"Wanita jalang! Tidak berguna! Apa gunanya hidup sebatang kara!? Pembunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatannya hanya demi memuaskan diri!"
Mulutku melongo setelah mendengar hardikannya yang tidak ada titik-koma. Mendengar sumpah serapahnya yang sudah tentu tertuju padaku.
'Aku ... membunuh orang tuaku?' Tidak habis pikir dengan kejutan akan kenyataan-kenyataan.
Dalam sekejap, otakku bekerja memberikan bayangan akan senyum Yang Mulia yang hangat–bukan tertuju padaku, melainkan kepada putra mahkotanya. Masa lalu kelam yang tidak patut untuk terus diingat, aku beralih pada dunia yang saat ini sedang kutempati. Lalu, menundukkan pandangan dengan tangan bergerak untuk menutupi telinga.
'Aku tidak membunuhnya, tapi dia membunuhku!' Ingin rasanya aku melontarkan kalimat pembelaan itu, tapi mulutku tak bisa. Gemetar hebat akan kejadian di masa lalu tidak bisa kuhilangkan dalam sekejap.
"Dia yang jahat ...." Pada akhirnya, hanya kata tersebut yang dapat kuucapkan.
"Apa-apaan perkataan wanita ini!?" Wanita itu justru semakin menaikkan suaranya. Dia tersulut emosi, sedang aku ketakutan menghadapi kehidupan.
Bayangan tentang senyum Yang Mulia, wajah penuh puas ketika aku hendak dieksekusi mati, lalu rasa sakit ketika ... ah, sudah cukup. Aku tak ingin mengingatnya.
"Lihatlah!" Wanita bertubuh kekar masih saja mencari masalah.
Aku mendongak hanya untuk melihat ekspresi seperti apa yang sedang ia gunakan. Tapi, mataku membelalak kaget ketika semua orang yang ada di sekitarku berubah menjadi bayangan. Hanya senyum lebar dan tatapan licik mereka tertuju padaku.
'Apa ... apa yang terjadi ...?!' pikirku ketika tertegun melihat perubahan yang mengerikan.
Tiba-tiba leherku terasa terbakar, seakan bekas eksekusi masih ada di leherku. Padahal, tidak ada apa-apa setelah tanganku memeriksa leher ini. Hanya ada pasir yang menempel di rahang dan tengkuk karena sempat tiduran di atas tanah.
"Sudah menjadi beban malah menambah beban dengan mempermalukan dirinya sendiri!"
Siapa?
Siapa yang berbicara barusan?
Tak ada satupun orang yang menggerakkan bibir, mereka hanya tersenyum dengan sorot mata yang licik. Mereka mengelilingiku dan tangan mereka bergerak menunjuk ke tempat aku terduduk.
"Untuk apa menahan wanita tidak berguna ini, kepala desa!?"
Siapa yang berbicara!?
Aku mengedarkan pandangan. Tapi, sekitarku masih sama. Manusia–tidak. Lebih tepatnya, bayangan yang dapat berdiri mengelilingiku dengan latar berwarna merah.
'Apa aku di neraka?'
Namun, tuduhan-tuduhan masih tertuju padaku dengan jelas. Suara yang tidak kuketahui asalnya membuatku semakin pusing.
Aku ketakutan.
"Aku sudah berjanji pada kedua orang tuanya untuk memberinya tempat berteduh."
Suara seorang pria yang berbariton. Tidak kukenal, tapi terasa dekat. Kembali, aku mengedarkan pandangan hanya untuk melihat wujud manusia.
Namun, hasilnya tetap saja nihil.
"Kenapa ...." Aku akhirnya berucap dengan nada yang lirih. "Kenapa semua orang tidak berwujud ...."
Aku benar-benar ketakutan. Tubuhku gemetar, bahkan mataku seakan juga ikut bergetar. Air mata berlinang memburamkan penglihatan.
"Tapi dia malah menjadikan desa ini semakin terpuruk!" Itu suara wanita tadi. Tapi tetap saja, wujudnya sama dengan yang lain.
