Udara malam terasa menusuk sampai kulit. Di luar, kabut tebal masih menyelimuti. Namun aktivitas di pesantren Gunung Merapi sudah dimulai. Sayup-sayup terdengar suara santri mengaji. Seingatku, dulu waktu masih belajar di sini, kegiatan pesantren tidak dimulai secepat ini. Mungkin karena dulu santrinya sedikit, pikirku.
Aku menarik selimut kembali. Baru saat adzan terdengar aku bangkit dari tempat tidur. Kini ada acara di masjid sampai matahari terbit. Aku mengikutinya, toh memang tidak ada kegiatan apapun. Barang-barang sudah siap, dan pesawatku dijadwalkan pukul 11. Jadi kuputuskan untuk berangkat setelah sarapan.
Saat sarapan, kulihat rombonganku sudah siap. Ternyata Sisca bisa bangun pagi, batinku dalam hati. Saat kami makan, pengurus pesantren memasukkan barang yang kami bawa ke mobil. Setelah semua selesai, kami lalu berpamitan. Kusalami Mas Rangga, dia m
Dua hari kemudian akhirnya facebook mengabulkan permintaan kami. Grup itu ditutup, dan dampaknya orang makin penasaran. Saatnya beraksi. Aku memerintahkan untuk membuka kembali komentar di situs perusahaan. Kubuat grup facebook baru, dan kutulis komentar secara anonymous untuk mengajak bergabung di grup baru tersebut. Setelah cukup banyak yang bergabung, komentar pun dihapus.Aku mengikuti skema mereka yaitu menampilkan foto setiap setengah jam. Foto pertama yang kutampilkan mendapat ratusan view hanya dalam waktu beberapa menit. Demikian foto kedua dan ketiga. Setelah foto keempat jumlah view sudah turun. Demikian seterusnya sampai akhirnya foto-foto tersebut tidak lagi menarik.Setelah dua hari, gosip di kantor pun mereda. Setiap kali ada perbincangan tentang foto-fotoku, komentar yang muncul adalah itu foto biasa. Apalagi obrolan dari karyawati yang fotonya
Jalan tol menuju Bandung di siang hari cukup sepi. Setelah melaju hampir setengah jam, kami sudah masuk tol cipularang. Aku menyetir mobil, sedangkan Mila menceritakan siapa diriku sebenarnya kepada Kang Asep."Ooo ternyata kamu beneran Si Boy toh. Dulu cuma pura-pura." Kata Kang Asep meledekku. Aku hanya tersenyum mendengarnya."Tidak sepenuhnya tepat kang," jawabku. "Waktu itu aku memang tidak memiliki apa-apa. Sekarang pun semua masih pemberian papa, termasuk jabatanku ini.""Tapi 'Aa pintar kok memimpin perusahaan. Semua karyawan sayang sama 'Aa." Mila ikut menimpali. Sepertinya dia keceplosan. Selain tidak menggunakan panggilan bapak, dia juga menggunakan kata sayang. Tak heran wajahnya jadi memerah."Mila juga sayang sama saya?" aku bertanya untuk meledeknya. Wajah
"Halo Mila." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tak tahu mau berkata apa lagi. Rasanya tidak ada kata yang bisa mengobati kesedihannya. Dia tidak menengok ke arahku, tapi ada butiran air mata yang menetes di pipinya. Akhirnya aku menggenggam tangannya dan perlahan mengecupnya. Dia tidak menolak. "Saya sangat menyesal Mila harus mengalami semua ini. Tapi jangan khawatir, mulai saat ini saya berjanji akan terus menjagamu." "Saya tidak bisa jalan 'A, saya tidak punya siapa-siapa. Saya harus gimana?" Mila berkata sambil terus memandang langit. Air matanya makin deras menetes di pipi. "Saya pernah tinggal di Geger Kalong. Banyak yang kondisinya seperti Mila, bahkan lebih parah. Saya yakin Mila bisa mengatasi kondisi ini. Untuk sementara Mila bisa tinggal di rumah Abah, na
