Dinara pamit keluar kepada Elang. 

“Saya izin keluar, Pak Elang. Saya akan siapkan seluruh berkas lainnya.”

Elang tidak menjawab. Matanya masih fokus dengan layar laptop, namun ia mengangguk. Dinara ikut mengangguk sopan, meski ia tak tahu apakah Elang dapat melihatnya atau tidak.

Baru saja memegang gagang pintu, Elang tiba-tiba memanggil Dinara. “Dinara.”

“Ya, Pak?”

Mata Elang memindai kotak makanan dan dua kopi di atas meja. “Bawa ini semua ke luar.”

Dinara sempat mematung mendengarnya. Biasanya, ketika Karin membawakan bekal, kotak makanannya tidak akan terlihat lagi selepas kerja di atas meja Elang. Karin pikir Elang membawanya pulang lagi.

Baru hari ini, Elang meminta Karin untuk membawanya ke luar. Namun, Dinara masih sedikit bingung.

“Ditaruh pantry, Pak?” Dinara bertanya sambil mengambil kotak makanan dan kopi-kopi itu. 

Dinara menunggu jawaban Elang yang belum datang. Pria itu masih sibuk mengetik di laptopnya. 

Setelah beberapa detik, Elang mengangkat wajahnya. Ia menatap Dinara.

“Buang saja.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 6

    “Baik, Pak Elang, bisa.” jawab Dinara tegas meski sebenarnya ada rasa sedikit kesal bercampur bingung.Elang hanya mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Yang Dinara tahu selanjutnya adalah lebih banyak email masuk mengenai proyek Cendana Hills itu. Ada laporan keuangan dengan nominal fantastis, ada pula laporan-laporan lain dengan judul ‘DOKUMEN RAHASIA’ yang dicetak tebal. Kepala Dinara sakit memikirkannya. Ia tidak boleh ceroboh kali ini. Lupa menyerahkan laporan saja dibilang tidak becus, apalagi kalau ia melakukan kesalahan fatal!Sampai malam, kepala Dinara bekerja tanpa jeda. Tanggung jawab baru itu membuatnya sulit tidur. Namun, ada sebuah pinta Elang yang membuatnya terpacu. “Ada bonus besar apabila selesai.”Semua masih menggema, dan kini proyek Cendana Hills resmi berada di pundaknya.Ia tidak bekerja sendirian. Ada beberapa orang yang ia kenal yang juga menangani proyek ini, seperti Julia, sahabatnya dari bagian marketing. Ibu Reva dari bagian HRD juga ikut turun. M

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 5

    Dinara terkejut. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresinya. “Ba- baik, Pak Elang.”Dinara membawa dua paperbag berisi makanan dan kopi-kopi itu ke luar ruangan. “Sayang sekali kalau harus dibuang.” Batinnya, “Tapi tadi perintahnya jelas….” Dinara menimbang-nimbang. Ia merasa begitu sayang jika harus membuangnya.Iwan yang sedang memasukkan data di laptopnya, melihat Dinara keluar dengan membawa paperbag yang tadi Karin bawa untuk Elang. “Mbak Din, itu mau dibawa kemana?” tanya Iwan.Dinara menoleh, “Disuruh buang sama Bapak.” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Bukannya terkejut, Iwan malah ketawa kecil sambil menggeleng. Bukan tawa yang meremehkan, tapi seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat hal yang sama.“Kenapa, Mas?” Tanya Dinara heran.Iwan menggeleng, “Enggak, Mbak.”Dinara penasaran dengan reaksi rekannya itu. Ia merasa, ada sesuatu yang Iwan tahu tapi dirinya tidak.“Apa aku kasih orang aja, Mas? Nggak tega mau buang makanan…”“Terserah Mbak aja.” J