"Bukankah hama sawah harus dibasmi sebelum terjadi gagal panen!?" Berkali-kali ia menuduhku sebagai wanita yang tidak pantas untuk berada di tempat ini. Tapi, suara pria itu menahanku untuk tidak pergi.
Namun, bukan itu permasalahannya. Saat ini, aku tidak bisa melihat wujud manusia. Apa yang sedang terjadi? Bagaimana raut wajah yang mereka gunakan saat ini saja tidak kuketahui. Mereka terasa sangat asing dengan perwujudan bayangan yang sudah jelas berwarna hitam, dengan sorot mata tajam mereka berwarna merah, dan senyum lebar menampilkan warna merah pada dalam mulut. Itu benar-benar terasa asing, sampai aku mengatakan bahwa ... 'Apa aku sudah mulai menggila?!'
Lalu kembali berpikir, 'Apa aku di neraka?'
Jadi, dunia apa yang telah kutempati tadi?
"Tapi, kita semua telah gagal panen." Kali ini suara pria yang dapat kutebak ialah pemabuk. Suaranya paling khas diantara pria lainnya–kecuali pengembara–itu karena tenggorokannya selalu disuguhi minuman keras.
"Akan lebih baik jika dia diusir dari tempat ini sebelum aku membunuhnya dengan pisau dapurku," ucap wanita yang mungkin saja merupakan wanita kekar tadi.
Tak lama setelah ucapan wanita itu keluar, keheningan menyambut tempat ini. Kegelapan–atau apalah namanya, seakan ikut menyimak apa yang dikatakan oleh wanita kekar tersebut. Lalu–
"Hihihi ...."
Aku terkejut mendengar suara kekehan di suatu tempat. Lantas, dengan cepat pandanganku beralih untuk melihat wujudnya. Ah, tetap saja. Berbentuk bayangan dan mata merah dengan mulut tersenyum lebar.
"Hihihi ...."
Semakin banyak kekehan mereka semakin membuat kepalaku pusing. Tanganku bergerak untuk menutup telingaku lagi, semakin kuat aku menutup telingaku semakin kuat pula kekehan mereka. Seakan-akan ini disengaja.
Hingga, pada akhirnya aku merintih memohon ampunan pada mereka yang tidak kukenal.
'Tolong! Ampuni aku! Jika aku memiliki kesalahan pada kalian, tolong! Aku minta maaf!' pintaku meskipun melalui batin.
Sebut saja aku lemah.
Kekehan kian menjadi. Suara wanita kekar yang berdebat dengan para bandit semakin samar.
'Aku mohon!'
"Dia tidak ada gunanya di tempat ini, lalu kenapa kau tetap melindunginya!" Masih mendebatkan hal yang sama, tapi kian samar.
"Malapetaka hanya akan datang ke desa kita–"
Lalu menghilang.
Kini berganti dengan kekehan yang telah ditingkatkan ke tawa mereka. Ya, mereka tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang membuat lucu.
Pikiranku semakin kacau, kepalaku seperti berputar, air mata yang tak kuinginkan terus mengalir, lalu aku menggertakkan gigi untuk menahan sakit di sekujur tubuh. Apakah ini kutukan yang 'mereka' berikan kepadaku!?
"Kekekeke!"
Aku mohon.
Hentikan–
"HENTIKAN!"
Tanpa sadar aku meneriaki permintaan yang ada di dalam benakku. Tapi hebatnya, suara kekehan mereka menghilang seperti ditelan bumi. Hening yang terasa aneh. Rasa bersyukur muncul di dalam hatiku, aku merasa lega meskipun hanya sementara.
Terlepas dari siksaan mental yang mereka berikan kepadaku, kini suasana terasa sangat hening. Seakan tidak ada kehidupan di sekitarku. Apa kali ini aku berada di alam bawah sadar? Siapa yang tahu.
Setelah pikiranku mulai berpikir jernih, perlahan kuangkat kelopak mata yang sedari tadi kututup untuk menghindari bayangan-bayangan pembawa aura negatif tadi.
"Wanita ini sudah gila!?"
Lalu, umpatan indah tertuju padaku. Wanita kekar itu dengan nada suaranya yang terkejut memenuhi pendengaranku.
