“Kamu nggak lanjutin sekolah aja? Apa nggak sayang? Kamu masih muda, loh. Jalanmu masih panjang banget,” ucap seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang duduk di depan Biru.“Nggak, Bu. Buat apa lanjut. Saya udah merasa beruntung banget bisa sampe SMA. Jadi buat apa lanjut sampai ke perguruan tinggi? Mending saya kerja, cari duit.” Gadis itu menjawab dengan percaya diri. Hari ini adalah hari wawancara kerja pertamanya sebagai asisten rumah tangga di sebuah rumah besar. Yayasan tempatnya tinggal juga menyediakan jasa penyalur pekerja, jadi Biru secara langsung dicarikan pekerjaan oleh yayasannya. Bisa dibilang ini terakhir kalinya Biru berhubungan dengan yayasan yang mengurusinya. Ia tidak memiliki kenangan baik dengan yayasan tersebut.“Memang kamu nggak punya mimpi yang pengen kamu capai?” tanya wanita itu lagi.Biru menggeleng. “Mimpi saya nggak muluk-muluk, Bu. Saya cuma mau hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri. Habis itu mungkin kalau ketemu jodoh ya menikah, kalau ngga
Pak Abdi memperhatikan Biru dan Arakata yang asyik berbincang. Sesekali Biru menanggapi dengan serius Arakata yang antusias bercerita. Bahkan gadis itu ikut tertawa saat dirasa apa yang diceritakan Arakata adalah hal yang lucu.Saat keduanya sudah lelah bercerita, terutama Arakata, Pak Abdi berdiri dan mendekati putrinya itu.“Kamu laper nggak, Nak? Kalo laper beliin Ayah pecel di depan, tolong. Ayah laper ini. Tadi soalnya ayah lihat di depan ada yang jualan pecel kok jadi pengen. Sekalian kamu juga beli makan kalo laper.” Pak Abdi menyerahkan selembar uang berwarna merah. Gadis itu menerima uangnya dengan senyum semringah.“Adek beli jajan juga ya, Yah? Ada banyak makanan di depan,” sahut gadis itu antusias.“Iya, beli aja sesuka adek. Asalkan dihabisin makanannya.”“Horeee!” soraknya bahagia. Ia menoleh ke Biru yang tersenyum melihat tingkah polah adiknya itu. “Kak Biru mau mesen, nggak?” tanyanya kemudian.Biru menggeleng. “Nggak, Dek. Kak Biru belom boleh makan sembarangan soalny
Seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam sebuah gedung dengan setelan rapi. Kharismanya juga mendulang penampilannya yang hanya dengan berjalan saja beberapa wanita yang bekerja di gedung itu menghentikan pekerjaan mereka untuk sekadar curi-curi pandang. Dengan setelan jas berwarna hitam dan dasi biru bergaris putih, ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri. Suara dari ujung sepatunya beradu dengan lantai yang menciptakan bunyi konstan yang seolah berima di tengah ketidak teraturan bunyi-bunyian yang sudah ada. Beberapa office boy yang sedang mengepel lantai sedikit membungkukkan badannya saat lelaki itu lewat, memberi hormat pada sosok yang berpangkat tinggi di sana. Lelaki itu berjalan menuju lift yang ada di sisi dalam ruangan lantai pertama. Ia memakai lift khusus petinggi alih-alih lift karyawan yang saat ini sedang banyak orang antre di depannya.Sesampainya di dalam benda kotak itu, ia menekan angka 12 menandakan bahwa tujuannya adalah lantai 12, lantai kedua dari atas ya
Tidak ada perbedaan, apakah dia anak pertama, anak tengah, atau bahkan anak terakhir. Bagi Gita, semua anak memiliki porsi bebannya masing-masing. Memiliki banyak harta juga tidak selalu menjadi penentu kebahagiaan. Meskipun gadis itu sadari, selama masa kecilnya tidak pernah ia harus menahan keinginannya untuk membeli sebuah barang. Trend yang terus berputar, berganti-ganti barang mulai dari yang murah sampai yang mahal, Gita pasti punya beberapa hari setelah barang itu ramai. Makanan apa pun yang ia mau, selama ia meminta orang tuanya, pada hari itu juga pasti akan tersaji di atas meja makan. Jadi gadis itu tidak bisa merasakan apa yang dirasakan teman-teman sekolah lainnya, yang bahkan sampai harus pergi sekolah tanpa sepatu.Tapi, ada harga yang harus dibayar dari apa yang ia inginkan. Ketidakhadiran orang tuanya dalam setiap momen dalam masa kecilnya adalah harganya. Gita kecil selalu bertanya-tanya, apakah ketidakhadiran mereka adalah hal yang wajar? Saat dirinya pentas pada aca
