Kedekatan Biru dan Alfa semakin berlanjut. Hampir setiap hari mereka berdua saling mengirim pesan, baik chat maupun telepon. Seperti hari ini. Alfa tiba-tiba mengajaknya mencari makan malam. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sebuah rumah makan yang buka belum lama. Mereka berniat saling berbincang sembari menikmati makan malam mereka.“Gimana sama novel kamu sekarang?” tanya Alfa dengan nada yang cukup manis masuk telinga.“Alhamdulillah lancar. Soalnya beberapa juga udah tinggal antre nerbitnya selain yang memang udah dikontrakkan seriesnya.”Alfa mengangguk. Ia menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Suasana rumah makan ini cukup ramai meskipun tidak yang sampai penuh sesak. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar di penjuru rumah makan, pun dengan meja keduanya.“Genre kesukaanmu apa emang?” Alfa meletakkan kembali lemon teanya di atas meja.“Aku paling suka fantasi, thriller, tragedy, hmm, apa lagi, ya? Ah, horor juga suka. Kamu paling suka baca apa?” tanya
Langit berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah setelah turun dari motor dengan buru-buru, melepas sandalnya sambil berlari. Bahkan helm yang masih di kepala ia lepas sambil berlari dan diletakkannya begitu saja di atas rak sepatu. Ia langsung masuk dan mendapati kakaknya sedang berdiri di sudut ruangan dan Biru yang sedang duduk dengan raut wajah yang pahit. Tangan biru sibuk pada ponselnya, sementara Gita yang berdiri sedang berbicara dengan seseorang di seberang ponselnya. “Bii, are you oke?” tanya Langit yang sebenarnya jawabannya dengan jelas ia ketahui. Biru tidak baik-baik saja. Benar-benar tidak baik-baik saja. Langit langsung duduk di sebelah Biru tanpa menunggu jawaban Biru karena ia tahu pertanyaannya tak perlu dijawab. Ia juga mengeluarkan ponselnya, menghubungi sosok yang mungkin bisa ia mintai tolong. Gita yang sudah selesai dengan urusannya langsung kembali mendekati Biru dan duduk di sebelah gadis itu. Kini Biru sedang diapit oleh dua orang kakak beradik. “Biru, bo
“Gua tahu di sini gua yang salah. Tapi gua nggak mau minta maaf. Karena percuma, toh lo nggak bakal maafin gua.” Rahang Biru mengeras. Tangannya menggenggam tangan Gita dan Langit di bawah meja dengan sangat keras. Mereka berdua tidak berbicara apa-apa, begitu pun Biru. Keduanya masih terlalu speechless dengan ungkapan Alfa dan khawatir kalau mereka bertiga membuka suara saat ini, belum sempat lelaki itu menjelaskan semuanya sudah habis karena dihajar mereka bertiga akibat emosi yang lepas kendali. Melihat tidak ada tanggapan dari mereka bertiga, Alfa akhirnya melanjutkan ucapannya. “Kenalin, ini Pak Hilmi, pengacara pribadi gua. Niat kami datang ke sini buat kasih kompensasi atas karyanya Biru yang sekarang udah beralih nama. Gua masih punya perasaan, jadi gua masih mau bayar lo buat ide sama tulisan lo. Jadi seenggaknya lo nggak rugi banget.” “Wah, manusiawi sekali. Kalo emang lo masih ngerasa lo manusia, lo nggak bakal mungkin nyuri karyanya Biru! Sialan emang. Siapa, sih, di be
Seorang laki-laki paruh baya memegang gesper dengan wajah yang merah padam. Aroma alkohol menguar dari mulutnya, dengan mata yang memerah dan omongan yang meracau. Beberapa kali tangannya menyabetkan gesper itu ke tubuh seorang perempuan yang sudah lemah. Ia tak mampu lagi menangis. Di sudut ruangan, seorang anak perempuan dengan tangan dan tubuh penuh lebam yang bajunya baru saja dibuka karena habis mengobati luka di punggung tengah menggenggam tangannya kuat-kuat. Air matanya mengalir menetes dari sudut mata yang sebenarnya diusahakan untuk tidak keluar. Suara isakan kecil terdengar sebagai upayanya menahan tangis.“Wanita jalang! Di mana kau sembunyikan uangmu, ha? Kalo suamimu ini minta uang, kamu kasih! Bukannya malah disembunyiin, lalu berbohong! Sudah berani sekarang bohong, ya?”Lagi. Lelaki itu menyabet ke istrinya yang entah sudah berapa kali ia mendaratkan sabuk kulit itu ke kulit sang istri dengan ayunan yang kuat. Dapat dipastikan kalau di punggungnya akan tersisa lukan