"A–aku masih di sini?" Tapi tanpa kusadari dan dengan bodohnya, pertanyaan yang ada di dalam benakku terlontar begitu saja.
Tentu saja, semua orang yang mendengar ucapanku akan menganggap bahwa Ophelia–juga nama pemilik tubuh ini–merupakan wanita aneh dengan kekuatannya yang juga begitu aneh.
Kudengar wanita kekar itu berdecih, tapi kuabaikan sikap tidak sopannya. Aku masih terperangah pada tempat ini dan pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan akan makhluk-makhluk berwujud bayangan mengelilingiku barusan. Tanganku bergerak menuju kepala, lalu mengusap dengan begitu lembut. Aku kebingungan meskipun hawa dingin setiap kali membayangkannya membuatku merinding.
Apa ... ini ada hubungannya dengan kekuatan purnama merah?
"Dia pembunuh!" Bentakan dari suara wanita kekar itu masih saja menggelegar. Mengumpat diriku yang bernasib malang. "Sudah sepantasnya dia mati di atas panggung eksekusi!"
Deg.
Jantungku seakan berhenti berdetak setiap kali mendengar kata 'eksekusi' yang selalu tertuju padaku.
“Siapa gadis itu, Yang Mulia?”Aku menutup mulutku dengan rapat. Kedua alis terangkat dan tubuhku seperti menjadi patung.Bisikan-bisikan semakin terdengar jelas dari belakang. Para pelayan itu semakin menunjukkan rasa penasarannya satu sama lain.Tak bisa berkata-kata, aku pun terus menatap punggung kekar Ilkay yang dibalut jubah kumuh.“Vander,” panggil Ilkay.Pria bernama Vander itu menatap Ilkay penuh penasaran. Tatapan seolah tidak ada tujuan untuk hidup, hanya mengikuti perintah dari seseorang.“Akan kujelaskan nanti setelah kita makan malam. Kau pastinya belum makan malam, bukan?” tanya Ilkay.Terlihat bahwa Vander tertegun. Dia membungkuk, tangan kirinya di letakkan di dada. Tanpa melihat Ilkay, pandangannya tertuju pada tanah.“Ya, Yang Mulia. Akan saya pinta pada kepala koki untuk memasakkannya,” balas Vander.Ilkay mengangguk. Dia berbalik secara tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget.Wajah berseri tak pernah pudar di wajahnya setelah memasuki mansion ini. Matanya menatap
“Aku akan jelaskan nanti– jadi, kalian akan membiarkanku berdiri di sini?”Lantas, dua wanita yang tampaknya sangat mengenal Ilkay itu segera berdiri. Mereka beranjak, sambil membungkuk, dan salah satu mereka berjalan mendekati pintu.Pintu tersebut digedor, sampai seorang pria berzirah membuka pintu dengan raut wajah masamnya.Mulutnya hendak terbuka menanyakan apa yang terjadi, tapi kembali tertutup bersamaan dengan mata membelalak kaget.“Oh– Astaga– HORMAT SAYA PADA YANG MULIA.”Aku tercengang. Melihat ksatria tersebut juga menunjukkan sikap yang sama dengan dua pelayan wanita itu.‘Sebenarnya, apa yang terjadi?’Tidak mungkin jika pria di hadapanku saat ini merupakan orang yang disegani atau bisa dibilang dari keluarga kerajaan.Namun, jika dilihat-dilihat, perawakan yang berwibawa dengan senyum profesional, terlihat seperti bangsawan ataupun keluarga kerajaan yang telah diajarkan cara menyimpan masalah melalui senyum manis mereka.Pelajaran etika yang tidak pernah diajarkan pada
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Lagi dan lagi, entah mengapa aku terlalu menurut pada pria itu.Langkah demi langkah, kudengar terus suara tebasan semak belukar yang ada di depanku. Hanya menggunakan pedang panjang, dia memotongnya dalam sekali tebasan. Begitu hebat dan kuat.Aku pun menengadah. Secara perlahan, langit mulai menggelap. Kini, langit berwarna jingga telah berubah menjadi biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang.Suara hewan yang ada di hutan ini cukup mengerikan, sunyi senyap yang ditemani dengan suara lolongan.Ilkay tadi mengatakan akan membawanya ke tempat istirahat, tapi maksud dari istirahat tersebut apa?Tak berani mulutku bergerak untuk menanykanannya. Aku diam membisu seperti anak ayam yang baru saja dikenai berang sama induknya. Lalu, mengekor ke sana kemari dalam diam.“Kita sampai,” ucap Ilkay.Aku mengalihkan pandangan. Menatap kakinya yang tidak lagi melangkah. Aku pun ikut berhenti.Kutatap punggungnya yang lebar, lalu bergerak menyamping untuk m
