Share

Bab 3

Author: Lyla Veil
last update Huling Na-update: 2025-12-12 12:58:25

Sudah dua bulan Dinara bekerja di SHG. Selama dua bulan pun, Dinara belajar bagaimana menyesuaikan ritme Elang Adikara yang melelahkan. 

Di minggu-minggu pertama, Dinara masih begitu kewalahan. Dinara harus menyaring telepon dan email, menyiapkan dokumen rapat, mengumpulkan data dari berbagai divisi, mengoordinasikan vendor, menyiapkan perjalanan dinas, mendampingi inspeksi villa, serta memastikan semua masalah terselesaikan sebelum sampai ke meja CEO.

Kadang, Dinara bekerja hingga kepalanya begitu sakit. Tumpukan berkas yang harus ia urus tak kenal waktu. Mereka menunggunya bahkan hingga akhir pekan.

Setiap pagi, Dinara harus mencoba menahan kantuknya apabila bekerja hingga lembur. Di sisi lain, Elang selalu terlihat tenang dan tak terganggu, seolah ia tidak baru bekerja semalaman juga. Terkadang, Dinara betul-betul penasaran dengan cara kerja atasannya itu.

Sejak memasuki bulan kedua, Dinara sudah mulai hafal kebiasaan Elang. Elang Adikara datang sekitar pukul delapan lewat enam atau tujuh. Pria itu akan melangkah cepat dengan ekspresi datar. Fokusnya seolah penuh pada hari yang bahkan belum benar-benar dimulai.

Pagi ini pun sama. Dinara datang ke kantor melalui lobi utama lantai dasar. Ia membawa jurnal dan tablet di tangannya, berusaha selalu siap apabila Elang memberikan perintah. 

Dinara melirik jam dalam tabletnya. Benar saja. Pukul delapan lewat enam, Elang muncul dari pintu lobi dengan jas gelap yang rapi. 

Dinara segera melangkah mendekat. “Selamat pagi, Pak,” sapanya dengan sopan seperti biasa.

Tidak ada jawaban.

Elang bahkan tidak menoleh. Langkahnya tetap lurus menuju lift, seolah sapaan itu hanya bagian dari kebisingan pagi. Dinara pun mengekorinya.

Dinara juga mulai terbiasa dengan itu. Atau lebih tepatnya … ia dipaksa untuk terbiasa. Dinara hanya bisa merasa jengkel dalam hati tiap kali sapaannya tidak dibalas. Ia pikir, apa salahnya membalas sapaan pegawainya!?

Begitu sampai di lantai tujuan, langkah Elang cepat menuju ruangannya. Sementara itu, Dinara bergegas ke pantry untuk membuatkan kopi untuk Elang. Ia melakukan itu sudah tanpa pinta, sebab Elang pernah memberinya instruksi mengenai kopi di pagi hari, pada hari ketiga Dinara bekerja dua bulan lalu.

Setelah kopi siap, Dinara mengantarkannya ke ruangan Elang. Dinara juga menyempatkan diri untuk membuka tirai-tirai di ruangan Elang, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam. Sementara itu, pria yang tengah duduk di kursi besarnya tak bergeming. 

Ia sudah fokus dengan urusan dalam layar laptopnya, mengabaikan kehadiran Dinara. Dinara pun akan berpamitan ke luar ruangan, dengan mengatakan, “Permisi, Pak.” yang hanya dibalas anggukan dingin.

Rutinitas pagi Dinara ditutup dengan duduk di kubikelnya di luar ruangan sambil menghela napas panjang. Dalam beberapa menit, email dan telepon akan mulai berdatangan. Dinara harus pintar mengatur waktu, sebab Elang juga bisa memanggilnya ke dalam ruangan kapan saja.

*

Siang ini, Elang memanggil Dinara ke ruangannya untuk kesekian kalinya. Dinara bergegas masuk dan disuguhi oleh pemandangan yang sama setiap hari. Pria itu selalu duduk dengan tegap dengan bahunya yang lebar. Setelan berwarna gelapnya melapisi tubuhnya dengan elegan. 

Meski dihiasi tumpukan dokumen penting, meja Elang tak pernah terlihat berantakan. Pena dengan buku catatan berwarna senada selalu ada di sisi kiri laptop Elang. 

Dari sini, pria itu terlihat tenang. Namun, perangainya berubah ketika ia mulai membuka mulut dan memerintah Dinara.

“Dinara, cek ulang legalitas villa Astina, ada yang tidak sinkron,” ucap Elang tegas. “Sekarang.”

Dinara mengangguk. Ia baru akan menjawab atasannya itu ketika ia sudah berbicara lagi.

“Siapkan tur virtual untuk klien Singapura, satu jam lagi,” pinta Elang. Matanya fokus ke layar laptop.