“Kalo gua boleh tahu, lo takut badai malem-malem karena mimpi lo ini?”Biru menggeleng. “Sayangnya bukan. Itu cuma alasan gua nggak bisa nangis aja.”Gita terdiam. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh kecuali Biru sendiri yang menjawabnya. Biru menerawang ke depan dengan pandangan yang kosong. Ia kembali menyesap teh chamomile di gelas, lalu menarik napasnya panjang. Biru sedikit bangun dari kasur untuk meletakkan gelasnya di atas meja. Kemudian, ia duduk bersila, menghadap Gita lekat.“Langit ajak ke sini sekalian aja.” Gita mengangguk. Ia memanggil Langit dengan sedikit mengeraskan suaranya. “Langit, sini dulu!”Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Langit masuk dengan mata sayunya. Sepertinya ia tadi tertidur di sofa depan yang tak jauh dari kamar Biru. Rumah Biru memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Jelas kamar mandi luar kamar. Sebuah ruang tamu yang sekalian bergabung dengan ruang keluarga. Sebuah rumah yang cocok untuk orang yang t
Sedih itu cuma untuk sebentar. Bagi Biru, tangisan cukup habiskan di satu malam, lalu besoknya seperti tidak terjadi apa-apa. Pada pagi harinya, Biru langsung kembali seperti semula dan itu menghilangkan rasa khawatir Gita. Gadis itu juga dengan santai menghitung uangnya, membagi-baginya dalam beberapa bagian, lalu kembali menyatukannya tanpa rasa takut akan dicuri atau ditilep orang. Biru memasukkan uangnya dalam brankas yang memang ia punya di lemarinya setelah sebelumnya menyisihkan beberapa lembar untuk ia gunakan.“Langit, Gita!” panggil Biru dari kamar. Gita dan Langit yang masih memakan nasi uduknya langsung masuk ke dalam kamar Biru. Tak perlu khawatir telurnya akan dibawa kucing karena dari awal pintu rumahnya sudah Gita tutup lagi setelah membeli nasi uduk di penjual yang tak jauh dari rumah Biru. Nasi uduk langganan mereka untuk dimakan sarapan. Milik Biru juga masih terbungkus rapi di meja makan karena memang gadis itu sejak tadi sibuk di kamar. Setelah acara tangis-tangi
Langit sebenarnya bukanlah seorang yang penakut. Semasa dia kuliah, dia juga santai menempati kamar kosnya sendirian. Dia tidak takut meskipun itu mati lampu dan ia sendirian di kosan itu. Hanya karena kos-kosannya tidak jauh dari kuburan, yang untungnya terletak di pinggir jalan. Langit tidak takut. Bahkan ia harus pulang malam-malam sendirian, ia masih berani meskipun merasa was-was, tapi itu semua perasaan was-was kepada manusia dibanding entitas lain. Akan tetapi, beda cerita dengan menonton film horor. Apa pun jenisnya. Entah itu horor yang hantu dan setan, atau pun horor karena makhluk lain seperti zombie atau monster yang berdarah-darah, maka Langit akan dengan senang hati menolaknya. Karena, sebenarnya ia percaya pada sosok entitas lain. Ia percaya mereka ada, mereka yang berada di alam lain. Ia mempercayainya. Akan tetapi, ia tidak takut pada mereka karena ia tidak bisa melihatnya secara langsung. Beda cerita jika ia melihatnya dengan langsung sekalipun itu hanya rekayasa. Ala
Acara jalan-jalan dalam rangka menghabiskan uang hari ini tiba pada acara terakhir, yaitu penutupan. Penutupan acara hari ini adalah makan-makan di tempat makan ala Korea, yaitu Kobar alias Korean Barbeque. Kebetulan mereka bertiga sama-sama menyukai daging. Alhasil pilihan ini menjadi pilihan pertama mereka setelah mengeliminasi beberapa pilihan tempat makan yang ada.Tempat makan yang mereka pilih adalah tempat makan pinggir jalan yang memakai tenda dengan alat bakaran di setiap mejanya. Beruntung mereka datang sedikit lebih awal. Setelah sholat maghrib di salah satu masjid, keduanya langsung berangkat ke sini. Di luar rupanya hujan baru saja berhenti. Maklum lah, mereka selama tiga jam terkurung di dalam ruangan karaoke tanpa mendengar suara-suara lain dari luar. Mereka bertiga juga sudah menghitung waktu dan memastikan masih sempat menunaikan ibadah maghrib sebelum lanjut ke acara puncak, yaitu makan-makan. Sempat ada pilihan untuk makan ramen untuk penutup acara malam itu, tapi