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 4

    Dinara masih terdiam di sana ketika salah satu dari karyawan tersebut berkata, “Hus! Itu gosip lama!”Kemudian kedua karyawan itu bergegas pergi. Sementara itu, Dinara mematung sejenak sebelum ikut berpaling. Selingkuh…? Dinara memang belum pernah bicara banyak dengan Karin, hanya sebatas menyapa sopan. Namun beberapa kali melihat Karin ketika ia sedang datang ke kantor, Dinara selalu melihatnya menyapa para karyawan dengan ramah. Karin juga kerap membelikan makanan atau minuman untuk para karyawan. Selain itu… Karin terlihat begitu serasi bersama Elang. Cincin yang masih disematkan di jari manis keduanya cukup menjadi bukti kuat bagi Dinara. Maka, Dinara cepat-cepat menyingkirkan omongan dua karyawan tadi. Ia pikir, ini hanya gosip semata. Lagipula, Julia juga pernah bilang bahwa sudah biasa ketika ada gosip mengudara di kantor ini. Dinara harus pintar-pintar mengabaikannya agar tidak terseret. Jadi, Dinara cepat mengabaikan pikirannya. *Keesokan paginya, kantor SHG sama sibukn

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 3

    Sudah dua bulan Dinara bekerja di SHG. Selama dua bulan pun, Dinara belajar bagaimana menyesuaikan ritme Elang Adikara yang melelahkan. Di minggu-minggu pertama, Dinara masih begitu kewalahan. Dinara harus menyaring telepon dan email, menyiapkan dokumen rapat, mengumpulkan data dari berbagai divisi, mengoordinasikan vendor, menyiapkan perjalanan dinas, mendampingi inspeksi villa, serta memastikan semua masalah terselesaikan sebelum sampai ke meja CEO.Kadang, Dinara bekerja hingga kepalanya begitu sakit. Tumpukan berkas yang harus ia urus tak kenal waktu. Mereka menunggunya bahkan hingga akhir pekan.Setiap pagi, Dinara harus mencoba menahan kantuknya apabila bekerja hingga lembur. Di sisi lain, Elang selalu terlihat tenang dan tak terganggu, seolah ia tidak baru bekerja semalaman juga. Terkadang, Dinara betul-betul penasaran dengan cara kerja atasannya itu.Sejak memasuki bulan kedua, Dinara sudah mulai hafal kebiasaan Elang. Elang Adikara datang sekitar pukul delapan lewat enam at

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 2

    “Saya memang tidak memiliki pengalaman sebagai sekretaris, namun saya percaya bahwa kemampuan saya dalam bidang administrasi dapat memenuhi ekspektasi Pak Elang,” jawab Dinara tegas.Hening menggantung di antara mereka.Udara dalam ruangan itu seperti berhenti bergerak. Bunyi jarum jam di dinding terdengar begitu jelas. Ruang interview luas dengan kaca transparan, tiba-tiba terasa sempit. Dinara bisa merasakan debaran jantungnya sendiri. Namun ia tetap menatap Elang Adikara sekuat mungkin, berusaha terlihat tidak gentar.Setelah itu, Elang hanya menutup map di depannya. “Kamu boleh keluar,” ucapnya singkat.Hanya itu, tidak ada ekspresi yang bisa Dinara baca. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya.Dinara semakin tidak mengerti. Elang Adikara bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal ia baru melontarkan pertanyaan yang begitu merendahkan. Sikap datarnya seperti itu membuat Dinara bertanya-tanya. Apakah ia ditolak? Apa jawabannya kurang sopan dan terkesan angkuh? Saat berdiri d

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 1

    “Din, rumah Ibu sudah Abang jual.” Kalimat itu, keluar begitu saja dari mulut Ibrahim minggu lalu. Ibrahim adalah satu-satunya kakak laki-laki yang dimiliki Dinara. Sudah seminggu berlalu, tapi pikirannya tetap kusut. Bahkan saat ia duduk menunggu giliran di ruang interview hari ini, kecamuk itu belum juga reda. Dinara menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri namun ia tetap gelisah. Bagaimana tidak? Rumah satu-satunya peninggalan Ibu, lenyap dijual kakaknya bahkan tanpa sepengetahuannya! Alasannya? Untuk membayar hutang pinjaman online, untuk berjudi! Dinara tidak habis pikir. Berulang kali, ia berharap kakaknya bisa berubah, tapi yang ia dapat justru kekecewaan yang semakin dalam. Yang membuatnya semakin sesak, haknya atas warisan itu pun tidak diberikan secara utuh. Ibrahim hanya memberi sekadarnya, seolah-olah dialah yang paling berkuasa atas harta warisan itu. Ketika ia mencoba protes, kakaknya malah bersikap tak peduli. Dan sekarang, rumah itu harus dikosongkan min

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status