“Ba-baik, Pak,” Dinara segera mencatat perintah-perintah itu di tablet dalam genggamannya. “Saya akan mengurus berkasnya terlebih dahulu.”

Elang hanya mengangguk, lalu menengadahkan kepalanya ke arah pintu, menandakan bahwa Dinara dipersilakan untuk keluar. Dinara sudah mengerti itu, maka ia mengangguk sopan dan melangkah menuju pintu.

Belum juga Dinara selesai membuka gagang pintu, Elang sudah bersuara lagi.

“Dinara.” Elang mengangguk, tanda bahwa ia menyuruh Dinara untuk mendekat lagi.

Dinara sudah mengeluh dalam hatinya. “Ya, Pak?” langkah Dinara rasanya berat sekali.

Elang lalu meraih secangkir kopi di atas meja. Elang menggeser cangkir itu, menyodorkannya ke arah Dinara. “Buatkan saya kopi.” 

Itu secangkir kopi yang Dinara buatkan tadi pagi, sesuai perintahnya seperti biasa. Namun, Dinara melihat kopi itu masih utuh. 

Dinara tertegun.

“Tapi, Bapak belum minum kopi ini…?”

pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dinara, suaranya lambat laun mengecil karena Dinara sadar seharusnya tidak perlu bertanya seperti itu.

Elang menatap Dinara tajam. “Apa kamu keberatan saya minta dibuatkan yang baru?”

“Ti-tidak, Pak. Baik, Pak Elang,” balas Dinara sebelum meraih cangkir kopi itu.

Ia berjalan ke luar ruangan Elang kemudian menutup rapat pintunya.

Di luar ruangan, ia menghela nafas berat. Kopi di tangannya seolah menjadi bukti bahwa ia belum bisa memahami perintah Elang sepenuhnya. Dinara lantas menyeret langkahnya ke pantry untuk membuat kopi baru. Ada rasa jengkel yang dibalut kecewa pada dirinya sendiri. 

“Tarik nafas dulu, Mbak Din!” seru Iwan yang membuyarkan lamunan Dinara.

Iwan adalah asisten pribadi Elang.

“Kalau Pak Elang banyak perintah, artinya dia lagi dalam mode kerja maksimal.”

Dinara mengangguk lemas. “Berarti selalu dalam mode maksimal, ya, Mas?”

Iwan tertawa kecil. “Begitulah Pak Elang, Mbak.”

Dinara ikut tertawa kecil sebelum melanjutkan langkahnya ke pantry. Dinara kembali hanyut dalam lamunannya selagi menunggu air panas untuk menyeduh kopi mendidih di dalam pemanas. 

Sudah dua bulan ia bekerja, kadang masih melakukan kesalahan. Entah kesalahan sepele seperti salah ketik, hingga salah menyerahkan dokumen kepada klien SHG. 

Elang pun selalu menegurnya. Kadang-kadang melalui tatapan tajam, kadang melalui perkataan tajam seperti... ‘apa kamu tidak bisa kerja?’ atau ‘jangan naif kalau bekerja!’.

Ada rasa yang menusuk di dada tiap Dinara mendengar itu. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain berusaha untuk beradaptasi dan belajar dari kesalahannya.

Pasalnya, semua itu terbayar dengan jumlah gaji yang fantastis. Dinara dapat mencukupi kesehariannya, termasuk membayar sewa kos setelah rumahnya betul-betul dijual.

Lamunan Dinara buyar ketika asap keluar dari pemanas air, menandakan airnya sudah mendidih. Ia pun membuatkan kopi baru dengan hati-hati lalu bergegas kembali ke dalam ruangan Elang untuk menyerahkannya. 

Dinara mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk. Elang masih terduduk di atas kursinya dengan mata terpaku di layar laptop. Ketika Dinara menyerahkan kopi itu, ponsel Elang tiba-tiba berdering di meja. Dinara meliriknya. 

Nama yang muncul jelas, Karin.

Dinara langsung menyingkir. Karin adalah istri Elang Adikara. Karin  pernah datang ke kantor beberapa kali. Alasannya pun selalu sama, melihat Elang kerja, membawakan makan siang dan kopi. Tapi tidak pernah lama. 

Karin selalu tampak manis, ceria, dan ramah pada siapa pun yang ia temui. Namun, tiap Karin menelepon, Elang seringkali tidak memberi reaksi apa pun. 

Seperti biasanya, bunyi dering itu dibiarkan memenuhi ruangan selama beberapa detik yang terasa lama. Hari ini pun begitu.

Dinara bahkan merasa lebih gelisah daripada pemilik ponselnya.

Pada akhirnya, sambil menghela nafas, Elang meraih ponsel itu dan mengangkatnya. Seperti biasa, jawabannya selalu singkat. 

“Ya.”

“Besok.”

“Sibuk.”

Lalu telepon ditutup.