Atmosfer ketegangan menyelimuti rumah mewah itu. Seolah semua orang yang berada di dalamnya sedang dalam medan perang yang menggebu-gebu. Genderang perang telah dibunyikan sesaat setelah Langit dan Gita masuk ke dalam rumah. Kebencian, amarah, iri, dan dendam saling menyelimuti setiap emosi yang berbaur. Tatapan Langit yang mengabsen satu persatu wajah yang sudah menantinya sama sekali tidak bisa dikatakan ramah. Ia membenci mama dan papanya yang membuatnya harus menjalani masa kecil tanpa tahu bagaimana rasanya disayangi. Ia terkadang merasa iri pada teman-temannya yang bercerita betapa ibu mereka akan menjaga setiap kali mereka demam, atau sekadar memandikan, membuatkan sarapan, dan mengantar ke sekolah. Bahkan ia merasa iri pada anak-anak lain yang diantar ayahnya meskipun itu hanya menggunakan sepeda ontel.Rasa iri Langit semakin menjadi pada sosok remaja laki-laki berwajah persis ibunya. Melihat bagaimana keduanya duduk bersebelahan tanpa canggung. Pemuda itu tersenyum sinis, ia
“Say, gabut. Pasar malam, yuk!” Sebuah notifikasi yang masuk ke ponsel Biru berisikan pesan tersebut. Biru, sang empunya ponsel, membuka pesan segera dan membalasnya dengan cepat.“Gas! Gua juga gabut.” Pengirim pesan tersebut adalah Gita. Satu-satunya sohib yang Biru punya. Biru akui, ia hampir tidak memiliki teman dekat selain Gita. Banyaknya teman yang ada hanya sekadar rekan dan relasi yang ia punya untuk menunjang kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Alasannya simpel, ia tidak pandai bersosialisasi. Biru selalu berpikir kalau hidup dalam masyarakat itu merepotkan sekaligus hal yang mau tak mau harus dilakukan. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Bahkan terkadang, ada saat di mana seseorang benar-benar perlu orang lain untuk sebuah hubungan di luar hubungan transaksional seperti membeli jasa. Karenanya lah, setidak nyaman apa pun Biru dalam bersosialisasi, ia akan menahannya dan berusaha membangun relasi sebaik-baiknya dengan orang lain demi menjalani kehidupan yang nyam
Berakhirlah diskusi panjang itu dengan mereka berempat yang berdiri di depan pintu masuk rumah hantu. Gita menggandeng Biru dengan erat, bahkan sebelum mereka masuk ke dalam. Sedangkan Langit dan Dika berdiri di belakang para gadis sembari menjaga mereka. Mereka berdua menjadi orang yang diminta –ralat, dipaksa—oleh kedua gadis yang ada di sana untuk membeli tiketnya. Termasuk bagian antrenya, sedangkan kedua gadis itu menanti di tempat duduk yang tak jauh dari pintu masuk. Barulah setelah tiba di giliran mereka, Biru dan Gita langsung menanti di depan pintu. Meskipun mereka mendapatkan tatapan sinis dari beberapa orang yang ada, kedua gadis itu tidak peduli. “Tadi ngeyel ngajakin, la sekarang kok udah menciut duluan,” ejek Biru saat merasa dekapan Gita sangat erat di lengannya. “Ish, gua nggak takut, ya! Cuma perlu gandengan aja, kali aja lo yang butuh digandeng. Lagian hantunya juga bohongan semua.”“Kan di belakang ada yang siap buat jadi gandengan lo!”Gita hanya menjawab de
Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan. Ketika semua masalah menjadi semakin kompleks, semua keinginan harus ditahan kebutuhan, bertemu bermacam-macam model manusia yang membuat diri berkali-kali nyaris kehilangan kendali, bahkan harus selalu terlihat baik-baik saja padahal jelas hati sakit dan rasanya ingin menangis.“Orang dewasa tidak boleh menangis.”Kalimat yang rasanya jauh lebih umum daripada kata “orang dewasa” di dalamnya diganti dengan “anak-anak”. Karena seolah hanya anak-anak saja yang boleh menangis, marah, meraung, dan merasa kesal. Padahal orang dewasa juga merasakan perasaan yang sama.Dulu, saat Biru kecil, ia melihat anak-anak SMA sudah dewasa dan keren. Ketika dirinya sendiri yang menjalaninya, Biru sadar bahwa ia salah. Bahkan anak SMA pun masih sama seperti anak-anak pada umumnya. Hanya tubuhnya saja yang besar dan cara pandang yang semakin luas. Bahkan hingga usianya yang nyaris di penghujung kepala dua ini, Biru masih merasa ada sisi kekanak-kanakan dalam diri