Tiga minggu adalah waktu yang lumayan mepet untuk mereka mengurusi segala macam persiapan menikah. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan intimate wedding, sehingga yang dipersiapkan juga tidaklah banyak. Mereka hanya mengundang orang terdekat, beberapa kolega dan rekan kerja. Sebenarnya undangan juga diberikan untuk keluarga besar Gita. Tapi, mereka tidak berharap banyak kalau keluarga sang pengantin wanita akan datang. Sementara dari pihak pengantin pria sendiri, hanya tersisa neneknya yang kini menjadi satu-satunya orang yang duduk di kursi orang tua atau wali sang pengantin. Di hadapan penghulu, Dika dan Gita sudah duduk bersebelahan. Gita terlihat anggun dengan balutan kebaya putih dan bawahan batik berwarna coklat. Rambutnya disanggul dengan untaian melati yang terpasang di sanggulnya dan menjuntai ke samping. Dika juga terlihat gagah dengan jas dan bawahan berwarna abu-abu yang membalut kemeja putih yang dipermanis dengan dasi kupu-kupu. Di atas kepala keduanya, sebuah kain ve
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus
Gerimis datang dengan ringan. Cuaca juga sendu, cuaca yang sangat cocok untuk menikmati semangkuk mi instan rasa soto dengan potongan cabai rawit dan telur di dalamnya. Rasanya, menyeruput kuahnya yang segar dan hangat menjadi impian para budak korporat yang masih bergelung dengan pekerjaan mereka yang menggunung.“Biarkan aku bergelung di selimut …” desah Biru dengan nada lelah. Gita yang sedang menikmati coklat panasnya melirik kawan baik sekaligus rekan kerjanya itu dengan tatapan malas.“Makanya, kalau dikasih deadline jauh tuh langsung kerjain!! Udah tahu masih punya tanggungan tiga bab, malah Netflix-an, bacain manhwa, nontonin anime. Kan kaya gini lo yang keteteran,” omel Gita dengan nada menggebu-gebu. Biru tak menjawab. Ia hanya mendesah sembari menelungkupkan kepalanya di atas meja. Layar Microsoft word di hadapannya menampilkan jejeran kata penuh. Ia baru menyelesaikan satu setengah bab dari tiga bab yang harus ia setorkan hari ini.“Git, minta, dong.” Biru mengangkat
Apa kamu tahu cuaca paling enak untuk bermain-main di laut? Yaitu saat mendung tersebar rata, tapi hujan tidak turun. Setidaknya, bagi Biru, itulah yang paling indah. Laut biru. Saking sukanya dengan laut, Biru menggunakan unsur laut untuk menjadi nama penanya. Oceana Biroe. Lucu, ya? Tapi Biru menyukainya. Biru menatap hamparan laut di hadapannya. Biru berkilauan, dengan angin laut yang menerbangkan anak rambut yang tak bisa dikucir. Karena rambutnya yang pendek sebahu, dengan model potongan mulet, Biru tidak bisa memastikan semua helainya disatukan dalam karet rambut.Hari ini ia sedang berjalan-jalan di Pulau Pahawang, salah satu destinasi yang berada di provinsi Lampung. Biru memasukkan kakinya ke dalam air dengan duduk di dermaga sembari menikmati semilir angin. Otaknya merangkai berbagai kemungkinan untuk alur novel selanjutnya. Sesekali ia menghela napas kalau dirasa alur di kepalanya terlalu aneh. Lalu kemudian, kembali menyusun alur gambaran kasar di imajinasinya.Suara r
Gita menatap Langit dengan tajam. Seolah ia meminta Langit untuk menjelaskan padanya tentang apa yang terjadi. Biru menatap keduanya bingung.“Kalian saling kenal?” tanya Biru heran.“Dia adek gua. Yang gua ceritain adek nggak punya akhlak itu.”Biru ganti menatap Langit.“Kok lu nggak bilang kalo lu adeknya Gita?”“Kakak nggak nanya.”“Gantian gua yang nanya. Kok kalian kenal?” Gita juga ikut bertanya karena merasa tidak tahu apa-apa.“Kita ketemu di Pahawang kemarin. Waktu gua sama temen-temen lagi jalan-jalan buat foto-foto wisuda.”Gita menarik napasnya, lalu mengembuskan perlahan. “Kok lu tadi nggak bilang kalau lu udah pernah ketemu Biru?”“Kan Kakak nggak nanya. Lagian, biar surprise aja.”Refleks, Gita menjitak adiknya karena merasa dipermainkan. Dia tahu Langit sudah lama menyukai Biru, bahkan sebelum keduanya bertemu hanya karena tanpa sengaja melihat dari foto. Tapi, Gita juga memahami Biru tidak menyukai Langit karena usia mereka. Selain itu, Gita sudah sedikit
Manusia itu egois. Sebab, egois sendiri adalah sifat dasar manusia, yang menjadikan manusia bisa bertahan hidup di dunia ini. Menjadi egois juga bukan dosa, selama rasa itu diletakkan di tempat yang tepat. Karena, pada hakikatnya, manusia juga butuh untuk bertahan hidup di dunia yang makin kacau ini.Seperti Langit yang egois untuk tidak melepaskan Biru. Tidak, bahkan Langit tidak bisa mengatakan kalau ia egois. Ia hanya ingin menjadi seseorang yang penting bagi Biru, sosok yang menjadi penolongnya saat Langit nyaris saja salah jalan. Meskipun mungkin, Biru tak akan tahu, dan tidak mungkin tahu. Langit ingin egois dengan terus menggenggam tangan Biru, tanpa ada niat untuk melepaskannya sama sekali. Langit ingin egois dengan memiliki Biru untuk dirinya sendiri, tanpa harus repot-repot berbagi dengan siapa pun. Hanya itu.Seperti hari ini, lagi-lagi Langit sudah bertengger di atas motornya, tepat di depan rumah Biru. Setelah kejadian Biru demam sekitar sebulan yang lalu, Langit kian g
Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang tak akur dan setiap hari hanya ada pertengkaran dalam rumah tangga, Langit memiliki keraguan pada setiap hubungan percintaan yang ia miliki. Mama dan papanya yang sama-sama bekerja dan sukses tak membuat hubungan keduanya baik, justru malah semakin memanas. Papa yang seringkali dinas keluar dan menginap sampai beberapa malam membuat mamanya sering merasa kesepian karena hanya malam lah waktunya pulang ke rumah. Karenanya, mamanya juga berakhir ikut-ikutan jarang pulang ke rumah, menyisakan Gita dan Langit yang saling menghibur satu sama lain. Itu adalah awal mula drama berkepanjangan yang ada di keluarganya dan anehnya keduanya sama-sama tidak ingin melepaskan ikatan yang membelenggu mereka ini. Entah apa alasannya, mereka berusaha mempertahankan ikatan pernikahan padahal tidak ada lagi cinta di dalamnya.Masa remaja Langit hanya berisi pelarian. Beruntung ada Gita yang terus berusaha menuntun Langit untuk tidak keluar dari jalur, s
“Biii, besok keluar, yuk!” ajak Langit dari seberang telepon. Biru yang masih menyicil pekerjaannya mengapit ponselnya dengan bahu. Kedua kakinya ia naikkan ke atas kursi dengan salah satu kaki menekuk ke arah depan, satunya bertekuk seperti sedang bersila“Besok kapan?” tanya Biru. Tangan kanannya meraih potongan brownies yang ada di atas piringnya di sebelah laptop. Mulutnya mengunyah brownies cokelat yang lembut nan lumer itu. Lidahnya seolah dimanjakan dengan kenikmatan yang menyebar di seluruh mulutnya.“Malem Minggu. Gua pengen jalan-jalan sama lo. Dah lama juga nggak jalan-jalan di kota kelahiran.”Biru berpikir sejenak. Ia kemudian membuka whatsapp di laptopnya dan membuka salah satu chat yang ada.“Sayangnya malem Minggu gua udah ada janji keluar.” Langit terdiam sebentar seolah ia sedang berpikir. “Sama Kak Gita?” tanyanya.Biru menggeleng. Tapi ia sadar kalau Langit tak akan tahu gelengannya itu akhirnya menjawab, “Nggak. Sama Alfa.”“Alfa siapa?”“Masa lupa. Pas a