Kantor imigrasi di hari minggu sangat berbeda dengan hari biasanya. Wajar saja karena hari minggu memang bukan hari kerja. Tapi aku dibawa oleh biro umroh untuk mengurus pasporku. Semua sudah diatur, katanya.Setelah urusan paspor selesai, aku masih harus mengurus visa umroh dan kartu vaksin. Ajaib sekali, semua sudah siap saat aku datang. Ini lebih cepat dibanding persiapanku untuk pergi ke Australia. Biro haji ini memang dapat diandalkan, pasti koneksinya ada di mana-mana.Yang terakhir adalah tiket. Ini adalah urusan yang paling mudah, bahkan aku boleh memilih maskapai yang kuinginkan. Aku tidak terlalu memikirkan merk, jadi kupilih saja yang jadwalnya paling dekat. Dan begitulah, senin pagi aku sudah berada di Jeddah. Di sana sudah ada yang menjemput untuk mengantarku ke tanah suci.Hotel tempat aku menginap dek
Esoknya sekitar jam 9 pagi Detektif Parkin mengabariku bahwa dia sudah menunggu di salah satu cafe dekat gedung kuliahku. Kebetulan sebentar lagi kuliah selesai. Atau jangan-jangan itu bukan kebetulan. Aku makin penasaran untuk melihatnya secara langsung. Saat kuliah selesai, aku segera pergi ke cafe itu. Detektif Parkin sudah menjelaskan posisi duduknya dan baju yang dikenakannya. Alangkah terkejutnya aku saat pertama melihatnya. Dia tidak seperti gambaran reserse yang kubayangkan. Tubuhnya kurus dan tidak tegap. Dia berdiri untuk menyambutku, dan ternyata dia lebih pendek dariku. Saat aku menyalaminya dia berkata. "Anda kelihatan terkejut. Maaf mengecewakan Anda jika saya tidak seperti hercules." Dia seperti bisa membaca pikiranku. Ternyata ini kelebihannya, wajar jika dia menjadi reserse yang handal.
Hari sudah menjelang sore. Biasanya di waktu ini, kampus sudah sepi. Wajar saja karena perkuliahan hanya sampai siang. Tapi kali ini ada yang berbeda. Masih banyak mahasiswa yang berkumpul di sini. Semuanya adalah mahasiswa tingkat akhir. Mereka berkumpul bukan karena ada kegiatan, tapi sedang menunggu pengumuman kelulusan. Aku adalah salah satu dari mereka.Tepat pukul empat sore, seorang petugas keluar dari dalam gedung administrasi. Dia membawa beberapa lembar kertas. Setelah kertas-kertas itu dipajang, papan pengumuman itu langsung diserbu. Karena malas berdesakan, aku hanya diam menunggu. Setelah agak sepi baru aku beranjak ke sana.Nama-nama mahasiswa yang lulus diurut berdasarkan abjad. Aku mencari namaku di deretan huruf A, karena yang kucari adalah nama Ahmad Mustofa bukan Galang. Setelah beberapa menit, akhirnya aku menemukannya. Nama Ahmad Must
Sabtu sore bagi mahasiswa adalah waktu yang menyenangkan. Kebanyakan mereka sedang berkumpul dengan teman-temannya lalu membahas kegiatan apa yang akan dilakukan nanti malam. Aku pun biasanya begitu, tapi tidak kali ini. Hari ini aku berada di ruang sidang. Di sebelahku ada mama, tapi papa duduk jauh dariku. Dia duduk di kursi pesakitan. Dia menjadi tersangka kasus percobaan pembunuhan. Di belakangnya duduk tunanganku, orang yang bertanggung jawab hingga papa ditangkap. Suasana ruang sidang hening karena hakim sedang membacakan keputusan. Semua yang hadir ingin mendengar dengan jelas apa keputusan hakim, tak terkecuali aku. "Memutuskan.... Bahwa tersangka terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan yang mengakibatkan kematian. Oleh karena itu dewan hakim memberikan hukuman dengan hukuman seumur hidup."
Selang beberapa menit, telepon kembali berdering. Kali ini pengacara papa yang ingin berbicara. Sepertinya dia ingin mengabarkan sesuatu, jadi dengan enggan kuterima panggilan telepon itu. "Halo." kataku singkat. "Selamat malam Nona Sisca. Kami ingin menginfokan bahwa penentuan lapas Tuan Sukoco sudah ditetapkan. Dia akan ditempatkan di Lapas Sukamiskin, di daerah Bandung." "Baik, terima kasih informasinya. Kapan papa akan dipindahkan ke sana?" tanyaku. "Rencananya beliau akan dipindahkan besok. Jika Anda ingin menjenguknya, Anda bisa datang lusa." Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bandung tidaklah terlalu jauh, bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga jam. Seingatku Galang dan keluarganya tiap pekan pergi ke