Udara pagi yang dingin menerpa wajah Fathan saat mama mematikan lampu dan membuka jendela kamarnya."Fathan bangun, ayo salat Subuh dulu. Sudah azan, segeralah pergi ke masjid!" Mama menarik selimut tebal yang membungkus tubuh Fathan, lalu menepuk-nepuk punggung anak semata wayangnya."Hoam ... dingin sekali, Ma," keluh Fathan sambil menguap begitu menyadari hawa dingin menusuk tulangnya. Mereka sedang berada di villa. Sejak perceraiannya dengan Davina diketuk palu, Fathan tidak lagi punya gairah pada dunia bersenang-senang. Dia lebih memilih menemani mamanya yang sekarang sudah tidak lagi aktif berbisnis, hanya mengawasi dan sesekali menjadi penasehat. Mereka memutuskan rehat seminggu di villa."Ayolah bangun, jangan malas. Perkara nomor satu yang mesti kau perbaiki adalah hubunganmu dengan Tuhan." Suara mama masih saja yang lembut membuat Fathan mau tak mau membuka matanya."Allah mau kamu kembali, Fathan. Dari semua lika-liku perjalanan dan masalah yang kau lalui kemarin, sekarang
Viandra sedang mengamati layar laptopnya, memerhatikan satu persatu angka yang tertera di dalam rekening yayasan. Setelah acara lelang barang branded berakhir, tugasnya mencatat semua uang yang masuk di rekening. Dahinya berkerut saat mendapati satu berita pada bukti transfer. Segera ia mengambil kertas lalu mulai mencetak bukti uang masuk. Ada sepuluh halaman kertas yang kini berjejer di mejanya. Jarinya dengan cekatan melingkari nomor rekening yang namanya sama. Ada satu nama dan berita transfer yang membuatnya bertanya-tanya. "Kak, ada yang aneh dengan donatur ini, deh. dia mengirimkan donasi dalam jumlah yang sama selama enam bulan ini. Setiap tanggal dua puluh dia mengirimkan donasi seratus juta. Beritanya juga sama 'Geng Cokelat' ini maksudnya apa, ya?"Davina terkejut mendengar nama yang setahun ini tidak pernah dia dengar lagi, dan memang sudah dia hapus dari memorinya. "Pengirimnya atas nama siapa?" selidiknya. "Ghina Ulya. Kakak kenal?'Davina segera mendekati Viandra
Apakah Tuhan butuh alasan ketika menimpakan cobaan kepada seseorang? Ataukah semua manusia memang sudah seharusnya menghadapi cobaan versi masing-masing meskipun dia berusaha menjadi hamba yang baik dan tidak neko-neko? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Davina Zaila Hamidah. Dirinya sudah mencoba menjalani hidup dengan sebesar-besarnya kemampuan menjaga rumah tangganya. Perempuan keturunan Arab-Sunda berhidung mancung dan berkulit putih bersih itu masih memikirkan kenapa bisa semua orang yang dicintai akhirnya berbalik memusuhi dan merebut kebahagiaan yang tengah direguknya."Kamu tega sekali melakukan ini kepadaku, Mas! Kamu benar-benar lelaki biadab! Mereka semua sahabatku, tega-teganya kamu berselingkuh dengan sahabat-sahabatku!" jerit Davina sambil menunjuk wajah Fathan, suaminya yang hanya bisa duduk terpekur di kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Fathan hanya terdiam. Dia membiarkan wanita yang telah memberinya seorang anak perempuan itu mengurai kema
Davina mulai membuka catatan yang ditinggalkan Lulu. [Hari ini nyawaku kembali menggenap. Davina sahabat terbaikku menawari pekerjaan di kantor suaminya. Siapa sangka aku bisa menjadi sekretaris seorang bos muda yang tampan dan menawan. Thanks, Davina. Kamu tidak akan menyesal telah memilih aku]*Berdiri di atas duri, begitulah yang dirasakan Fathan setelah mendengar kabar bahwa kematian Lulu bukan karena bunuh diri. Ada seseorang yang mengincar kematiannya. Polisi masih mencari barang bukti dan petunjuk yang bisa mengarahkan kepada pelakunya."Untuk sementara semua kawan-kawan dan orang dekat korban bisa menjadi tersangka. Saya harap Pak Fathan bisa bekerjasama dengan kami dengan membongkar semua fakta tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena TKP berada di kantor bapak, kami akan mulai dari Anda. Apakah Anda sudah menunjuk pengacara?'" tanya Bripda Estu Saragih yang dijawab Fathan dengan anggukan kepala."Kami akan mulai menjadwalkan pekan depan untuk investigasi, termasuk kepada istr