Kemudian Elang kembali fokus pada laporan dalam layar laptopnya, seakan percakapan barusan hanya selingan kecil.

Dinara menelan saliva. Kadang, Dinara begitu penasaran dengan sikap atasannya ini. Apakah pria ini dingin kepada seluruh wanita, termasuk istrinya sendiri? Namun Dinara juga tahu itu sama sekali bukan urusannya dan tidak seharusnya ia ingin tahu itu. 

Dinara pun tidak mematung. Ia merapikan berkas-berkas yang diperlukan Elang siang ini, menyusunnya sesuai urutan. Tiba-tiba, Elang beranjak ke luar ruangan. Dinara pun mengekorinya.

Tanpa basa-basi, Elang berujar, “Iwan, Dinara, siapkan berkas proyek Cendana Hills. Kita ke sana sekarang.”

Iwan dan Dinara berseru kompak, “Baik, Pak.”

Dinara pun langsung meraih berkas dan tasnya, kemudian berlari kecil mengikuti langkah panjang Elang.

Hingga sore menjelang gelap, Iwan dan Dinara baru kembali ke kantor. Sedangkan Elang, langsung pergi ke tempat lain. Iwan pun ikut berpamitan. 

Begitu Iwan pergi, ruangan CEO terasa jauh lebih sepi. Dinara baru saja duduk, bahkan belum membuka laptop ketika ponselnya berbunyi. Tim legal SHG meminta dokumen tambahan yang berada di lantai bawah. Mau tak mau, ia harus turun mengambilnya.

Ia melangkah menuju lift ketika telinganya menangkap percakapan dua karyawan di pantry. Langkahnya otomatis berhenti. 

“Eh, sudah lihat belum… istrinya Pak Elang update endorse lagi.”

“Iya, heran banget. Selebgram tapi nggak pernah upload foto sama suaminya sendiri!”

“Ya, wajar… mereka ‘kan jarang barengan. Tau sendiri, Pak Elang kayak gimana… sibuk.”

“Tapi…,” suara salah satu karyawan itu mengecil, namun tetap terdengar Dinara. “Kamu tau nggak? Istrinya Pak Elang… digosipkan selingkuh!”

Dinara mengernyitkan dahi. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 6

    “Baik, Pak Elang, bisa.” jawab Dinara tegas meski sebenarnya ada rasa sedikit kesal bercampur bingung.Elang hanya mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Yang Dinara tahu selanjutnya adalah lebih banyak email masuk mengenai proyek Cendana Hills itu. Ada laporan keuangan dengan nominal fantastis, ada pula laporan-laporan lain dengan judul ‘DOKUMEN RAHASIA’ yang dicetak tebal. Kepala Dinara sakit memikirkannya. Ia tidak boleh ceroboh kali ini. Lupa menyerahkan laporan saja dibilang tidak becus, apalagi kalau ia melakukan kesalahan fatal!Sampai malam, kepala Dinara bekerja tanpa jeda. Tanggung jawab baru itu membuatnya sulit tidur. Namun, ada sebuah pinta Elang yang membuatnya terpacu. “Ada bonus besar apabila selesai.”Semua masih menggema, dan kini proyek Cendana Hills resmi berada di pundaknya.Ia tidak bekerja sendirian. Ada beberapa orang yang ia kenal yang juga menangani proyek ini, seperti Julia, sahabatnya dari bagian marketing. Ibu Reva dari bagian HRD juga ikut turun. M

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 5

    Dinara terkejut. Namun, ia cepat-cepat mengembalikan ekspresinya. “Ba- baik, Pak Elang.”Dinara membawa dua paperbag berisi makanan dan kopi-kopi itu ke luar ruangan. “Sayang sekali kalau harus dibuang.” Batinnya, “Tapi tadi perintahnya jelas….” Dinara menimbang-nimbang. Ia merasa begitu sayang jika harus membuangnya.Iwan yang sedang memasukkan data di laptopnya, melihat Dinara keluar dengan membawa paperbag yang tadi Karin bawa untuk Elang. “Mbak Din, itu mau dibawa kemana?” tanya Iwan.Dinara menoleh, “Disuruh buang sama Bapak.” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Bukannya terkejut, Iwan malah ketawa kecil sambil menggeleng. Bukan tawa yang meremehkan, tapi seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat hal yang sama.“Kenapa, Mas?” Tanya Dinara heran.Iwan menggeleng, “Enggak, Mbak.”Dinara penasaran dengan reaksi rekannya itu. Ia merasa, ada sesuatu yang Iwan tahu tapi dirinya tidak.“Apa aku kasih orang aja, Mas? Nggak tega mau buang makanan…”“Terserah Mbak aja.” J