“Kekuatan?” tanya Ilkay. Aku mengangguk. “Purnama bulan merah.” Dapat kurasakan keheningan yang mencekam. Melihat Ilkay dengan mata yang sedikit melebar, menunjukkan manik mata biru permata yang indah, lalu mulut tertutup rapat seakan dia terkejut mendengar ucapanku tadi. “Kau tahu cara mengendalikannya?” tanya Ilkay. Barusan, kekuatanku muncul bisa kemungkinan karena untuk melindungiku … tapi, dibilang melindungi, kenapa saat itu aku tidak dilindunginya? Tubuh yang mudah hancur ini tidak tahu cara mengeluarkan kekuatan, apalagi mengendalikannya. Aku pun menggeleng hebat. Menatap Ilkay dengan rasa penuh bersalah dengan kening mengernyit dan mulut cemberut. “Tidak. Aku tidak tahu. Kekuatan itu muncul begitu saja,” jawabku. Entah mengapa … aku merasa diriku yang dulu, bahkan yang sekarang sama-sama merepotkan. “Jadi, dia muncul saat-saat yang genting, huh?” Ilkay bergumam, tapi aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Kepalaku terangkat untuk melihat wajahnya lagi. Sambil b
‘Bajunya–’ Mata Ophelia melebar. Mulutnya sedikit ternganga. ‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’ Hingga, dia kembali pada keadaan Ilkay yang saat ini bertarung melawan Hydra.[]Ophelia POV‘Bajunya–’ Aku melebarkan mata dan bahkan mulutnya menganga melihat ujung bajunya sedikit robek dan penampilannya yang kusut.Kucoba untuk tenang, sambil menatap Ilkay.‘Ledakan tadi pasti membuat Ilkay kehilangan fokus.’Aku pun mengalihkan pandangan. Menjatuhkan pandanganku pada monster yang ternyata sudah menyadari keberadaan kami. Akan tetapi, Ilkay tampak tidak mengetahui ada monster yang sedang menatap kami dengan intens.Tanganku bergerak mengarah ke monster tersebut dan monster itu pun bergerak bersamaan aku memegang tangan kananku.Kedua bahuku terangkat, spontan mataku memejam melihat monster besar tersebut bergerak cepat.‘Bagaimana cara mengeluarkan kekuatan tadi!?’ pikirku.Pikiranku terus tertuju pada kejadian yang sebelumnya. Dimana secara tiba-tiba ledakan terjadi
“Apa tidak ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, meskipun tak ada orang yang mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi aku mendengus. Tapi, kali ini perasaanku berbeda dari sebelumnya. Tubuhku secara tiba-tiba menggigil dan sesuatu yang ada di belakangku membuat tubuhku membeku. Bayangan yang besar ada di bawah, dan aku dapat menduga siapa yang ada di belakang hanya dengan hangatnya nafas yang mengepul mengenai puncak kepalaku. Mataku melebar, mulutku terkunci, dan suaraku tercekat hanya untuk berteriak. Aku dapat menduga bahwa sesuatu yang besar mengancam nyawaku dan ketika aku berbalik– Ledakan pun terjadi. [] Ilkay berusaha menghindari serangan semburan api yang keluar dari mulut Hybrid. Dia terperanjat kaget ketika mendapati suara ledakan yang begitu nyaring dan besar berada di dekatnya. “Suara apa itu!?” tanyanya. Sempat untuk membalikkan tubuh, mengalihkan pandangan tepatnya pada tempat Ophelia bersembunyi. Ilkay melebarkan mata. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi