Apakah Tuhan butuh alasan ketika menimpakan cobaan kepada seseorang? Ataukah semua manusia memang sudah seharusnya menghadapi cobaan versi masing-masing meskipun dia berusaha menjadi hamba yang baik dan tidak neko-neko? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Davina Zaila Hamidah. Dirinya sudah mencoba menjalani hidup dengan sebesar-besarnya kemampuan menjaga rumah tangganya. Perempuan keturunan Arab-Sunda berhidung mancung dan berkulit putih bersih itu masih memikirkan kenapa bisa semua orang yang dicintai akhirnya berbalik memusuhi dan merebut kebahagiaan yang tengah direguknya."Kamu tega sekali melakukan ini kepadaku, Mas! Kamu benar-benar lelaki biadab! Mereka semua sahabatku, tega-teganya kamu berselingkuh dengan sahabat-sahabatku!" jerit Davina sambil menunjuk wajah Fathan, suaminya yang hanya bisa duduk terpekur di kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Fathan hanya terdiam. Dia membiarkan wanita yang telah memberinya seorang anak perempuan itu mengurai kema
Davina mulai membuka catatan yang ditinggalkan Lulu. [Hari ini nyawaku kembali menggenap. Davina sahabat terbaikku menawari pekerjaan di kantor suaminya. Siapa sangka aku bisa menjadi sekretaris seorang bos muda yang tampan dan menawan. Thanks, Davina. Kamu tidak akan menyesal telah memilih aku]*Berdiri di atas duri, begitulah yang dirasakan Fathan setelah mendengar kabar bahwa kematian Lulu bukan karena bunuh diri. Ada seseorang yang mengincar kematiannya. Polisi masih mencari barang bukti dan petunjuk yang bisa mengarahkan kepada pelakunya."Untuk sementara semua kawan-kawan dan orang dekat korban bisa menjadi tersangka. Saya harap Pak Fathan bisa bekerjasama dengan kami dengan membongkar semua fakta tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena TKP berada di kantor bapak, kami akan mulai dari Anda. Apakah Anda sudah menunjuk pengacara?'" tanya Bripda Estu Saragih yang dijawab Fathan dengan anggukan kepala."Kami akan mulai menjadwalkan pekan depan untuk investigasi, termasuk kepada istr
[Davina, bukan hanya aku yang telanjur nyaman dan memiliki nyawa kembali ketika bersama Fathan. Semua sahabat kita memiliki kisahnya sendiri dengan suamimu. Aku harap kamu takkan pernah mengetahuinya. Aku tidak bisa membayangkan reaksimu ketika tahu manis madu pernikahanmu juga menjadi candu bagi kami. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan menyimpan rahasia ini sampai mati.]*Sahabat adalah orang yang membangunkanmu meski kamu masih ingin tidur. Itu berarti sahabat adalah orang yang merusak kebahagiaanmu? Setidaknya itulah yang dipikirkan Davina sekarang.Geng Cokelat sebutan bagi lima sahabat yang merasa terhubung satu sama lain sejak mereka duduk di bangku SMA. Persamaan mereka cuma satu kala itu, sama-sama penyuka cokelat. Dari cokelat merk sejuta umat yang sering dipakai sebagai simbol Valentine's Day, hingga cokelat Godiva paling enak yang mereka cicipi dari luar negeri, oleh-oleh dari orang tua Faiza.Pada awalnya mereka hanya menikmati hot chocolate di cafe D’Chocco
[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu) *Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika
[Davina, kau masih pemenangnya. Meski Fathan bermain-main dengan kami, hatinya tetap untukmu. Kau tak tergantikan. Kau tetap ratu di hatinya. Jadi tolong jangan salahkan aku jika ikut mencicipi secuil kebahagiaanmu. Kamu tahu kehebatan Fathan, bukan? Baginya kami hanya tempat bersenang-senang. Dia butuh banyak dukungan untuk tetap menjadi lelaki hebat. Bukan hanya dari istri tetapi juga dari sekretaris, ahli hukum, desain interior, juga marketing handal. Kau tidak boleh egois jika benar mencintainya, seperti dia juga mencintaimu.)*Davina menghentikan langkahnya di tengah tangga. Sebenarnya dia sangat muak melihat wajah Fathan yang memberinya luka menyakitkan.“Aku tahu siapa yang membunuh Lulu." Suara Fathan berhasil menghentikan langkahnya. Davina membalikkan badan menghadap ke arah laki-laki tegap yang kini terlihat seperti orang asing baginya. "Kita ke teras belakang, kita perlu bicara." Fathan berjalan mendahuluinya menuju teras belakang. Angin sepoi menyapu wajah Davina, begit
[Davina, berkali-kali aku mencoba memberitahumu bahwa Fathan dan Ghina bukan hanya partner kerja. Namun, kamu terlalu naif jika tidak mau aku bilang bodoh. Aku pikir kamu juga akan memaklumi ini demi persahabatan kita. Ghina butuh pengganti Omar. Ghina itu hanya casingnya yang dewasa seperti yang ditampilkan di hadapan kita. Hatinya mudah rapuh. Kamu juga turut andil dalam hal ini, berkali-kali kamu bilang supaya Ghina move on. Sekarang dia sudah move on dengan rekan kerjanya. Fathan membuat Ghina kembali bersemangat, seperti juga aku.]*Kondisi Nafasya mulai membaik keesokan harinya. Davina dan Fathan bisa bernapas lega. Setelah melalui banyak pemeriksaan, dokter menyimpulkan Nafasya mengalami gangguan pernafasan. Masih akan ada observasi lanjutan, jadi Nafasya belum diperbolahkan pulang."Aku berangkat kerja dulu, sayang." Fathan berpamitan kepada istrinya. Sikap Fathan tidak berubah. Hal itu membuat Davina serba salah."Hati-hati." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Fathan menc
[Davina, apakah kau tahu saat ini kondisi perusahaan suamimu sedang tidak baik-baik saja? Kami harus memangkas banyak budget agar perusahaan tetap berjalan normal. Pasti kau tidak tahu karena Fathan melarangku memberitahumu. Begitulah caranya mencintaimu. Dia tidak ingin kau melihat kelemahannya. Dia begitu berhati-hati menjagamu. Kami semua akan menjagamu.]*Ghina tidak menyangka Fathan benar-benar menjemputnya di kantor seusai kerja. Pria itu menunggunya di lobi. Dia memakai setelan jas yang sama dengan tadi siang, tetapi baru saat itu Ghina menyadari betapa Fathan memperhatikan banyak soal penampilan karena segala yang dikenakannya terlihat serasi, berkelas, dan mahal. Davina pasti mengurusnya dengan baik. Saat menjadi istri Omar, Ghina juga melakukan hal yang sama. Ah, betapa singkat kebahagiaan itu harus dipeluknya.“Hai!” Ghina menyapa lebih dulu. “Kau menunggu lama? Kenapa tidak telepon?” Ghina mempercepat langkahnya.“Aku, kan, sudah bilang kalau aku akan menjemputmu. Aku ti
[Davina, kecurigaanmu saat itu benar. Tetapi kondisi perusahaan yang sedang sekarat membuatku harus menutupi hal itu darimu. Ghina sudah menghindari Fathan dan bekerja profesional. Kau tahu dia juga berjuang sekuat itu. Ghina kembali harus menelan pil tidurnya untuk bisa bekerja keesokan harinya. Aku masih menyimpan foto-foto mereka. Akan aku simpan dengan aman, supaya kau tidak perlu melihatnya.]*Fathan menemani Ghina mengunjungi workshop dan gudang si pengrajin. Lokasinya lumayan jauh sampai membutuhkan lima jam perjalanan berkendara. Namun pemandangan di sana sangat asri dan hijau, jauh berbeda dari perkotaan tempat biasa mereka tinggal. Setibanya di sana, Fathan tak dapat menahan diri untuk mencuri waktu menikmati kehijauannya.Ghina diam-diam mengambil foto Fathan yang tengah memandangi pegunungan dari belakang, lalu diuunggahnya di instastory. Enjoying the view, begitu caption yang dia tulis.“Gunungnya akan tetap di sana, tetapi workshop-nya sebentar lagi mungkin tutup,” kata