[Davina, bukan hanya aku yang telanjur nyaman dan memiliki nyawa kembali ketika bersama Fathan. Semua sahabat kita memiliki kisahnya sendiri dengan suamimu. Aku harap kamu takkan pernah mengetahuinya. Aku tidak bisa membayangkan reaksimu ketika tahu manis madu pernikahanmu juga menjadi candu bagi kami. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan menyimpan rahasia ini sampai mati.]*Sahabat adalah orang yang membangunkanmu meski kamu masih ingin tidur. Itu berarti sahabat adalah orang yang merusak kebahagiaanmu? Setidaknya itulah yang dipikirkan Davina sekarang.Geng Cokelat sebutan bagi lima sahabat yang merasa terhubung satu sama lain sejak mereka duduk di bangku SMA. Persamaan mereka cuma satu kala itu, sama-sama penyuka cokelat. Dari cokelat merk sejuta umat yang sering dipakai sebagai simbol Valentine's Day, hingga cokelat Godiva paling enak yang mereka cicipi dari luar negeri, oleh-oleh dari orang tua Faiza.Pada awalnya mereka hanya menikmati hot chocolate di cafe D’Chocco
[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu) *Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika
[Davina, kau masih pemenangnya. Meski Fathan bermain-main dengan kami, hatinya tetap untukmu. Kau tak tergantikan. Kau tetap ratu di hatinya. Jadi tolong jangan salahkan aku jika ikut mencicipi secuil kebahagiaanmu. Kamu tahu kehebatan Fathan, bukan? Baginya kami hanya tempat bersenang-senang. Dia butuh banyak dukungan untuk tetap menjadi lelaki hebat. Bukan hanya dari istri tetapi juga dari sekretaris, ahli hukum, desain interior, juga marketing handal. Kau tidak boleh egois jika benar mencintainya, seperti dia juga mencintaimu.)*Davina menghentikan langkahnya di tengah tangga. Sebenarnya dia sangat muak melihat wajah Fathan yang memberinya luka menyakitkan.“Aku tahu siapa yang membunuh Lulu." Suara Fathan berhasil menghentikan langkahnya. Davina membalikkan badan menghadap ke arah laki-laki tegap yang kini terlihat seperti orang asing baginya. "Kita ke teras belakang, kita perlu bicara." Fathan berjalan mendahuluinya menuju teras belakang. Angin sepoi menyapu wajah Davina, begit
[Davina, berkali-kali aku mencoba memberitahumu bahwa Fathan dan Ghina bukan hanya partner kerja. Namun, kamu terlalu naif jika tidak mau aku bilang bodoh. Aku pikir kamu juga akan memaklumi ini demi persahabatan kita. Ghina butuh pengganti Omar. Ghina itu hanya casingnya yang dewasa seperti yang ditampilkan di hadapan kita. Hatinya mudah rapuh. Kamu juga turut andil dalam hal ini, berkali-kali kamu bilang supaya Ghina move on. Sekarang dia sudah move on dengan rekan kerjanya. Fathan membuat Ghina kembali bersemangat, seperti juga aku.]*Kondisi Nafasya mulai membaik keesokan harinya. Davina dan Fathan bisa bernapas lega. Setelah melalui banyak pemeriksaan, dokter menyimpulkan Nafasya mengalami gangguan pernafasan. Masih akan ada observasi lanjutan, jadi Nafasya belum diperbolahkan pulang."Aku berangkat kerja dulu, sayang." Fathan berpamitan kepada istrinya. Sikap Fathan tidak berubah. Hal itu membuat Davina serba salah."Hati-hati." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Fathan menc