MasukDinara terkejut. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresinya.
“Ba- baik, Pak Elang.” Dinara membawa dua paperbag berisi makanan dan kopi-kopi itu ke luar ruangan. “Sayang sekali kalau harus dibuang.” Batinnya, “Tapi tadi perintahnya jelas….” Dinara menimbang-nimbang. Ia merasa begitu sayang jika harus membuangnya. Iwan yang sedang memasukkan data di laptopnya, melihat Dinara keluar dengan membawa paperbag yang tadi Karin bawa untuk Elang. “Mbak Din, itu mau dibawa kemana?” tanya Iwan. Dinara menoleh, “Disuruh buang sama Bapak.” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Bukannya terkejut, Iwan malah ketawa kecil sambil menggeleng. Bukan tawa yang meremehkan, tapi seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat hal yang sama. “Kenapa, Mas?” Tanya Dinara heran. Iwan menggeleng, “Enggak, Mbak.” Dinara penasaran dengan reaksi rekannya itu. Ia merasa, ada sesuatu yang Iwan tahu tapi dirinya tidak. “Apa aku kasih orang aja, Mas? Nggak tega mau buang makanan…” “Terserah Mbak aja.” Jawab Iwan ringan. Dinara pun berjalan menuju pantry. Ia melihat ada Eko, seorang OB kantor sedang memasang galon air ke dispenser. “Pak Eko, maaf, ini ada makanan, dibagi aja sama OB yang lain.” Dinara meletakkan paperbag itu di meja, lalu mengeluarkan isinya dan menatanya di meja. Lalu melipat paperbagnya menjadi lipatan kecil dan menaruh di saku. Ia melakukan itu karena khawatir ada yang tahu bahwa itu pemberian istri atasannya. Mata Eko berbinar melihat makanan mahal itu. “Terima kasih Bu Dinara. Ini dari Bu Dinara?” Dinara mengerjap. Ia bingung harus mengatakan apa, tidak mungkin bilang kalau itu dari istri Pak Elang, yang diminta untuk dibuang. Sedangkan bosnya itu memberi perintah untuk membuangnya. “Iya dari saya, Pak…” akhirnya Dinara harus berbohong demi Elang. Ada perasaan yang mengganjal di hati Dinara setelah menyerahkan paperbag itu. Apa Pak Elang tidak menyukai menu yang dibawakan hari ini? Namun, Dinara pernah beberapa kali membelikan kopi yang sama. Dinara jadi semakin bertanya-tanya. Tetapi, cepat-cepat lagi ia mengabaikan segala pertanyaan itu. Ia tahu betul ada batasan yang tak boleh ia langkahi. Urusan pribadi atasannya bukan menjadi sesuatu yang harus Dinara ketahui. Keesokan harinya, Dinara baru tiba di depan gedung kantor ketika telepon dari atasannya masuk. “Ke ruangan saya sekarang.” Tanpa banyak tanya, Dinara segera bergegas naik untuk ke ruangan atasannya itu. Tetapi ia juga bertanya-tanya dalam hati. Ada apa pagi-pagi begini? Biasanya, Elang akan mulai mendikte Dinara setelah jam sembilan. Iwan yang melihat Dinara begitu terburu-buru langsung berseru, “Mbak Din! Kenapa buru-buru? Pak Elang baru juga sampai!” Mendengar itu, Dinara semakin berdebar. Apakah ia melakukan kesalahan? Elang baru sampai dan sudah memanggilnya ke dalam ruangan. Ini tidak biasa bagi Dinara. Dinara perlahan mengetuk pintu ruangan Elang sebelum akhirnya dipersilakan masuk. “Se-selamat pagi, Pak Elang-” “Berkas laporan proyek Cendana Hills kemarin di mana? Saya belum terima.” Elang memotong sapaan Dinara. Dinara mengerjap mendengarnya. Ia yakin sudah menaruh berkas itu di atas meja Elang selepas kepulangannya dengan atasannya dan Iwan kemarin. Namun sekarang ia bisa melihat Elang yang menatapnya tajam, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. “Ma-maaf, Pak. Sepertinya terlewat dan masih ada di meja saya.” “Tiga menit,” balas Elang singkat. Ia tidak lagi menatap Dinara, pandangannya dialihkan ke layar laptop. Dinara mengerti itu. Ia hanya diberi waktu tiga menit untuk menyerahkan berkas yang diminta. Maka Dinara mengangguk, sedikit panik. Dinara berlari kecil keluar dari ruangan Elang, kemudian melihat tumpukan berkas di atas meja kerjanya. “Ada yang hilang, Mbak?” Iwan bertanya dari bilik kerjanya. “Mas Iwan pegang berkas laporan proyek Cendana Hills kemarin?” “Lho, enggak, Mbak. Saya taruh di atas meja Mbak Dinara kemarin,” jawab Iwan dengan nada ikut khawatir. Iwan juga mulai bantu