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 4

    Dinara masih terdiam di sana ketika salah satu dari karyawan tersebut berkata, “Hus! Itu gosip lama!”Kemudian kedua karyawan itu bergegas pergi. Sementara itu, Dinara mematung sejenak sebelum ikut berpaling. Selingkuh…? Dinara memang belum pernah bicara banyak dengan Karin, hanya sebatas menyapa sopan. Namun beberapa kali melihat Karin ketika ia sedang datang ke kantor, Dinara selalu melihatnya menyapa para karyawan dengan ramah. Karin juga kerap membelikan makanan atau minuman untuk para karyawan. Selain itu… Karin terlihat begitu serasi bersama Elang. Cincin yang masih disematkan di jari manis keduanya cukup menjadi bukti kuat bagi Dinara. Maka, Dinara cepat-cepat menyingkirkan omongan dua karyawan tadi. Ia pikir, ini hanya gosip semata. Lagipula, Julia juga pernah bilang bahwa sudah biasa ketika ada gosip mengudara di kantor ini. Dinara harus pintar-pintar mengabaikannya agar tidak terseret. Jadi, Dinara cepat mengabaikan pikirannya. *Keesokan paginya, kantor SHG sama sibukn

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 3

    Sudah dua bulan Dinara bekerja di SHG. Selama dua bulan pun, Dinara belajar bagaimana menyesuaikan ritme Elang Adikara yang melelahkan. Di minggu-minggu pertama, Dinara masih begitu kewalahan. Dinara harus menyaring telepon dan email, menyiapkan dokumen rapat, mengumpulkan data dari berbagai divisi, mengoordinasikan vendor, menyiapkan perjalanan dinas, mendampingi inspeksi villa, serta memastikan semua masalah terselesaikan sebelum sampai ke meja CEO.Kadang, Dinara bekerja hingga kepalanya begitu sakit. Tumpukan berkas yang harus ia urus tak kenal waktu. Mereka menunggunya bahkan hingga akhir pekan.Setiap pagi, Dinara harus mencoba menahan kantuknya apabila bekerja hingga lembur. Di sisi lain, Elang selalu terlihat tenang dan tak terganggu, seolah ia tidak baru bekerja semalaman juga. Terkadang, Dinara betul-betul penasaran dengan cara kerja atasannya itu.Sejak memasuki bulan kedua, Dinara sudah mulai hafal kebiasaan Elang. Elang Adikara datang sekitar pukul delapan lewat enam at

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 2

    “Saya memang tidak memiliki pengalaman sebagai sekretaris, namun saya percaya bahwa kemampuan saya dalam bidang administrasi dapat memenuhi ekspektasi Pak Elang,” jawab Dinara tegas.Hening menggantung di antara mereka.Udara dalam ruangan itu seperti berhenti bergerak. Bunyi jarum jam di dinding terdengar begitu jelas. Ruang interview luas dengan kaca transparan, tiba-tiba terasa sempit. Dinara bisa merasakan debaran jantungnya sendiri. Namun ia tetap menatap Elang Adikara sekuat mungkin, berusaha terlihat tidak gentar.Setelah itu, Elang hanya menutup map di depannya. “Kamu boleh keluar,” ucapnya singkat.Hanya itu, tidak ada ekspresi yang bisa Dinara baca. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya.Dinara semakin tidak mengerti. Elang Adikara bersikap seolah tidak ada apa-apa, padahal ia baru melontarkan pertanyaan yang begitu merendahkan. Sikap datarnya seperti itu membuat Dinara bertanya-tanya. Apakah ia ditolak? Apa jawabannya kurang sopan dan terkesan angkuh? Saat berdiri d

  • Candu Pelukan Hangat Bos Dingin    Bab 1

    “Din, rumah Ibu sudah Abang jual.” Kalimat itu, keluar begitu saja dari mulut Ibrahim minggu lalu. Ibrahim adalah satu-satunya kakak laki-laki yang dimiliki Dinara. Sudah seminggu berlalu, tapi pikirannya tetap kusut. Bahkan saat ia duduk menunggu giliran di ruang interview hari ini, kecamuk itu belum juga reda. Dinara menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri namun ia tetap gelisah. Bagaimana tidak? Rumah satu-satunya peninggalan Ibu, lenyap dijual kakaknya bahkan tanpa sepengetahuannya! Alasannya? Untuk membayar hutang pinjaman online, untuk berjudi! Dinara tidak habis pikir. Berulang kali, ia berharap kakaknya bisa berubah, tapi yang ia dapat justru kekecewaan yang semakin dalam. Yang membuatnya semakin sesak, haknya atas warisan itu pun tidak diberikan secara utuh. Ibrahim hanya memberi sekadarnya, seolah-olah dialah yang paling berkuasa atas harta warisan itu. Ketika ia mencoba protes, kakaknya malah bersikap tak peduli. Dan sekarang, rumah itu harus dikosongkan min

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status