mencari berkas yang dicari di meja Dinara. “Perasaan sudah saya taruh di atas meja Pak Elang, Mas…” gumam Dinara sambil terus mencari. Beruntung, ia mendapati berkas dengan kop ‘Cendana Hills’. “Ini dia!” pekiknya. Ia pun meninggalkan Iwan yang hanya bisa tersenyum menggeleng. Setelah Dinara kembali ke ruangan Elang, ia sedikit terengah ketika meletakkan berkas yang diminta di atas meja Elang. “Ini, Pak. Mohon maaf sepertinya terlewat kemarin.” Elang meliriknya tajam sebelum mulai membaca berkas itu. Dinara hanya mampu menelan saliva. Dinara mulai merapikan berkas-berkas di ujung meja Elang, selagi menunggu perintah selanjutnya. Setelah beberapa saat, Elang mulai bersuara. “Dinara, sudah dua bulan bekerja, mengapa masih tidak becus mengerjakan hal sederhana begini?” Dinara tersentak. Tidak becus, katanya. “Maaf, Pak. Saya pastikan tidak akan terulang.” “Ini proyek penting, Dinara.” “Saya mengerti, Pak,” Dinara menjawab pelan. Proyek Cendana Hills adalah proyek besar yang sudah dipegang Elang sejak lama. Kini Dinara dapat melihat bagaimana Elang menggeleng, kemudian lanjut memindai berkas itu. Matanya kini mondar-mandir antara kertas dan layar laptop. “Dinara.” Suara Elang yang rendah dan tegas membuat Dinara sigap membetulkan posisi berdirinya. “Ya, Pak?” “Pegang administrasi proyek Cendana Hills sepenuhnya, mulai hari ini.” Mata Dinara melebar. Setelah dibilang tidak becus, ia malah diminta memegang administrasi proyek ini. Biasanya, Dinara hanya membantu mengurus laporannya saja dan tidak terjun mengurus administrasinya langsung. Elang sepertinya belum mempercayai Dinara untuk proyek besar ini. Yang Dinara tahu, Iwan yang biasanya mengurusi administrasi ini. Sekarang dia diminta untuk memegang proyek ini, apa ini adalah hukuman untuknya atas keteledorannya tadi? Dinara lantas teringat ketika sesi wawancara dahulu. “Dinara,” panggil Elang. “Jawab.” Pria ini benar-benar tidak berubah!“Baik, Pak Elang, bisa.” jawab Dinara tegas meski sebenarnya ada rasa sedikit kesal bercampur bingung.Elang hanya mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Yang Dinara tahu selanjutnya adalah lebih banyak email masuk mengenai proyek Cendana Hills itu. Ada laporan keuangan dengan nominal fantastis, ada pula laporan-laporan lain dengan judul ‘DOKUMEN RAHASIA’ yang dicetak tebal. Kepala Dinara sakit memikirkannya. Ia tidak boleh ceroboh kali ini. Lupa menyerahkan laporan saja dibilang tidak becus, apalagi kalau ia melakukan kesalahan fatal!Sampai malam, kepala Dinara bekerja tanpa jeda. Tanggung jawab baru itu membuatnya sulit tidur. Namun, ada sebuah pinta Elang yang membuatnya terpacu. “Ada bonus besar apabila selesai.”Semua masih menggema, dan kini proyek Cendana Hills resmi berada di pundaknya.Ia tidak bekerja sendirian. Ada beberapa orang yang ia kenal yang juga menangani proyek ini, seperti Julia, sahabatnya dari bagian marketing. Ibu Reva dari bagian HRD juga ikut turun. M
Dinara terkejut. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresinya. “Ba- baik, Pak Elang.”Dinara membawa dua paperbag berisi makanan dan kopi-kopi itu ke luar ruangan. “Sayang sekali kalau harus dibuang.” Batinnya, “Tapi tadi perintahnya jelas….” Dinara menimbang-nimbang. Ia merasa begitu sayang jika harus membuangnya.Iwan yang sedang memasukkan data di laptopnya, melihat Dinara keluar dengan membawa paperbag yang tadi Karin bawa untuk Elang. “Mbak Din, itu mau dibawa kemana?” tanya Iwan.Dinara menoleh, “Disuruh buang sama Bapak.” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Bukannya terkejut, Iwan malah ketawa kecil sambil menggeleng. Bukan tawa yang meremehkan, tapi seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat hal yang sama.“Kenapa, Mas?” Tanya Dinara heran.Iwan menggeleng, “Enggak, Mbak.”Dinara penasaran dengan reaksi rekannya itu. Ia merasa, ada sesuatu yang Iwan tahu tapi dirinya tidak.“Apa aku kasih orang aja, Mas? Nggak tega mau buang makanan…”“Terserah Mbak aja.” J
Dinara masih terdiam di sana ketika salah satu dari karyawan tersebut berkata, “Hus! Itu gosip lama!”Kemudian kedua karyawan itu bergegas pergi. Sementara itu, Dinara mematung sejenak sebelum ikut berpaling. Selingkuh…? Dinara memang belum pernah bicara banyak dengan Karin, hanya sebatas menyapa sopan. Namun beberapa kali melihat Karin ketika ia sedang datang ke kantor, Dinara selalu melihatnya menyapa para karyawan dengan ramah. Karin juga kerap membelikan makanan atau minuman untuk para karyawan. Selain itu… Karin terlihat begitu serasi bersama Elang. Cincin yang masih disematkan di jari manis keduanya cukup menjadi bukti kuat bagi Dinara. Maka, Dinara cepat-cepat menyingkirkan omongan dua karyawan tadi. Ia pikir, ini hanya gosip semata. Lagipula, Julia juga pernah bilang bahwa sudah biasa ketika ada gosip mengudara di kantor ini. Dinara harus pintar-pintar mengabaikannya agar tidak terseret. Jadi, Dinara cepat mengabaikan pikirannya. *Keesokan paginya, kantor SHG sama sibukn
Sudah dua bulan Dinara bekerja di SHG. Selama dua bulan pun, Dinara belajar bagaimana menyesuaikan ritme Elang Adikara yang melelahkan. Di minggu-minggu pertama, Dinara masih begitu kewalahan. Dinara harus menyaring telepon dan email, menyiapkan dokumen rapat, mengumpulkan data dari berbagai divisi, mengoordinasikan vendor, menyiapkan perjalanan dinas, mendampingi inspeksi villa, serta memastikan semua masalah terselesaikan sebelum sampai ke meja CEO.Kadang, Dinara bekerja hingga kepalanya begitu sakit. Tumpukan berkas yang harus ia urus tak kenal waktu. Mereka menunggunya bahkan hingga akhir pekan.Setiap pagi, Dinara harus mencoba menahan kantuknya apabila bekerja hingga lembur. Di sisi lain, Elang selalu terlihat tenang dan tak terganggu, seolah ia tidak baru bekerja semalaman juga. Terkadang, Dinara betul-betul penasaran dengan cara kerja atasannya itu.Sejak memasuki bulan kedua, Dinara sudah mulai hafal kebiasaan Elang. Elang Adikara datang sekitar pukul delapan lewat enam at
“Saya memang tidak memiliki pengalaman sebagai sekretaris, namun saya percaya bahwa kemampuan saya dalam bidang administrasi dapat memenuhi ekspektasi Pak Elang,” jawab Dinara tegas.Hening menggantung di antara mereka.Udara dalam ruangan itu seperti berhenti bergerak. Bunyi jarum jam di dinding terdengar begitu jelas. Ruang interview luas dengan kaca transparan, tiba-tiba terasa sempit. Dinara bisa merasakan debaran jantungnya sendiri. Namun ia tetap menatap Elang Adikara sekuat mungkin, berusaha terlihat tidak gentar.Setelah itu, Elang hanya menutup map di depannya. “Kamu boleh keluar,” ucapnya singkat.Hanya itu, tidak ada ekspresi yang bisa Dinara baca. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya.Dinara semakin tidak mengerti. Elang Adikara bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal ia baru melontarkan pertanyaan yang begitu merendahkan. Sikap datarnya seperti itu membuat Dinara bertanya-tanya. Apakah ia ditolak? Apa jawabannya kurang sopan dan terkesan angkuh? Saat berdiri d
“Din, rumah Ibu sudah Abang jual.” Kalimat itu, keluar begitu saja dari mulut Ibrahim minggu lalu. Ibrahim adalah satu-satunya kakak laki-laki yang dimiliki Dinara. Sudah seminggu berlalu, tapi pikirannya tetap kusut. Bahkan saat ia duduk menunggu giliran di ruang interview hari ini, kecamuk itu belum juga reda. Dinara menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri namun ia tetap gelisah. Bagaimana tidak? Rumah satu-satunya peninggalan Ibu, lenyap dijual kakaknya bahkan tanpa sepengetahuannya! Alasannya? Untuk membayar hutang pinjaman online, untuk berjudi! Dinara tidak habis pikir. Berulang kali, ia berharap kakaknya bisa berubah, tapi yang ia dapat justru kekecewaan yang semakin dalam. Yang membuatnya semakin sesak, haknya atas warisan itu pun tidak diberikan secara utuh. Ibrahim hanya memberi sekadarnya, seolah-olah dialah yang paling berkuasa atas harta warisan itu. Ketika ia mencoba protes, kakaknya malah bersikap tak peduli. Dan sekarang, rumah itu harus dikosongkan min







